Part 15 | Bad Day

121K 5.1K 34
                                    

[Edisi revisi, 8 Ags '21]

ʜᴇ'ꜱ ᴍʏ ʜᴜꜱʙᴀɴᴅ

Seakan tersambar petir, tubuh gadis itu langsung merosot, sesaat setelah mendengar bahwa ibunya sudah tidak bisa lagi bersamanya di dunia ini. Sudah tidak ada lagi yang akan berbaring dan menunggunya datang menjenguk dan bercerita kesehariannya. Tak ada lagi suara lembut ibunya yang selalu membuatnya tenang. Mulai sekarang dia tidak akan pernah mendengarkannya lagi, mulai sekarang dia tidak akan pernah bisa melihat wajah damai ibunya lagi. Ibunya sudah berada di alam yang berbeda dengannya.

"Terjadi pendarahan pada otak dan paru-parunya saat operasi sedang berlangsung. Komplikasi tersebut sudah terlalu parah sehingga tubuhnya tidak mampu lagi melawan sel kanker yang berkembang semakin agresif. Sehingga akhirnya Ny. Reyna tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Kami mohon maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, Tuhan lebih menyayangi ibumu."

Masih terngiang dengan jelas penjelasan Dr. Eric mengenai kondisi ibunya sebelum akhirnya menyerah. Hancur sudah pertahanan yang selama ini dibentuknya bersama sang ibu. Pandangannya dan pikirannya kosong, sedangkan air mata masih betah mengalir di pipi lembutnya. Kenangan-kenangan bersama sang ibu menari di depan pelupuk matanya yang kian memburam.

Tak lama setelah itu, Allard akhirnya tiba. Dia langsung berlari saat melihat tubuh istrinya terduduk di lantai dingin rumah sakit.

"Sayang?" panggil Allard setelah tiba di hadapan sang pujaan hati. Namun tak ada jawaban. Ayra hanya duduk diam, bahkan tatapannya kosong meski kini Allard berada di hadapannya.

Hatinya seketika terasa sakit saat melihat kondisi istri manisnya yang kini tampak sangat berantakan. Air mata tak henti mengalir dari netra indah yang sering menatapnya garang itu. Allard pun segera memeluk tubuh ringkih sang istri, tak diduga segera setelahnya, suara tangisan pilu pun terdengar.

"Ibu..." Panggilan tersebut terdengar disela tangisan Ayra.

Allard kini paham apa yang terjadi. Istrinya itu bukanlah sosok cengeng. Namun, melihat Ayra yang kini nampak hancur, dia tahu bahwa mertua satu-satunya kini telah berpulang. Dia pun semakin mengeratkan pelukannya, meredam tangisan Ayra yang semakin pilu. Mencoba menyalurkan kehangatan pada sosok mungil di pelukannya.

Setengah jam kemudian, akhirnya tangis Ayra berhenti, namun isakan masih terdengar lirih dari bibir pucatnya. Untuk terakhir kalinya, dia ingin melihat wajah damai sang ibu yang kini sudah terbebas dari rasa sakitnya.

Ayra mencium kening sang ibu dengan lembut. Lagi-lagi air mata seolah tak ada lelahnya keluar dari netra indah gadis itu. "Ibu, sudah tidak sakit lagi, kan?"

"Maaf, Ayra tidak bisa menjaga Ibu dengan baik. Maaf, membuat Ibu bertahan dengan rasa sakit itu. Maaf, hiks..."

Setelah itu, Ayra memilih keluar untuk menemui suaminya. Namun, saat membuka pintu, muncul sosok sang adik yang juga sama berantakannya. Laki-laki memang kuat, namun jika orang terkasihnya berpulang, pertahanan seorang lelaki pun bisa langsung hancur dalam sekejap.

"Kakak." Hanya gumaman pelan yang keluar dari bibir Zhio, sebelum memeluk sang kakak dengan erat.

Ayra mencoba menenangkan sang adik dengan mengusap pelan punggung lebar itu, meski dirinya pun sama hancurnya.

"Masuklah," ujar Ayra setelah melepas pelukannya, tak lupa dengan senyuman di wajah sembabnya.

Di sana, di ranjang ruang operasi, Zhio melihat tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku. Mata wanita paruh baya yang selalu menatapnya sayu itu, kini tertutup rapat. Bibir yang selalu tersenyum lembut itu, kini tampak kering dan pucat. Dengan tangan bergetar, Zhio menyentuh lengan ibunya.

He's My Husband [ REPUBLISH ]Where stories live. Discover now