Aku duduk gelisah di tepi ranjang. Membolak-balik buku sambil sesekali melirik ponsel yang tergeletak di atas bantal. Entah apa yang kuharapkan dari terus-terusan melirik ponsel. Padahal sebenarnya aku justru penasaran ke mana perginya hantu menyebalkan itu.
Ya, Joe. Entah ke mana dia. Setelah dua teman yang tak diharapkan kedatangannya itu pulang, Joe sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Padahal aku sudah sangat penasaran untuk bertanya masalah yang terjadi tadi, tidakkah dia menyembunyikan sesuatu dariku?
Dari gelagatnya saja sudah dapat ditebak. Tapi dia justru kabur membiarkanku dengan kebingungan yang melanda ini. Astaga Joe! Di mana kamu sebenarnya?! Mendadak kurasakan tiupan lembut di belakang telingaku.
“Sepertinya ada yang sedang mencariku.”
Kontan aku menoleh dan memekik tertahan. “Joe!”
“Iya, sayang. Kamu cari aku, kan?”
“Mbahmu sayang!”
Joe justru tergelak karena semburanku.
“Kamu main ke kuburan mana, sih? Ngilang mulu!”
“Lho, bukannya kamu senang kalau aku minggat?”
Aku memanyunkan bibir. “Iya juga.” Joe mengangguk seolah membenarkan. “Eh, tapi ini penting!”
“Apa itu...,”
Aku justru tergelak karena nada bicaranya dibuat-buat imut. Sumpah, aku malah geli dibuatnya. Suaranya yang sedikit berat itu tidak cocok sama sekali jika dibuat macam suara Barbie. Berdehem pelan, aku kembali bicara. “Tadi, waktu teman-temanku dateng,”
“Oh, temanmu. Lalu kenapa? Aku tidak menakut-nakuti mereka, kan? Jelas..., aku anak baik. Kurang kerjaan sekali menakut-nakuti mereka.”
Akhirnya, mau tak mau, bola mataku berputar malas mendengar ocehan recehnya. “Bukan itu.”
“Apalagi teman perempuanmu itu, dia pasti orangnya penakut, kan?”
Ha? Aku terhenyak. Kok dia tahu?
“Kelihatan soalnya, hehe...,”
Lah? Kenapa ini malah ngerumpiin orang. Yah, walaupun memang benar, sih kata Joe, Stevia itu memang penakut. Aku bahkan sampai salut dia berani menginjakkan kaki ke istana ini.
“Bukan dia. Tapi temenku yang satunya, Agrav.” Sedetik setelah nama Agrav terucap dari bibirku, ekpresi Joe yang tadinya ceria berangsur muram.
“Ag.. rav..,”
Bahkan caranya mengeja saja sudah terdengar seperti ada sesuatu di antara mereka. Tapi apa itu? “Joe?”
“Jadi namanya, Agrav? Dia temanmu?”
Mendadak hawa sekitarku mencekam. Dingin sekali. “Iya, kenapa?” jawabku pelan.
“Jangan pernah mengajaknya ke sini lagi.”
Bulu kudukku meremang. Sikap Joe mendadak dingin sekali. “Err..., kenapa—”
“Jangan pernah biarkan dia melihatku.”
“Joe, apa maksud—” kalimatku terpaksa terpotong karena Joe mendadak menatapku tajam. Dia tidak seperti Joe yang kukenal. Dia menyeramkan. “Aku tidak ingin melihatnya.”
Aku mematung. Ada dengannya? “Tapi kenapa, Joe? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari aku?” Joe diam. Tapi maniknya masih menatapku lekat. Kulanjutkan kalimatku. “Kamu bilang kita teman, kan? Harusnya gak ada rahasia yang kamu sembunyiin dari aku.”
“Itu...,” Joe menggantung kalimatnya. Lama sekali. Haduh, kalau saja bisa, sudah kusleding kepala coklatnya yang benar-benar sleding-able itu. “Kamu tidak seharusnya tahu.”
“Ya tapi kenapa?” sahutku cepat. Biar saja. Aku sudah diambang kelewat penasaran.
Namun Joe tidak menjawab. Dia hanya diam kemudian membalikkan tubuh dan berjalan menjauhiku. Aku tak berusaha mencegahnya, entah kenapa, aku merasa dia ingin menunjukkan sesuatu padaku. Jadi aku hanya memutuskan untuk tetap berdiri di sini. Sekitar lima langkah di depanku, dia berhenti. Mengangkat tangan ke udara dan menjetikkan jarinya sekali.
Dhoops!
Sinar terang yang muncul tiba-tiba membuatku reflek memejamkan mata karena terkejut. Saat kembali membuka mata, aku benar-benar sukses dibuat semakin terkejut. Kosong. Hampa. Sepi. Hanya ada ruangan gelap tanpa cahaya sedikitpun.
Sampai tiba-tiba kusadari ada sebuah cahaya redup yang perlahan semakin terang seolah mendekatiku. Nafasku tercekat. Jantungku berdebar kencang seolah ingin lari dari tempatnya detik ini juga, begitu aku sadar cahaya apa itu.
Nyala api! Semakin lama semakin besar. Merayap ke semua bagian seolah membakar habis apapun yang dilewatinya meskipun yang terlihat hanya kekosongan dan api.
Api itu berkobar dahsyat, bahkan panasnya bisa kurasakan menjalar ke kulit tubuhku, membuatku kontan mematung di tempat. Sebuah teriakan menyedihkan menghinggapi telingaku. Kututup rapat kedua telinga dengan tangan dan memejamkan mata erat.
Pikiranku seolah melayang saat perlahan api itu kian membesar dan terlihat akan menyambarku, namun belum juga api itu sempat menyentuh tubuh, kurasakan hembusan angin kencang seolah mendorongku kuat dan,
Bum!
Hilang. Lenyap.
Nafasku masih memburu hebat. Aku melirik awas. Ini kamarku! Persis di tempatku berdiri tadi.
Joe! Ke mana dia? Apa maksudnya memperlihatkanku gambaran itu? Kenapa harus nyala api yang berkobar ganas begitu? Aku masih berpikir dengan nafas memburu dan dada yang bergemuruh kencang, saat samar suara Joe yang entah ada di mana saat ini, terdengar bergema menakutkan di telingaku.
“Itu jawabanku kalau kamu mau tahu, Mona.”
My Friendly Ghost
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...