Chapter 2

5.4K 367 5
                                    

Aku membuka mata perlahan. Entah kenapa udaranya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Padahal selimut tebal masih membungkus rapat tubuhku. Kularikan mata melirik sekitar. Masih gelap. Sepertinya ini masih malam. Lalu kucoba melirik jam dinding yang tergantung tepat di depanku. Pukul 01.00. Astaga, ini bahkan masih malam. Aku heran, tumben sekali aku yang biasanya seperti orang mati kalau tidur—kata Kak Auston—karena sulit sekali dibangunkan malah tiba-tiba bangun sendiri di tengah malam. Aku mengedik pelan. Mungkin karena baru berdaptasi dengan suasana kamar, makanya aku bisa terbangun.

Tapi kenapa semakin lama hawa di sini justru semakin dingin? Bukan. Bukan dingin yang membuat orang menggigil. Tapi ini lebih seperti, merinding. Aku bahkan bisa merasakan tengkukku mulai meremang. Kontan, kunaikkan selimut hingga menutupi bawah mata. Jendela sudah kututup rapat sebelum tidur tadi. Tidak hujan juga. Tapi kenapa bisa sedingin ini? Apa aku demam? Spontan tanganku langsung menyentuh dahi untuk memastikan. Tapi sepertinya biasa saja. Berdecak pelan, aku berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang mulai bermunculan. Positive thinking saja, mungkin karena ini masih malam makanya bisa sedingin ini.

Aku membalikkan tubuh perlahan. Entah hanya ilusi mataku saja atau apa. Tapi tepat di sisi ranjang sebelah kepalaku, aku melihat se-sua-tu. Seorang lelaki. Awalnya kukira Kak Auston. Tapi begitu aku mengingat kalau pintu sudah kukunci sebelum tidur, membuatku ragu kalau di-a, kakakku.

Cahaya bulan yang samar-samar menerobos masuk lewat celah atap yang tak sepenuhnya tertutup, membuatku dapat melihatnya dengan jelas. Pria ini benar-benar tampan. Melihat bagaimana manik birunya menatapku dalam dan senyum ramahnya terpatri indah di sana, membuatku terpesona dalam sekejap. Dia duduk dengan menopang dagunya di atas ranjang tepat di depan wajahku. Kulitnya putih pucat. Sangat putih untuk ukuran orang Indonesia, mengingat maniknya yang biru cerah, dia pasti bukan pribumi. Warna pakaiannya yang seperti bangsawan juga terlihat sedikit transparan, sama seperti wajahnya yang pucat.  Dia..., tidak terlihat..., solid.

“Halo.” Kalimat pertama yang terlontar dari bibir tipisnya setelah sekian lama hening tercipta. Namun, detik itu kesadaran menghantamku telak. Jantungku berdentum kuat seolah ingin lari dari tempatnya. Sontak, aku bangkit dan membelalak lebar.

Oh-My-Godness! Dia HAN-TU!

“AAA—!!”

“Ssstt....,” dia memotong teriakanku dengan menempatkan telunjuknya di depan bibir. “Hei, jangan teriak. Aku tidak jahat.”

Aku masih tetap membelalakan mata saat dia kembali bersuara. Suaranya sangat tenang. Tapi justru ketenangan itu yang membuatku semakin gemetar. Sepertinya aku mulai sadar darimana hawa dingin yang melingkupi kamar ini. Dia masih setia menatapku sambil tersenyum. Seolah tak memperdulikan tubuhku yang gemetar hebat saat dia bangkit dan berusaha mendekatiku. Begitu mendapat kembali kesadaranku, sekuat tenaga aku berteriak.

“KYAAAAA!!!” tanganku menutup erat kedua telinga sambil memejamkan mata rapat.

“Mona!!”

Suara gedoran pintu sontak membuatku langsung membuka mata, melompat turun dari ranjang dan membuka kunci pintu lalu menghambur ke pelukan Kak Auston secepat kilat. Tubuhku masih bergetar hebat. Siapa lelaki tadi?

“Ada apa, sih? Ngapain teriak-teriak? Kamu gak liat sekarang jam berapa?! Bikin kaget aja.”

Semakin erat kupeluk Kak Auston. “A-aku..., aku...,” lidahku seolah kelu untuk bicara.

“Kenapa? Cerita aja.”

Perlahan kulepaskan pelukanku dan menatapnya ragu. “Kalo aku bilang, apa kakak bakal percaya?” lirihku.

Tapi Kak Auston menatapku seolah tak percaya dengan apa yang kuucapkan barusan. “Emang kapan, kakak gak percaya sama kamu? Dulu, waktu kamu berantem sama anak berandal di sekolahmu aja, kakak percaya.”

My Friendly GhostWhere stories live. Discover now