BAB 12

104K 10.5K 105
                                    

#836 in Romance. Thanks! *love*

Meskipun ini terlambat, tetapi ia ingin merasakan cinta. 

Walau hanya sekali.  

Kevin duduk di atas sofa ruang keluarga dengan angkuh. Kedua tangannya dilipat di atas dada. Ia tidak mau belajar jika dibimbing oleh Rachael! Buku-buku yang tadi dibawanya tidak terbuka sama sekali. 

Rachael tidak mengetahui alasan mengapa Kevin tidak menyukainya. Seingatnya saat ia menjadi wali kelas Kevin dua tahun yang lalu, Kevin bukanlah anak yang seperti ini. Ia anak yang pendiam, dan tidak banyak protes. 

Haaah~

Rachael menghela nafasnya dengan keras. Ia lalu menghampiri Alexander yang duduk di sofa tunggal masih sambil menggendong Marvel yang sedari tadi tidak mau lepas darinya.

"Jadi, Alexander dulu? Atau Marvel dulu yang les?" 

Pertanyaan Rachael menimbulkan pertanyaan dalam pikiran Alexander. Apakah ia juga diminta les oleh papanya? Tidak mau!

"Alex gak les, ibu Rachael! Hanya Kevin saja yang les." Alexander menjawab pertanyaan Rachael dengan nada protes. Ia benar-benar tidak mau les!

"Tapi papa Alex bilang bahwa kalian bertiga akan les secara bergantian sama ibu." jawab Rachael pelan karena ia sendiri juga merasa kebingungan. Apakah Alexander berbohong kepadanya? Atau benar-benar tidak tahu?

"Bentar! Alex telfon papa dulu. Alex gak mau jadi korban les palsu. Nanti waktu main Alex berkurang." Alexander masih tetap mengajukan protesnya sepanjang jalan menuju telepon rumah yang terletak di sebelah kanan tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai satu.

Lima menit dihabiskan Alexander dengan beberapa kali menekan tombol pada telepon rumah. Jonathan tidak mengangkat panggilannya sama sekali. 

"Gimana? Papa angkat?" tanya Rachael berbasa-basi, ia tahu bahwa panggilan Alexander tidak dijawab sama sekali, karena Rachael mengamatinya sedari tadi dan tidak ada tanda-tanda ia berbicara dengan Jonathan. 

"Coba ibu guru telepon papa pakai ponsel ibu guru. Alex udah cape berdiri di sana tapi gak diangkat-angkat!" Alexander duduk dan menyelonjorkan kakinya.

"Iya, sebentar ya... Marvel turun sebentar,ya! Ibu guru mau ambil ponsel." Rachael menurunkan Marvel dari gendongannya, lalu meraih handbagnya yang terletak di atas meja. 

Ia menelepon Jonathan. Setelah mendengarkan nada tunggu, Rachael mengarahkan ponselnya kepada Alexander, membiarkan Alexander yang berbicara.

"Papa! Kenapa papa baru angkat telepon Alex? Alex gak mau les, papa! Kan kemarin yang mau les cuman Kevin!" protes Alexander panjang lebar setelah Jonathan mengangkat teleponnya. 

"Gak! Pokoknya Alex gak mau les papa." protes Alex lagi, kali ini ditambah dengan raut wajahnya yang menekuk. 

"Ya!" Alexander menekan tombol merah pada layar sentuh ponsel Rachael dengan kuat. Wajahnya masih kesal. 

"Jadi, bagaimana? Alexander ikut les kan?" Rachael terkikik, menertawakan Alexander yang sudah menekuk wajahnya. "Ayo! Karena hari ini hari pertama les, Alex cuman les tiga puluh menit deh! Ibu beri diskon! Tapi besok-besok nggak lagi,ya!"

"Iya! Alex ambil buku PR dulu..." ucapan Alex mulai melunak, ia berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas. 

"Kevin?" panggil Rachael. 

Kevin mengarahkan pandangannya menuju Rachael, masih dengan tatapan kesal yang tidak dimengerti oleh Rachael. 

"Kevin mau sambil kerja PR? Hari ini cuman kerja PR aja gimana? Nanti ibu periksa. Kata papa, ada yang Kevin tidak mengerti, ada yang mau ditanyakan?"

Jawaban yang didapat Rachael hanyalah raut wajah Kevin yang semakin kesal.

"Ok! Hari ini Kevin kerja PR saja, setelah itu ibu periksa."

----

Marvel duduk di atas pangkuan Rachael. Dari sore tadi, Marvel tidak mau lepas dari sisi Rachael. Ia lengket seperti perangko. 

"Empat tambah tujuh , berapa? Empat di tangan, tujuh di mulut." Rachael mengajari Marvel dengan lembut. Marvel sangatlah berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya. 

"Delapan, cembilan, cepuluh, cebelas, duabelas..." Marvel menutup keempat jarinya yang terbuka.

"Salah... Marvel hitungnya kelebihan. Ayo ulangi. Bu guru bantu." Rachael kembali membuka keempat jari Marvel , memintanya untuk menghitung dari awal.

"Mama... Marpel gak mau panggil bu gulu." 

Sejak mendapatkan gilirannya tiga puluh menit yang lalu, bibir kecil Marvel tidak berhenti memanggil Rachael dengan sebutan 'mama'. Rachael sudah berulang kali mengoreksi pangilan dari Marvel. Tapi Marvel tetap bersikeras memanggil Rachael dengan panggilan mama. 

"Kalau gitu panggil aja mami!" celetuk Alexander yang masih sibuk memainkan gamenya.

"Gabungan dari mama dan ibu guru. Hahaha!" Lanjut Alexander.

"Mami...." Rachael mengarahkan pandangannya kepada Marvel yang menatapnya dengan mata berbinar.

"Alex!" tegur Rachael dengan tegas yang hanya mendapat kekehan dari Alexander.

  Haah~ Rachael berharap malam ini cepat berlalu. 

---- 

Suara pintu terbuka dan langkah mbok Inem yang terburu-buru mengalihkan pandangan Marvel. Marvel menatap papanya yang berjalan masuk.

"Papa!" Marvel mengarahkan kedua tangannya ke atas, meminta agar Jonathan segera menggendongnya. 

Jonathan mengambil Marvel dari pangkuan Rachael dengan santai seolah ini adalah hal yang biasa. Namun, Rachael menundukkan wajahnya, ia seperti istri yang menunggu suaminya pulang. 

"Malam, Rachael!" sapa Jonathan yang telah menggendong Marvel. Jonathan tampak besar dari arah pandang Rachael. Rachael yang merasa tidak nyaman pun berdiri di atas karpet yang tadi didudukinya sambil mengajar Marvel.

"Malam, Jonathan."

"Bagaimana dengan anak-anak? Apakah PR mereka sudah selesai?"

"Sudah. Tapi ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan anda."

"Baiklah, mari kita bicara di dalam."

Jonathan mengarahkan Rachael menuju ruang kerjanya.

----

"Ada apa, Rachael?" tanya Jonathan setelah mereka berdua duduk dengan nyaman di dalam ruang kerjanya. Ia membiarkan Rachael waktu untuk mengamati ruang kerjanya yang dominan berwarna coklat sebelum melontarkan pertanyaannya.

"Saya rasa Kevin tidak cocok dengan saya sebagai guru lesnya. Dari tadi sore ia tidak mau diajar oleh saya. Ia hanya mengerjakan PRnya tanpa berkata apa-apa."

"Benarkah? Padahal waktu itu ia sangat antusias untuk les." Jonathan menaikkan alisnya. "Nanti akan saya tanyakan kepada Kevin. Untuk beberapa hari ini tolong tetap ajari mereka bertiga, saya akan memberikan pengertian kepada mereka."

Jonathan mengamati wajah yang akhir ini membayangi pikirannya. Meskipun terlalu cepat, tapi ia rasa , ia menyukai Rachael. Ia harap ketiga putranya tidak akan mempersulit pergerakkannya.

Meskipun ini terlambat, tetapi ia ingin merasakan cinta. Walau hanya sekali.


SWEETEST KARMA[ADA DI TOKO BUKU]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora