Side Shapter - Chapter 33

256 18 2
                                    

Halo halo! Gimana kabarnya kalian semua? Semoga sehat-sehat selalu yaa.. Btw kayak udah lama banget gitu ya aku gak update-update, sampe ada beberapa dari kalian yang nanyain lho ya ampun makasih ternyata kalian perhatian banget..., *peluk cium

Omong-omong ini chapter terpanjang yang kutulis untuk cerita ini, coba tebak hampir 3000 kata! Amsyong, pegel juga nih jempol wkwk. Jadi kalian kudu siapin cemilan ama rebahan yg enak dah biar gak pegel bacanya.

Ini chapter POV-nya Joe, tau kan dia buaweellnya kayak apa? Rencananya tadi mau kubuat 2 chapter tapiiii gak jadi deh, itung-itung buat menghibur kalian hehe..

Happy reading and keep healty!

*  *  *

J O E

Jonathan Grissham. Itulah namaku. Nama yang kusandang sejak lahir. Nama pemberian kedua orangtuaku. Dan Joe, adalah nama kecil yang menjadi panggilanku. Aku lahir di Rotterdam, Belanda. Salah satu kota terbesar kedua setelah Amsterdam.

Ayahku bekerja dan ibuku tidak. Ibuku menghabiskan waktunya di rumah untuk berkebun dan mengasuhku, sama seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya. Sejak usia lima tahun, keluargaku sudah ada di salah satu negara yang dahulu menjadi bekas jajahan negaraku. Indonesia.

Tapi kudengar, katanya negara itu sudah merdeka sejak sepuluh tahun lalu. Yang kutahu, ayah dan ibu sangat tertarik dengan Indonesia karena keindahan alam dan kekayaan yang ada di sana. Fyi, ini tidak ada hubungannya dengan alasan negaraku menjajah Indonesia dulu. Ini murni karena mereka hanya ingin menikmati keindahan negara itu layaknya penduduk asli sana.

Hingga akhirnya belasan tahun kami menetap di sana, kehidupanku awalanya normal-normal saja seperti remaja biasa pada umumnya. Keluarga bahagia, aku punya banyak teman, dan beberapa sahabat pribumi. Mereka menerimaku dengan senang hati. Tidak membedakanku karena bukan pribumi, apalagi mengingat kalau aku adalah kompeni yang dulu sempat menjajah negara mereka selama 3,5 abad.

Crazy! Kalau aku yang menjadi mereka saat penjajahan itu, sudah pasti aku akan mati muda. Aku tidak akan sanggup jika hidupku harus dijajah bebas seperti mereka. Itu lama sekali, Bro! Dan aku benar-benar salut dengan para pribumi yang sudah mati-matian membela negara mereka agar bebas.

Kukira hidupku akan baik-baik saja. Tapi nyatanya, tidak seperti apa yang pernah kubayangkan sebelumnya. Paman Herman, salah satu pribumi yang diangkat ayahku menjadi asisten kepercayaannya. Paman yang sudah kuanggap kakakku sendiri, karena aku sangat menyayanginya. Tak pernah kusangka jika akhirnya justru dia yang membawa kehancuran itu pada keluargaku. Aku membencinya. Detik itu, dia membuatku mengikrarkan janji untuk membenci pribumi.

***

Puluhan tahun sudah berlalu. Aku tidak pernah benar-benar pergi dari sini. Padahal yang kutahu, kedua orangtuaku sudah tenang di alam sana, melambai padaku sambil tersenyum cerah seakan mengajak agar ikut bersama mereka. Tapi ternyata, aku tetap tinggal dan tidak pernah bisa pergi.

Bahkan aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Rumahku juga sudah lama digusur. Pamanku yang memintanya. Meskipun aku sangat menyayangi rumah itu, tapi bagaimanapun juga, rumah itu terlalu tua untuk tetap berdiri kokoh. Jadi kurelakan saja saat akhirnya rumah penuh kenangan itu digusur.

Aku tak masalah jika rumah itu digusur, tapi aku tak akan membiarkan pohon besar di halaman belakang-yang aku tidak tahu namanya hingga sekarang-ikut ditebang juga. Jadi aku tetap mempertahankan pohon itu. Pohon yang menjadi kunci jalan menuju ruang bawah tanah favoritku. Aku, ayah, dan..., dia-orang yang tak ingin kuingat itu-kami yang membuatnya bersama.

Meski hanya ruang kecil dan sederhana, tapi kami menyimpan banyak foto di sana. Jadi, begitu rumhaku digusur, aku tak membiarkan pohon itu ikut ditebang, akhirnya tanah ini tetap kosong meski ada satu pohon besar yang tetap berdiri kokoh karena tak bisa ditebang. Dan itu karenaku, hehe...

My Friendly GhostOnde histórias criam vida. Descubra agora