Chapter 31

235 17 2
                                    

"Kamu tau, Mona,"

Aku diam mendengarkan dengan khidmat. "Aku ngerasa kalo kakek emang nunggu salah seorang dari keturunannya buat meluruskan kesalahpahaman ini. Kakek Cuma punya dua anak, ayah dan tanteku. Tapi kakek lebih sering ke rumah ayah, soalnya tau kalau aku sendirian dan gak punya teman di rumah."

Aku diam sebentar. "Gimana kamu tau? Kali aja itu Cuma perasaan kamu."

Agrav menggeleng tegas. "Bukan. Aku pernah nemuin secarik kertas sebelum kematiannya, kayaknya emang sengaja kakek tinggalin biar ada yang tau."

Aku diam. Perlahan rasa empatiku mendesak ingin keluar, karena mendengar Agrav ingin membantu Joe. Tapi di sisi lain, aku masih ragu. Apa Joe akan mau mendengarkan? Sedangkan malam itu saja dia sudah meledak-ledak seperti setan kesetanan.

Keputusan yang aku ambil kali ini harus menjadi keputusan yang tepat. Keputusan yang bisa membantu Agrav sekaligus Joe untuk meluruskan semuanya. Dan aku, harus melihat akhir yang bahagia dari cerita ini.

Oh, Gosh! Kenapa sulit sekali, sih?! Aku bahkan hanya seorang bocah SMA! Apa yang bisa kulakukan, sedangkan kata-kataku tadi seolah aku adalah pahlawan super yang ingin menyelamatkan dunia. Ah, aku pusing. Kulirik, Agrav yang masih terus menatapku. Huft, aku jadi menyesal sudah ikut masuk ke dalam cerita ini.

"Mona?" aku menoleh ragu. "Gimana?" tanyanya penuh harap.

Aku melarikan tatapan pada sekitar dengan gelisah. Semoga yang kuambil kali ini adalah keputusan yang benar.

Menghembuskan nafas pelan, aku berujar mantap. "Aku coba bantu."

***

Dua hari sudah aku menyetujui untuk membantu Agrav dan selama itu pula belum sekalipun kulihat Joe. Aku berpikir, apa mungkin Joe masih marah padaku. Atau justru, Joe diam-diam membuntutiku saat ke taman dan bicara empat mata dengan Agrav. Lalu, dia semakin marah karena aku justru berniat membantu Agrav.

Astaga, kepalaku pening. Aku bahkan berjalan sambil melamun. Entah melayang ke mana pikiranku sampai-sampai,

Blum!

Aku mengangkat sebelah kaki dan memandangnya sambil mengernyit jijik. Demi Neptun! Kakiku masuk selokan! Selokan! Ampun, deh! Mana sampai tembus ke kaus kaki juga! Aaa!! Kak Auston! Batinku menjerit kencang.

Aku langsung ngibrit begitu sepatu dan kaus kaki sudah kucopot dan tenteng. Berlari seperti Ninja Hatori untuk sampai ke rumah. Aku menebalkan muka saat orang-orang menatap aneh. Ya jelas, orang waras mana yang pakai sepatu Cuma sebelah, mana sebelahnya hitam, ditenteng pula.

Kudobrak pintu yang terbuka sedikit, sudah pasti anak itu ada di rumah. Baguslah, jadi aku bisa langsung masuk.

"Ya, amsyoong! Itu kaki abis kerja romusha apa gimana, Kak? Hitam-hitam macam kedelai yang dibesarkan seperti anak sendiri." Mia lalu menutup hidungnya. "Bau got lagi, ya ampuuun!!"

Aku memelototi Mia yang duduk manis di atas sofa sambil tutup hidung. Sudah mood-ku hancur, ini malah ditambah lagi. Sekalian saja kusembur. "Heh, Mamang! Jangan berisik! Mood-nya kakakmu ini lagi ancur tau!"

Dengan langkah menghentak, aku langsung naik ke kamar sambil mendumel sebal. "Huft, gak tau orang lagi kesel apa?! Malah dijelek-jelekin! Minta disembelih emang itu bocah."

Begitu kubuka pintu, pemandangan seorang lelaki sedang tiduran di kasur membuatku terperangah kaget.

"Halo, Mona."

Astaga! Aku langsung masuk dan menutup pintu lalu menghampirinya kilat.

"Ya ampun, Joe! Kirain kamu udah..., soalnya gak muncul-muncul, sih."

"Hem..., perlu kuperjelas, kalau sebenarnya aku memang sudah mati."

Senyumku melebar saat kembali mendengar suaranya. Aku sangat-sangat bahagia saat ini. Astaga, tak kusangka aku bisa melihatnya lagi.

"Kirain kamu bakalan pergi, Joe," lirihku.

Joe tersenyum samar. "Bukankah aku memang akan pergi, hanya saja belum."

Menggigit bibir, rasanya benar-benar ingin menangis mendengarnya. Kalau saja Joe bisa kusentuh, sudah kupeluk sedari tadi. Tapi yang kulakukan hanya bisa menggapai guling dan memeluknya erat-erat. Membayangkan kalau yang kupeluk sekarang adalah Joe.

"Hiks, Joe aku minta maaf." Air mataku tidak bisa diajak kompromi, tahu-tahu keluar begitu saja.

Joe malah terkikik melihatku menangis begini. Huh, kalau tidak ingat sedang bersedih begini, sudah kutendang dia. "Ke mana, Mona yang biasanya keras kepala dan suka marah-marah? Ini malah minta maaf sambil nangis lagi."

"Aku serius Joe!" tanpa sadar aku malah memekik keras. Terserah dia mau marah lagi atau bagaimana yang jelas aku sudah minta maaf sekarang. Tapi, dia justru tertawa dan berguling di atas kasur.

Aku kadang heran, Joe ini tak bisa kusentuh, tapi kenapa malah tidak tembus dengan benda mati? Aneh memang hantu satu ini. Apa mungkin dia sering menggunakan energinya seperti yang dikatakannya itu?

Mendadak Joe menghentikan tawanya dan bangun dengan mata melotot lalu tiba-tiba memekik keras. "Ya, ampun, Mona! Kakimu hitam begitu, sana cuci kaki!"

Aku manyun. Tadi niatnya memang mau ke kamar mandi, tapi begitu melihat Joe aku justru bersemangat menghampirinya. Sambil manyun, aku melangkah menuju kamar mandi diikuti dengan gelak tawa dari hantu menyebalkan itu.

My Friendly Ghost

My Friendly GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang