Chapter 1

7.4K 436 39
                                    

Aku  berdiri  di  depan  sebuah  rumah  yang  menurutku  lumayan  besar.  Rumah  dua tingkat  dengan  gerbang  besi  yang  menjulang  tinggi.  Menurutku  rumah  ini  lebih  terlihat seperti  rumah  bangsawan,  maybe.  Lihat  saja  bagaimana  arsitektur  bangunan  itu. Walaupun  terlihat  tua  dan  sedikit  kuno,  tapi  pondasinya  terlihat  kuat.  Itu  terbukti  dari kokohnya  bangunan  ini  yang  tetap  kokoh  berdiri  walau  sudah  mulai  usang  dimakan usia.  Aku  bahkan  heran,  mau-maunya  orang  tuaku  membangun  rumah  dengan  desain menyeramkan  begini.  Ya  memang,  papa  dulu  sangat  tergila-gila  dengan  Negara  Kincir Angin  yang  bahkan  ratusan  tahun  silam  sempat  menjajah  negeri  tercinta  ini.  Papa memang  bukan  asli  pribumi,  masih  ada  darah  Kanada  dalam  dirinya.  Tepatnya  dari kakek.  Karena  itu,  dibelakang  nama  kami  ada  tambahan  dari  nama  belakang  papa. Allred.


Rumah ini  juga memiliki balkon.  Walaupun hanya satu,  tapi ada beberapa tanaman yang  menghias  cantik  di  sana.  Ada  yang  digantung  adapula  yang  diletakkan  begitu  saja. Jenis  tanamannya  bermacam-macam  seperti,  tanaman  rambat  dan  ada  juga  yang daunnya menjuntai ke bawah.  

Sebenarnya  rumah  ini  terlihat  cukup  nyaman.  Penampakan  luarnya  lumayan bersih.  Yah...,  tidak  juga  sebenarnya.  Rumput  liar  menjulang  tinggi  di  sekitar  pagar,  di dekat  pintu  masuk  juga sama.  Sepertinya  tukang  kebun  yang  Kak  Auston  titipkan  rumah ini lupa  untuk  memangkasnya.  

Tapi,  ada  sesuatu  yang  membuatku  merasa  tidak  nyaman  setelah  beberapa  menit berada  di  sini.  Suasana  yang  perlihatkan  rumah  ini  terasa  begitu  suram.  Seperti  ada sesuatu yang  pernah terjadi di sini  pada masa  lampau.  

Kalau  kalian  mengira  aku  adalah  anak  indigo  atau  memiliki  kemampuan  sixth sense,  atau  semacamnya,  kalian  salah  besar.  Karena  nyatanya,  aku  tak  memiliki semuanya.  Tidak  dari  keturunan  orang  tua  atau bahkan  leluhurku sekalipun.  Aku benar benar  biasa  saja.  Tak  se-istimewa  itu.  Lagipula,  tanpa  kemampuan  semacam  itupun, kurasa  orang  lain  juga  akan  tahu  jika  melihatnya  secara  langsung  sepertiku.  Dengan sekali tatap  saja akan  membuatmu merinding  disko.

Biar  kuperjelas,  ini  memang  sore  hari.  Ditambah  dengan  deretan  pohon-pohon besar  berakar  gantung  dan  berdaun  rindang—persis  seperti  pohon  beringin—semakin mendukung  hawa  menyeramkan  di  sekitar  rumah  ini.  Gelap  dan  sunyi.  Bahkan  jarak dari rumah  ke rumah  lain sangat renggang.   

Aku  mengalihkan  pandang  pada  beberapa  jajaran  rumah  terdekat  yang  masih  bisa terlihat.  Mataku  menatap  lekat.  Sedekat-dekatnya  rumah  calon  tetanggaku  nanti, jaraknya  bisa  mencapai  hampir  sepuluh  meter.  Yang  benar  saja!  Kalau  begini  sama seperti  tidak  memiliki  tetangga,  dong!  Jaraknya  saja  sudah  sejauh  itu.  Aku  bahkan  ragu, kalau  nanti terjadi sesuatu,  apakah mereka bisa tahu?  Mustahil kurasa.

Dilihat  sekilas,  setiap  jajaran  rumah  itu  nampak  biasa  saja.  Layaknya  rumah  pada umumnya.  Tapi  sepertinya  hal  tersebut  berbeda  dengan  rumah  yang  akan  kami  tempati mulai  hari  ini.  Tepatnya,  rumah  dengan  cat  dan  aura  yang  sama-sama  gelap  di  depanku. Rumah besar yang  terlihat  tua,  peninggalan orang  tuaku.  Atau  lebih tepatnya,  almarhum orang  tuaku,  yang  meninggal  karena  kecelakaan  mobil  saat  usiaku  bahkan  masih  10 tahun.  Dan  sekarang,  rumah  ini  diberikan  untuk  kami.  Aku,  kakak  laki-laki—Auston yang  sudah  bekerja  di  salah  satu  perusahaan  negara—dan  adik  perempuan—Mia  yang masih duduk  dibangku  menengah pertama.

My Friendly GhostWhere stories live. Discover now