Bab 32

2 1 0
                                    

Rendy sedang berdiri di atas atap sekolah saat pelajaran olahraga sedang berlangsung, dan kini giliran anak cewek yang menguasai lapangan, setelah hampir satu setengah jam tadi anak cowok sibuk mengoper bola untuk mencetak gol.

Rasa dingin menjalar di pipinya, ia mendongak ke atas, dan menemukan Buto sedang menempelkan softdrink dingin di pipi kirinya. Ia tertawa renyah, tangannya terjulur mengambil softdrink itu.

"Gak nyangka Rendy bisa keliatan keren juga."

Ucapan Buto merujuk pada perubahan pakaian Rendy, ia tidak mengira Rendy memutuskan mengambil langkah ini, setelah 2 tahun lamanya Rendy tenggelam dalam identitasnya yang mendapatkan stempel mirip preman, dan ia lebih terkejut lagi saat menyadari ia melakukan hal yang sama.

Rendy memicingkan matanya mendengar suara terkekeh Buto, dengan mengikuti pola yang sama ia membalas, "Gak nyangka Buto bisa keliatan rapih juga."

Detik berikutnya mereka menghabiskan waktu dengan tertawa bersama. Mata Rendy kembali mencari pada tiap jengkal lapangan, kemudian tatapannya memokus setelah menemukan objek pandangannya.

Buto menyadari apa yang dilakukan oleh sahabatnya ini, ia berdeham, kemudian berkata,

"Aurel hari ini keliatan beda banget yah."

Secepat kilat ia melihat senyum begitu cepat merekah di bibir Rendy.

Rendy mengangguk, "Jauh lebih cantik."

Buto kembali berdeham lagi, seperti orang salah tingkah, dan saat itulah Rendy menaikan alis menatapnya,

"Setahuku terlalu berharap itu sakit yah, bener gak sih Ren?"

Rendy bergumam, menelentangkan posisi tubuhnya, untuk sesaat melepaskan pandangan matanya pada Aurel.

"Hmm, mungkin."

"Kalau terlalu berharap itu menyakitkan, kenapa masih jalan ditempat."

Rendy mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Buto yang terkesan pahit.

"Maksudnya?"

Buto mendongak menatap langit yang saat itu sedang mendung, tangannya menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

"Enggak, gak ada apa-apa kok."

Rendy menatap Buto sangksi, "Yakin gak ada apa-apa?"

"Hmm."

Rendy melipat tangannya dibawah kepala, kaki kirinya menekuk sebagai topangan untuk kaki kanan bersandar, posisi yang terlihat sangat nyaman, namun sebenarnya otak Rendy sedang berpikir keras.

"Karena hanya dengan harapan itu aku masih sanggup hidup." ucapnya setelah beberapa menit waktu berlalu dalam diam.

Buto meneguk air ludahnya sendiri, takut untuk mengutarakan apa yang ada dipikirannya, ia bergerak tak nyaman dengan ikut menelentangkan diri di samping Rendy, setelah sejak tadi ia hanya duduk diam.

"Apa yang bakalan kamu lakuin kalau harapan itu mati?" tanya Buto ragu-ragu.

Rendy menyimak, ia terdiam, termangu dengan dirinya sendiri, memikirkan apa yang akan terjadi jika harapannya mati, akankah hati dan dirinya ikut mati juga. Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menjawab, menyangkal penuturan Buto.

"Aku rasa, gak akan pernah ada satu harapan pun yang akan mati. Harapan seharusnya semakin tumbuh subur, bukannya mati, yang ada hanyalah berhenti berharap, bukan harapan itu menjadi mati."

Ada rasa pahit yang Rendy rasakan saat menjawab pertanyaan Buto, ia membayangkan apa yang akan terjadi bila ia behenti berharap, akankah hidupnya menjadi jauh lebih baik dengan ia menemukan harapan yang baru, ataukah hidupnya justru menjadi lebih buruk dari sebelumnya karena ia sudah tak sanggup menumbuhkan harapan itu lagi.

Buto terdiam, Rendy juga sama terdiam, pukulan bola yang menghantam tembok di depan mereka berhasil mengalihakan perhatian untuk sejenak. Aji sudah berdiri menyeringai di depan pintu atap, ia orang yang dengan sengaja menendang bola itu tadi.

"Main bola lagi yuk. Masih ada waktu satu jam sebelum bel istirahat."

Sejujurnya Buto dan Rendy sama-sama bersyukur dengan kehadiran tiba-tiba Aji, anak itu menyelamatkan mereka berdua dari keadaan yang tidak nyaman.

"Ayolah, ajak anak-anak The Bird yang lainnya." teriak Buto.

Yup, geng The Bird tidak pernah bubar, setelah tiga hari mereka mencoba untuk mengubah sikap mereka menjadi jauh lebih baik The Bird tetap menjadi satu kesatuan, bahkan jauh lebih solid dari pada sebelumnya, dan mereka pun sedikit-sedikit merasakan bagaimana perubahan sikap orang-orang disekitar mereka yang dahulu nya dingin sekarang menjadi lebih hangat.

Walau tak bisa mereka pungkiri, masih tetap ada orang yang memandang mereka dengan pandangan merendahkan. Itulah hidup bukan.

Aji, Buto, dan Rendy berjalan beriringan di depan koridor, melewati lapangan basket tempat anak-anak cewek sekelasnya sedang berebut bola disana. Mata Rendy tak membuang waktu untuk mencuri pandang menatap Aurel, dan saat itu hatinya bergumam.

"Jika memang harapan itu menimbulkan rasa sakit, aku bahkan akan tetap senang hanya dengan bisa melihat wajahmu yang bersinar ceria seperti ini setiap harinya, walaupun jika memang senyum itu tak akan pernah bisa terbit untukku."

***

Tbc yaaa guyss...

My ig : @flo_minerva
@moudithadebria

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

IcarusWhere stories live. Discover now