"Tidak."

1K 84 9
                                    

Luke

Ia terpaku melihatku dan Georgia berdiri disana. Air mukanya berubah menjadi bingung dan--sedih?

Ayah dan Ibu-nya menyambutku dan Georgia halus. Mereka lalu meninggalkan kami bertiga. Georgia langsung memeluk Heather dan menanyakan keadaannya. Aku bisa mendengar Heather bilang baik-baik saja.

"Heather, aku lapar. Mau beli makanan dulu. Daahhh" Georgia pergi meninggalkan kami walau Heather memintanya untuk tetap tinggal.

Ia meninggalkan kami berdua.

Aku dan Heather.

Inilah yang namanya awkward silence. Yaampun, Ia bahkan menundukkan kepalanya dan tidak melihat kearahku. Aku mendekat kearahnya dan duduk di kursi sebelahnya. Aku merasakan udara hangat memasuki dadaku. Perasaan hangat yang kurasakan saat aku didekatnya. Perasaan yang akhir-akhir ini hilang dari hidupku.

"Uhm, hai." aku mencoba menyapanya. Wajahnya memerah. Tapi aku hanya bisa melihat pipinya, karena dia tak memandangku. Ia hanya menatap selimut rumah sakit yang berwarna putih.

"Hai." ucapnya ragu, tanpa melihat kearahku.

"Bagaimana keadaanmu?" aku mencoba mencari topik pembicaraan. 

"Kenapa kau datang kesini?" 

..

Aku hanya diam. Ia menembakku tepat sasaran. Tepat dijantungku.

"Menjengukmu?" aku memberi jawaban hambar. Ia kali ini tidak menatap selimutnya lagi melainkan kearahku. 

"Oh." ucapnya tak kalah hambar. "Kau sendiri apa kabar?"

"Aku kesini untuk menemuimu. Dan membicarakan tentang kita." aku tidak menjawab pertanyaannya. Melainkan melanjutkan ucapanku yang tadi. Maksudku, mengatakan tujuan sebenarnnya aku kemari.

Ia terdiam. "Tidak pernah ada kita, Luke."

Sesuatu mencakar hatiku dalam-dalam. Perih. 

"Aku tahu aku sangat bodoh terlambat menyadari semua ini. Aku memang terlalu egois untuk menyadari ini sebelumnya,"

Ia masih diam.

"Dan aku minta maaf, Heather." 

"Aku sudah bilang dari awal kau tidak perlu minta maaf. Jika kau tidak mencintaiku, itu baik-baik saja."

"Tapi aku iya. Aku mencintaimu, Heather." aku mengambil tangannya dan menggenggamnya pelan.

Ia kembali tak bersuara. Matanya pun kembali tertuju kepada selimut itu lagi. 

Heather mengambil kembali tangannya lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Jangan." ucapnya pelan. Aku bisa melihat ia menggigit bibirnya.

"Kenapa?" aku bertanya, bingung.

"Jangan." ia mengucapkan kata itu lagi. Aku kali ini diam.

"Karena aku harus pergi." lanjutnya pelan.

Aku tercekat. "Maksudmu?"

"Aku akan mati, Luke." 

"Tidak. Kau sudah sembuh."

Heather menggigit bibirnya, menahan tangis yang sebentar lagi keluar. "Aku tidak sembuh, Luke. Aku semakin sakit, aku merasakannya."

Kini aku semakin bingung. "Tidak. Kau akan sembuh. Kau tidak boleh berbicara seperti itu, Heather."

Dia mengusap airmatanya yang sudah menetes. "Aku juga tidak mau mati," suaranya bergetar. "Aku merasakan rasa yang sama seperti yang mereka rasakan."

"Mereka siapa?" aku menatapnya lekat-lekat.

"Mereka yang sudah meninggal karena ini."

Sesuatu meninju hatiku. 

"Kau tahu darimana?" aku mencoba mencari alasan lain.

"Mereka bercerita kepadaku sebelum mereka meninggal." ia tertunduk.

Aku mengusap airmatanya. Berusaha membuatnya tegar. Padahal nyatanya dialah yang lebih tegar daripada aku.

"Luke?"

"Ya?" aku berdoa dalam hati agar kali ini Ia mengucapkan sesuatu yang menyenangkan.

"Kau harus melepaskanku." Ia tersenyum kearahku. Senyum palsu. Matanya memandnagku dengan sedih. Sekuat apapun Ia mencoba agar terlihat baik-baik saja, aku tahu dia sedih.

"Tidak." aku kembali mengelak. 

"Aku saja bisa melepaskanmu dengan dia," ia tersenyum. Senyum pahit. "aku juga sudah berusaha melupakanmu. Meskipun belum terlalu berhasil."

Aku tidak mengucapkan apapun. Hanya diam dan termenung dengan pikiran yang berlari jauh tak tau kemana.

Heather mengelus tanganku, Ia menyadari aku sangat terpukul. "Semuanya akan baik-baik saja, Luke."

Dan disaat seperti ini ia masih bilang semua akan baik-baik saja. Aku tidak mengatakan apapun. Hanya diam. 

"Kau tahu, Luke? aku benci kepadamu."

Aku masih termenung, tetapi dengan refleks mengatakan kenapa

"Karena aku sudah susah payah melupakanmu. Dan lumayan berhasil. Tetapi kau datang lagi, dan semuanya hancur."

"Apa yang hancur?"

"Semuanya."

Aku tidak mengerti dengan perkataan Heather barusan. Pikiranku sedang melayang-layang entah kemana, sesak di dada semakin terasa menghimpit. Sesak.

"Jika aku pergi nanti, kuharap kau mendapatkan yang jauh lebih baik dariku, Luke."

Aku tak menjawab perkataannya. Antara bingung mau menjawab apa dan pikiran-pikiran buruk tentang apa yang akan terjadi padanya sedang memenuhi otakku.

Heather, mengapa waktu kita salah?

----------

1 chapter lagi abis :c mihihi... Maaf kalo masih kedikitannnn

-ann

Golden SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang