Chapter 10

4.1K 235 2
                                    

Saat ini, aku sedang duduk di depan televisi bersama Mia. Menikmati keripik kentang yang dibelikan Kak Auston kemarin. Kulirik Mia di sebelahku yang sedang asyik menonton. Tapi tidak demikian denganku. Aku malah jadi teringat obrolanku dengan Stevia dan Agrav sepulang sekolah tadi.

**

“Stev, tadi katanya mau pulang sama, Agrav?”

Stevia mengangguk. “Iya iya, Mona. Sabar dikit, dong.” Ucapnya sambil menoleh ke sekeliling. “Agrav!” serunya begitu melihat lelaki itu berjalan dengan langkah lebar keluar dari kelasnya.

Merasa namanya dipanggil, Agrav lalu menghampiri kami sambil tersenyum lebar. “Ngapain di sini? Belum pulang?” tanyanya.

“Belom. Nih, Mona ngajakin pulang bareng. Katanya tadi kamu belom jawab.”

Aku tersenyum kikuk. Asyem! Padahal sudah kukatakan untuk diam saja.

Hanya senyum tipis Agrav yang tertangkap mataku. “Ooh, iya aku udah tau. Ayo, sambil jalan aja.”

“Jadi...,” kalimat pertama yang Agrav ucapkan saat kami sudah keluar dari gerbang sekolah. “Kamu masih penasaran sama jawabanku?”

Aku mengangguk yakin. “Iya, tadi, kan belom jadi.”

Agrav tertawa kecil. “Kayaknya kamu penasaran banget, ya?” aku diam sampai dia kembali bertanya. “Apa ada sesuatu, sampai kamu penasaran gitu?”

Eh? Apa dia juga bisa membaca pikiran orang? Aku tersenyum gugup. “Cuma pingin tau aja.”

“Gitu,” Agrav mengangguk dua kali lalu dia menatap langit seolah sedang menerawang sesuatu. “Aku emang bisa liat hantu.”

Kaan!  “Dari kapan?”

Agrav menoleh sekilas. “Dari kecil.”

Aku memiringkan bibir. “Stevia bisa liat juga, dong?”

Stevia langsung menatapku datar. “Liat apa? Cowok ganteng? Woiya jelas!” ucapnya bangga.

“Bukan, lah! Liat hantu!”

Stevia bergidik. “Ogah! Jangan sampe, deh!”

Kelakuannya itu membuat Agrav menyemburkan tawa heboh. “Dia emang gak bisa liat, tapi siapa tau kapan-kapan bisa, kan?”

Stevia langsung melotot horor sambil memukul kencang pundak Agrav. “Ya, jangan doain gitu, dong!”

Mau tak mau, akhirnya aku ikut tertawa juga. “Emangnya indigo itu keturunan ya?”

Agrav diam sebentar sebelum kemudian mengedik acuh. “Entah. Kakek gak pernah cerita.”

Cukup lama kami bercerita sampai akhirnya, tiba juga di depan rumahku. Kenapa bisa sampai di sini? Karena mereka bersikeras ingin tahu di mana rumahku. Namun saat mereka mendadak diam, aku menoleh dan mengerutkan kening. “Kenapa?”

Agrav berdehem pelan sebelum kemudian dia menoleh. “Ini rumah kamu?”

Dilihat sekilas, wajah Agrav kelihatan pucat. Kuberikan senyum manisku, namun karena rasa bersalah, justru senyum sungkan yang terbit. “Em..., iya. Kenapa?”

Stevia berdehem gugup. “Aku..., tau rumah kamu di jalan Elang, tapi aku gak tau kalo rumahmu itu...,” dia berbisik lirih di telingaku. “Yang ini.”

Aku hanya bisa memberi senyum kikuk saat mereka berdua saling lempar pandang sebelum kemudian menoleh ke arahku dan tersenyum canggung. Tapi entah kenapa, Agrav tak terlihat seperti biasanya. Dia agak, berbeda.

My Friendly GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang