Side Story - Chapter 3

5.2K 321 6
                                    

*  *  *

Tempo hari kala itu. Di suatu pagi, tepatnya di halaman sebuah rumah besar dengan arsitekturnya yang kental dengan nuansa Belanda. Terlihat tiga pria, dan dua wanita yang sedang duduk santai dengan beberapa peralatan rumah tangga di dekat mereka.

Kelimanya tampak tengah mengagumi sekitar. Mulai dari pemandangan di halaman depan rumah tersebut yang tampak penuh dengan rerumputan dan semak belukar yang mulai meninggi karena lama tak terpangkas. Lalu, ada beberapa pohon besar di seberang pagar.

Terakhir, rumah besar itu yang terlihat tua. Desain yang menarik ditambah dengan tambahan balkon minimalis di lantai dua rumah itu. Masih terlihat jelas, bunga dan beberapa tanaman menghias di sana meski sudah tampak tumbuh liar dan kusam tak terawat.

Jendela serta pintu yang terlihat juga begitu berdebu dan usang. Banyak sarang laba-laba menggantung. Padahal hari masih pagi, tapi mereka justru merasa seperti ada sesuatu yang terus mengawasi mereka dari balik rumah itu. Perasaan itu mereka rasakan begitu mulai membuka kunci gembok pagar. Namun, tak satupun dari mereka saling mengungkapkan.

"Pak Nar, kenapa kita gak langsung bersih-bersih, aja?" salah seorang wanita berdaster merah kembang-kembang memulai pembicaraan. Bu Nina namanya.

Pak Narwi, pria paling tua di antara mereka sedang meneguk air putih dari botol, setelahnya ia menjawab. "Sebentar, Buk. Kita tunggu, Mas Auston sampai dulu."

Zafar, pria paling muda yang sedang asyik memperhatikan dedaunan di dekatnya langsung menoleh. "Oh..., jadi yang punya rumah ini masih muda, ya, Pak?"

"Iya." Pak Narwi menjawab singkat.

"Wuih..., keren, dong." Bu Lisa-Wanita satunya yang berkaos biru muda dan celana panjang longgar ikut menimpali. "Masih muda, udah punya rumah gede begini."

"Mas Auston bilang, rumah ini punya orangtuanya. Dan mereka diminta nempatin rumah ini." Pria berbaju hijau dan berkumis tipis akhirnya ikut bicara. Mereka memanggilnya Pak Juan.

"Mereka?" Zafar bertanya penasaran. Ia sudah duduk di dekat Pak Narwi yang sedang mengunyah bakwan.

"Iya, Mas Auston punya dua adik perempuan. Yang satu SMA, satunya lagi masih SMP."

Zafar ber-oh panjang. Kemudian ia teringat sesuatu, sejenak diliriknya rumah itu lalu kembali menatap mereka. "Pak, emang bener, ya, kalo dulu rumah ini punyanya orang Belanda?"

Mereka diam sejenak sebelum kemudian melanjutkan aktivitas masing-masing. Seperti dua wanita itu yang sibuk ngerumpi. Sementara Pak Juan berpura-pura menutup mata sembari rebah di rumput. Dan Pak Nar yang masih sibuk mengunyah gorengan.

Merasa tak diperhatikan, Zafar mengerucutkan bibir. "Emang bener, pernah ada pembunuhan di sini?"
Pak Nar langsung tersedak bakwan yang tengah dikunyahnya, ia bertatapan dengan Pak Juan seolah saling telepati dengan masing-masing mengatakan, 'Gimana, tuh?' atau juga 'Duh, dia nanya begitu. Jawab gak, nih?'

"Pak?"

"Eh?" Pak Nar meletakkan bakwannya yang tinggal separo di pinggir piring. "Kamu tau darimana, Zaf?"

"Simbah yang cerita. Katanya dulu, rumah ini kebakaran terus makan korban? Apa iya?"

Kedua wanita itu masih sibuk bergosip. Karena mereka tidak tahu, dan belum ada di saat itu.

"Hm...," kedua pria tua itu berpandangan lagi. Sebelum kemudian, Pak Juan angkat suara. "Dulu, bukan rumah ini yang terbakar. Ada satu rumah lagi sebelumnya, karena hangus dan merasa gak bisa dipake lagi, rumah itu digusur."

"Terus? Ke mana orang yang punya rumah ini?"

"Dia pulang ke negara asalnya."

"Belanda?"

My Friendly GhostWhere stories live. Discover now