Side Story - Chapter 37

181 9 0
                                    

*  *  *

Begitu Agrav menutup pintu, sahutan dingin dari sosok di dalam kamar itu membuatnya merinding seketika.

“Mau apa kamu ke sini?”

Agrav menelan saliva dengan gugup, perlahan ia berbalik dan berusaha menampilkan ekspresi tenang. “Aku..., mau bicara sama kamu.”

Joe tersenyum sinis. “Maaf, tapi aku tidak berminat membuang waktuku untuk meladeni bocah sepertimu.” Baru saja ia akan berbalik pergi, seruan Agrav membuatnya menghela nafas dan memilih untuk mendengarkan—walau sebenarnya tidak serius— sejenak.

Ia memutuskan untuk membuat kamar Mona menjadi kedap suara. Menurutnya pembicaraan ini pasti akan memakan waktu lama dan Mona tidak boleh mendengarnya.

“Aku mohon, kali ini aja. Aku Cuma mau jelasin faktanya sama kamu.” Agrav menatapnya memohon yang dibalas Joe dengan memutar bola mata malas. “Fakta apa?” ketusnya.

Agrav berdehem sejenak. “Semuanya. Tentang apa yang aku ceritain sama, Mona di rumahku waktu itu.” 

Joe mengernyit. “Kamu sebenarnya tahu kalau aku memang ada di sana waktu itu, kan?”

“Iya.” Agrav mengulum bibirnya. “Aku mau kamu dengerin ceritaku.”

“Tapi apa yang kamu ceritakan pada, Mona itu salah!” pekikan Joe membuat Agrav sedikit tersentak karena terkejut. “Kakek sendiri yang cerita sama aku waktu masih kecil dulu.” Ungkapnya.

Joe diam mendengarkan sambil bersedekap di atas kasur Mona. Agrav melajutkan. “Aku nemu surat yang ditulis tangan sama kakek, dia nyembunyiin surat itu di buku tebal yang ada di rak buku depan televisi.”

Lelaki itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas lalu menunjukkannya di hadapan Joe dengan tangan gemetar. “Ini suratnya. Aku bawa ke sini, buat kamu. Siapa tau kamu mau baca.”

Joe mendengus lalu memalingkan wajah. “Tidak perlu. Bawa pulang saja sana!” 

Agrav menelan ludah gugup. Mona benar, hantu ini memang keras kepala dan menyebalkan. “Oke, kalo kamu gak mau baca, biar aku yang bacain buat kamu.”

“Hei!” Joe memekik terkejut karena Agrav berani membantahnya. Tetapi lelaki dengan kaus navy itu tetap bersikeras bercerita. “Sebenernya, kakek gak pernah membunuh kamu sama keluarga kamu. Itu semua orang lain yang ngelakuinnya. Kamu tau kepala koki di rumah kamu dulu, dia yang punya otak dibalik tragedi yang kamu alami.”

Joe mengernyit tak yakin. Ia merasa kepala koki yang bocah itu maksud pasti Pak John, pria berkebangsaan yang sama seperti ayah, Inggris. Tapi setelah ia berusaha mengingat-ingatnya, pria yang bahkan usianya sudah lebih dari setengah abad itu tak mungkin melakukan itu semua, karena dia orang yang sangat baik apalagi dengan keluargnya.

“Tidak mungkin! Pribumi itu pasti menipu!”

Agrav menghela nafas. “Yang kamu bilang pribumi itu, kakekku.” Ujarnya tak terima. 

Joe menggerutkan hidung. “Aku tak peduli!” Ia mengabaikan ekspresi bocah di depannya yang—sepertinya—mulai mengeluarkan tanduk karena kesal.

“Ya ya, terserah kamu aja.” Agrav melirik sejenak kertasnya kemudian menatap Joe. “Kakek sadar kalo dia emang salah udah suka sama ibu kamu. Tapi waktu ayah kamu menentangnya, kakek lalu berhenti dan tidak pernah mengungkit itu lagi. Kepala koki itu yang berniat jahat sama keluarga kamu. Dia serakah dan licik. Deket sama keluarga kamu itu, salah satu alasannya. Dia pingin menguasai harta keluarga kamu yang buanyaaak banget itu.”

Joe mengerutkan hidung. “Yang benar?”

Agrav mengangguk yakin. “Iya! Kecelakaan orangtua kamu itu udah direncanain sebelumnya. Kepala koki itu nyuruh orang buat ngerusakin rem mobil itu.” Setengah tak percaya, Joe mengernyit namun tetap membiarkan Agrav kembali bicara. “Kebakaran di rumah kamu juga disengaja. Kepala koki itu juga yang jadi dalangnya. Dan sayangnya, dia kerjasama dengan para maid kamu. Waktu dia tau kalo paman kamu belom pulang, dia dan semua maid itu nyiram bensin ke rumah kamu, terus mereka sengaja ngunci kamarmu biar kamu gak bisa keluar. Lalu, ya..., rumah itu dibakar. Dari jauh-jauh hari mereka udah rencanain ini.”

Joe tetap diam mencerna semua yang Agrav katakan. Sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Mendadak, ia jadi berasumsi alasan mengapa saat itu salah satu maid memintanya untuk tidur lebih cepat dari biasanya, apa mungkin itu alasanya? Mereka ingin membakarnya hidup-hidup sebelum paman pulang? Agar tidak ada saksi mata mungkin?

Agrav menambahkan kembali. “Kakek gak salah. Dia gak masuk dalam semua tragedi yang terjadi sama keluarga kamu. Ini murni gara-gara kelicikan si kepala koki itu. liciknya lagi, dia justru nuduh kakek-lah dalang dibalik semua ini gara-gara selisih paham dulu.” Ia kembali mengangsurkan surat itu pada Joe. “Kakek juga minta maaf kalo dia bodoh karena udah pernah suka sama ibu kamu. Tapi sebenernya kakek gak sengaja, dia bilang rasa sukanya itu cuma sebatas karena ibumu baik banget sama pribumi kayak kakek, dia bener-bener sayang sama kamu dan keluargamu. Dia gak pernah ngelakuin apa yang selama ini jadi 'mimpi buruk' buat kamu. Dia gak bunuh orangtua kamu, dia juga gak bunuh kamu. Kakek bener-bener sayang sama kalian, karena Cuma kalian yang mau memperkerjakan kakek yang seorang pribumi satu-satunya di rumah kalian, apalagi sebagai asisten pribadi ayah kamu.”

Joe hanya menatap diam kertas yang dipegang Agrav. “Darimana pribumi itu tau semuanya? Dia lihat? Tapi tidak berusaha menghentikannya?!” pekiknya.

Agrav berdehem gugup. “Joe, kakek gak tau dan gak ada di tempat kejadian saat tragedi itu berlangsung. Kecelakaan orangtua kamu, dia tau dari polisi yang mengungkap faktanya, sama teknisi yang meriksa mobil itu, teknisi itu bilang kalo rem mobilnya emang sengaja dirusak. Dan kebakaran rumah kamu, dia tau dari tetangga sekitar dan beberapa saksi yang sempat lewat sana. Mereka liat kalo beberapa maid nyiram sesuatu ke rumah kamu.”

Berdehem sejenak seolah masih berusaha bangkit dari kenyataan pahit itu, Joe menatap tajam ke arah Agrav. Namun Agrav tak merasa gentar dengan tatapan itu, ia hanya ingin meluruskan kesalahpahaman ini dan membuat Joe bisa kembali dengan tenang. Joe memutar mata dan memalingkan wajah. “Yasudahlah, lagipula itu masalah lama, kan? Pribumi itu juga sudah bunuh diri.”

Agrav mematung. Ia tak percaya hantu menyebalkan itu bisa bicara begitu. “Kakek gak bunuh diri. Dia dibunuh.” Sejenak suasana mendadak hening. Agrav melanjutkan. “Setelah orangtua kamu meninggal, kakek pergi jauh untuk menenangkan diri. Tapi waktu dia denger kabar kalo kamu juga meninggal, kakek mutusin buat ke sini lagi dan cari tau kebenarannya. Kakek ceritain semuanya sama paman kamu. Se-mua-nya. Tapi kepala koki itu gak terima dan akhirnya dia bunuh kakek.” Sekali lagi, ia melanjutkan. “Awalnya kakek emang mutusin buat tinggal di sekitar sini karena mau deket sama kamu, tapi saat tahun semakin berganti dan kepala koki itu makin gila, dia justru menembak kakek. Tepat di ulangtahunku yang kesepuluh, waktu kakek lagi jalan pulang ke rumah habis beliin aku kado.”

Joe diam, meski ia merasa gemetar karena mendengar cerita bocah itu dan keberaniannya mengungkap semua fakta yang dahulu terasa abu-abu baginya. Agrav membuka mulut. “Kamu tau, aku bener-bener sedih waktu itu. Dan paman kamu, akhirnya nuntut si kepala koki dan dia dipenjara seumur hidup karena perbuatan kejinya.”

Sejenak suasana kembali hening dan dingin terasa begitu mencekam. Joe menatap tajam pada Agrav. “Kamu tahu, aku tidak pernah suka ada yang mengingatkanku dengan masa laluku. Bagaimanapun itu.”

Agrav tercengang. “Tapi..., aku udah cerita semuanya. Kenapa kamu gak percaya?”

Joe menatapnya datar. “Karena aku memang tidak mau tahu.” Ia lalu melanjutkan dengan tegas. “Keluar.” 

Tapi Agrav justru menggeleng dengan berani. “Gak mau, aku mau di sini sampe kamu percaya!”

Joe menggeram gemas. Dengan kekuatan magisnya, tanpa menyentuh Agrav sedikitpun ia lalu mengangkat lelaki itu dan mendorongnya kuat hingga membuatnya menghantam pintu kamar Mona, lalu membuka pintunya dengan cepat dan kembali mendorongnya sekali lagi hingga Agrav menghantam pintu di seberangnya dan jatuh tertelungkup.

Ia juga melemparkan jam weker yang ada di atas meja Mona, dengan niat menggertak Agrav agar dia tidak nekat menghampirinya kembali, namun justru lemparan itu salah sasaran dan malah mengenai Mona, tepat di dahi.

Joe merasa jantungnya berhenti berdetak—meski memang sudah tak berdetak lagi—karena ia sangat merasa bersalah. Namun rasa malu dan kecewanya karena telah mengingkari janji untuk tak menyakiti Mona, lebih besar dan mendominasi.

Ia memilih berbalik dan pergi untuk menyembunyikan rasa bersalahnya karena sudah melukai mereka berdua dengan membawa surat kakek Agrav yang jatuh di dekat pintu bersamanya.

* * *

My Friendly Ghost

My Friendly GhostDonde viven las historias. Descúbrelo ahora