Prolog : Muna Membuka Mata

848 42 20
                                    

Dalam keadaan terbebani, seonggok tubuh bergemul mengangkat rantaian ototnya. Tubuhnya ringan, lembut, tertutup lembaran kain. Tidak ada setetes barang pun di sekitarnya. Yang ada hanyalah kekosongan, keheningan, serta ketiadaan.

"Astaghfirullah, ana... dimana?"

Tidak ada luas, tak ada volume. Di atas langit tanpa panjang, lebar, tinggi maupun derajat waktu. Dia berdiri di ruangan tanpa batas serta tanpa sudut.

Yang ada hanya putih, serta lantai tanpa batas.

Muna melangkah berputar hati-hati memijakkan kakinya agar tak jatuh. Berharap tak ada lubang, Muna juga memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

Ana baru saja membeli Teh Sosro, serta Chiki pakai Micin. Maka apa yang sebenarnya terjadi?

Sebuah buku tergeletak. Biru. Warna yang disampulkan buku tersebut hanyalah biru.

Ah iya, ana juga membeli buku ini. Maka ana berputar, sehingga kemudian diri ana berjalan ke tepian jalan. Jalur selanjutnya adalah aku berjalan melewati jalan maka...

Muna tersontak, kepalanya bergeming keras.

"Innaliliahi... ana..." Muna hampir menitikkan air mata "Tertabrak bis?"

Layar ruangan langit disekelilingnya berubah, kini menampilkan proyeksi dari dirinya. Dikerubungi orang bak gula dengan semut. Dia melihat sosoknya terpejam, dari kepala mengalirlah gemerlap heme, bercak-bercak darah menyedihkan. Sebuah sirine tak asing dari kendaraan bernama ambulans mendekat, raganya diangkut masuk.

"Dia masih bernafas!" Kata orang yang mengangkutnya.

"Apakah parah?" Tanya dokter, atau penyelamat, atau orang yang turun dari ambulans.

"Tak ada yang vital, tapi kepalanya terbentur cukup keras. Terutama belakang..."

"Ada kemungkinan dia koma..." Jawab si dokter. Sisanya berlanjut dengan grasak-grusuk. Berisik. Semuanya berseteru hendak dibawa kemana rega tubuh Muna.

Dari langit, Muna makin termenung. Pikirannya galau. Di manakah dirinya berada saat ini?

Waktu itulah terdengar bunyi. Sebuah suara. Bukan suara dari malaikat penunggu kubur atau suara-suara manusia yang dia kenal. Hanya sebuah suara. Suara itu memanggilnya berkali-kali sebelum akhirnya memperagakan suatu wujud.

"Siapa?" Tanya Muna, khawatir.

"Hanya teman" Katanya

"Ana tak mengenal ukhti"

"Aku memang tak dikenal olehmu, aku bukan orang." Tegasnya. Setelah dilihat-lihat perempuan itu memang bukan manusia. Dia terbang, tak menapak tilas. Rambutnya halus bagaikan bulu domba. Begitu putih, seputih kepingan salju yang ditumpahkan langit. Dia memakai selendang merah muda serta sweater wol. Ada tetris, balok bewarna-warni yang mengorbit di sekitar tubuhnya.

"Aku adalah teman imajinasi dari temanmu" Kata perempuan itu. Muna berusaha mencerna.

"Jika ukhti adalah imajinasi, maka mengapa ana bisa melihat ukhti?"

"Karena kau juga imajiner. Sosokmu sekarang hanyalah ilusi" Jawabnya "Kau tak memiligi raga, Muna Amanita. Pikiranmu terlepas dari raga karena dicelakakan."

"Astaghfirullah, jadi ana hampir mati?" Muna memastikan, jawabannya dibalas dengan anggukan. "Maka kemudian apa yang terjadi!?" Tanya Muna.

"Jawabannya tergantung, apakah kamu mau mencari tahu atau tidak" Desahnya.

"Tentulah ana ingin, tapi mengapa ana dicelakakan? Bagaimana?"

"Mengapa? Karena di acara darmawisata sekolahmu barusan, ada kejahatan. Ada satu temanmu yang lain kelak akan mencelakai semua orang sebagaimana mereka mencelakai dirimu sekarang. Aku tahu dan aku mengerti."

"Apakah ukhti mendatangi ana karena tak bisa mencegah kejahatannya sendiri? Semoga ana termasuk golongan yang benar."

"Ya, aku tahu tapi tak bisa mencegah. Aku juga tak bisa beritahu dari siapa aku datang, tapi aku akan membantumu." Dia tersenyum "Namaku, Sayya"

"Nama yang lucu" Muna membalas sedikit, mereka berjabatan tangan. "Jadi, apa yang harus ana lakukan?"

"Mencari siapa yang sudah mati" Jawaban Sayya membuat Muna tercengang. "Temanmu yang mendorongmu, sebenarnya sudah mati."

"Benar-benar mati?" Muna sedikit tergetar hatinya.

"Itu yang juga harus kau caritahu, dibantu olehku" Dia melayang "Dari keenam belas teman sekelasmu, satu telah mati. Entah sekedar jiwa atau termasuk raganya juga. Dia meracunimu dalam jajanan Chiki yang baru saja kau makan, kau pusing dan lengah, dia tinggal menggiringmu ke pinggir jalan lalu menyenggolnya sedikit ke bis yang berjalan"

"Afwan, kurasa bukan." Muna seketika mencegah "Ada campuran dalam minuman ana" Jawab Muna begitu saja.

"Aku tahu dan aku mengerti" Balas Sayya.

"Ana hanya bersikap hati-hati" Tukas Muna kembali "Ada yang mencampur teh ana dengan alkohol. Rasanya sangat aneh, makanya ana segera buang. Namun ana terlambat untuk menghentikan reaksinya."

"Kurasa, kau tidak melihat siapa yang mencampurnya?"

Muna menggeleng, Sayya mengiyakan.

"Kalau begitu, dari ingatanmu, mari kita membuat kasus" Bibirnya mengembang. "Kita saksikan berbagai kemungkinan. 17 kasus mengenai teman-temanmu, termasuk sahabatmu. Bisakah kau menebaknya?"

"Semoga Allah bersama ana..."

"Maka pelajaran apa yang bisa kau raih kali ini?"

"Ana menjawab, ilmu harus dicari, kebenaran harus dicapai, dan ana hanya bersikap hati-hati" Sahut Muna lembut, dipelankan.


17 Kasus-Kasus Muna. (Book 1)Where stories live. Discover now