Prolog

7.7K 442 10
                                    

Sudah sejak tadi mataku menatap bosan ke arah Kak Auston yang terus berjalan mondar-mandir seperti gosokan tak kunjung halus. Mia yang duduk di sebelahku seolah ikut mendukung dengan mengerucutkan bibir sebal seraya menatap ke arah yang sama.

"Mi, itu Kak Auston ngapain, sih sebenernya?"

Seraya mengunyah keripik kentang, gadis berponi dora itu menoleh sebal. "Auk, deh! Daritadi mondar-mandir doang. Katanya ada yang mau diomongin padahal."

Huft. Aku menghela nafas bosan. "Kak," mendengar panggilanku, lelaki itu kontan berhenti mondar-mandir dan beralih menatap kami. "Apaan?"

"Loh?" hidungku mengerut bingung. "Kok malah apaan? Harusnya aku yang nanya gitu. Ini suruh ngapain, sih sebenernya?"

"Maksudnya?"

Entah kenapa aku ingin sekali menjedotkan kepala ke dinding. Kenapa lelaki ini justru mendadak pikun?

"Kakak ngapain manggil kami ke sini? Katanya ada yang mau diomongin." Sahut Mia.

"Ooh...," lelaki itu kemudian duduk tepat di hadapan kami dengan ekspresi serius yang kalau boleh kukatakan, sebenarnya tidak cocok sama sekali di wajahnya yang konyol itu. "Jadi gini....,"

Hening.

Asyem! Padahal aku sudah penasaran setengah koidh.

Mia berdecak. "Apaan?! Malah diem aja!" sentaknya.

Kak Auston berdehem sejenak. "Kakak mau ngomong, Cuma takutnya kalian
kaget."

"Hah?" aku bersedekap gemas sembari menghela nafas yang entah sudah
keberapa kalinya hari ini. "Kalo, kakak gak ngomong-ngomong juga kami tinggal, nih." Ancamku.

"Ooh..., jadi kalian udah penasaran, ya?"

Aku dan Mia kontan saling lempar pandang dengan kening sama-sama mengernyit bingung. Kenapa di saat serius seperti ini, dia justru menjawab dengan nada menggelikan begitu. Ya Tuhan!

"Buruan, Kak!" sembur Mia.

"Oke, oke." Menarik nafas sejenak, lelaki itu menatap kami lekat. "Kita bakal pindah."

Pindah?

"Ke rumah mama sama papa yang di pinggir kota itu."

Hah?! "Desa kali, Kak." Sanggahku namun justru dibalas dengusan oleh lelaki itu. "Intinya sama."

Mia menganga lebar sementara aku tercenung sejenak. "Kok bisa?"

"Ya, bisalah. Kenapa juga gak bisa?"

Aku menghela nafas pelan. "Maksudnya? Kok tiba-tiba, Kak?"

"Dulu mama sama papa udah pernah bilang kalo kita harus nempatin rumah itu."

"Yaah...," Mia menghempaskan tubuhnya di sofa dan bersedekap. "Aku udah betah di sini padahal."

Aku memiringkan bibir. "Emang harus sekarang banget, Kak?"

"Ya..., gak juga, sih." Lelaki itu meraih ponselnya, memainkannya sebentar lalu menatap kami. "Tiga hari lagi. Jadi kalian kemas barang-barang dari sekarang."

"Yaaah...," Mia mengeluh lagi hingga membuat Kak Auston menatapnya jengkel.

"Sekolah kami gimana, Kak?" tanyaku.

"Pindah di sana juga. Udah, kakak urus."

"Yaaah...,"

"Sekali lagi kamu ngomong itu, kakak lempar kamu keluar jendela."

Mia langsung mingkem begitu Kak Auston mulai mengeluarkan tanduk. Sementara aku hanya terkikik pelan menertawakan tingkah mereka.

"Tapi, Kak. Di sana pasti susah sinyal." Mia kembali angkat bicara.

"Enggak kok." Jawab lelaki itu.

"Wuih, kok bisa? Kakak pasang wi-fi?" tanyaku kepo.

"Idih, kurang kerjaan. Nanti kalo pasang wi-fi kalian makin boros."

"Lah?" Mia melotot heran. "Terus? Dapet sinyalnya gimana?"

"Naik pohon, lah." Jawabnya enteng.

Aku spechless. Kurang ajar memang lelaki ini.

"Tenang aja, di sana emang desa. Tapi gak pelosok-pelosok amat, kok. Sinyal?
Aman." Jelasnya. Sementara aku dan Mia mengangguk paham, dia menambahakan lagi. "Di sana malah enak. Hawanya sejuk, adem lagi." Rayunya.

"Kok, kakak tau?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Woyajelas! Kakak pernah ke sana, dong!" sahutnya antusias.

"Gak ajak-ajak!" sahut Mia.

"Kan, biar surprise." Ujarnya datar.

Surprise gundulmu!

Kak Auston menatap serius pada kami lalu berujar mantap dengan mata berbinar, "Udah, tenang aja. Kakak jamin, kalian bakal betah di sana."

My Friendly Ghost

My Friendly GhostМесто, где живут истории. Откройте их для себя