BAB 2

157K 12.8K 140
                                    

Sejak bercerai dengan istrinya tiga bulan yang lalu, tidak membuat kesibukan Jonathan Tanjaya semakin berkurang. Jadwal-jadwalnya yang sebelumnya sudah padat menjadi semakin padat.

Ia merasa gagal menjadi seorang ayah yang baik bagi ketiga putranya.

Saat pulang larut, ia akan mendapati putra bungsunya tertidur di atas sofa bersama dengan kedua kakaknya yang sedang asik memainkan play station. Ia selalu pulang di atas jam sebelas malam dan putra putranya masih belum tidur, seperti saat ini.

"Sudah cukup bermainnya, kids. Sekarang matikan play station kalian sebelum papa menyitanya," tegur Jonathan sambil melonggarkan dasi hitam yang mengalungi lehernya dengan erat. Ia menggendong putra bungsunya di depan dada, lalu membawanya untuk tidur di dalam kamar. Langkah kakinya diikuti oleh Kevin dan Alexander.

Semenjak ia dan istrinya bercerai, ketiga putranya sangat sering tidur bersamanya. Mereka seakan kehilangan sosok ibu yang selama ini menemani mereka bermain di rumah, memasakkan makanan untuk mereka, dan menemani mereka tidur, meskipun mereka tidak menunjukkannya secara terus terang.

"Papa. Besok aku, Alexander dan Marvel terima rapor. Papa datangkan? Kalau papa nggak bisa, Kevin bisa kok minta mama datang," ucap Kevin, putra sulung dan putra yang menurutnya memiliki sikap paling dewasa di antara kedua saudaranya yang lain.

Jonathan melemparkan pakaian kotornya ke dalam keranjang pakaian. Ia berjalan menuju kamar mandi, sambil menjawab pertanyaan putranya. "Bisa, besok papa datang. Jam berapa?"

"Jam tujuh pagi. Papa ke kelas Alex aja dulu, soalnya rapornya dibagiin sesuai abjad. Setelah Alex, Kevin, baru Marvel," jelas Kevin secara rinci.

"Ok! Good night!" ucap Jonathan sebelum menutup pintu kamar mandi.

Jonathan berjalan keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya, mencegah air dari ujung rambut untuk jatuh membasahi lantai kamar.

Ia mendapati ketiga putranya sudah tertidur pulas dengan selimut besar yang menyelimuti mereka. Ia mencium kening putranya satu-persatu, sambil mengamati wajah tenang putra-putranya.

Sebelum bercerai dengan istrinya, hal ini cukup jarang dilakukannya. Ia sudah lelah bekerja begitu juga dengan ketiga putranya yang sudah tidur sehingga ia tidak pernah berani mencoba untuk membangunkan mereka sekedar untuk berbicara, layaknya ayah dan anak pada umumnya.

Entah ini harus disyukuri atau tidak, namun sejak ia bercerai dengan istrinya, Jonathan semakin mengenal ketiga putranya. Ia juga menyempatkan waktu untuk berbincang, bermain play station pada hari Minggu, dan ya... tidur bersama.

Jonathan meletakkan handuk basahnya di atas jemuran di depan kamar mandi, lalu naik ke atas kasur untuk tidur.

***

"Papa, nanti jangan telambat untuk ambil lapol Malpel ya! Malpel pasti dapat nilai bagus," ucap anak bungsunya, Marvel. Jonathan duduk di belakang kursi kemudi. Sudah lama ia tidak mengantar ketiga putranya ke sekolah, dan akhirnya hari ini ia dapat mengantar sekaligus menerima rapor ketiga putranya, sendirian.

Jonathan mematikan mesin mobil, lalu keluar dari mobil diikuti oleh ketiga putranya.

"Papa, sepertinya kita sudah terlambat. Lihat, lapangannya sudah sepi. Ayo, Papa!"

Alexander, putra keduanya, menarik tangannya dan berlari pelan menuju kelasnya yang berada di lantai tiga. Alexander dan Jonathan meninggalkan Kevin yang sudah menggandeng tangan Marvel untuk masuk ke dalam kelasnya yang berada di lantai dasar.

Ternyata benar perkataan Alex, mereka memang terlambat. Tidak terlihat lagi keberadaan para orangtua, hanya ada murid-murid yang sedang menunggu orangtua mereka di lorong.

Jonathan menggeser pintu kelas putranya. Saat berhasil menggeser pintu kelas untuk terbuka seluruhnya, tatapan matanya terhenti pada wanita dengan kemeja batik bernuansa coklat yang ia yakini sebagai wali kelas Alexander. Jonathan pun berdeham untuk mengurangi rasa canggungnya, ia tidak pernah terlambat. Dan sekarang, Ia terlambat, di saat sedang mengambil rapor putranya!

Jonathan berjalan menuju kursi paling belakang, lalu mencari posisi duduk yang nyaman sambil melepas kancing jas abu-abu yang dikenakannya. Setelah itu, ia mendengar wali kelas Alexander memperkenalkan diri dan mengumumkan nama tiga murid yang berhasil meraih tiga ranking teratas.

Ia tersenyum bangga saat mendengar nama Alexander diumumkan sebagai rangking satu. Ketiga putranya memang dikenal sebagai anak yang pintar.

Ia menarik pergelangan tangan jasnya, melirik jam tangannya sekilas. Ia harus pergi ke kelas Kevin untuk mengambil rapor Kevin. Jonathan bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke depan kelas untuk mengambil rapor Alexander.

"Maaf, Pak. Bapak harus mengikuti peraturan," tolak Rachael saat Jonathan meminta untuk mengambil rapor Alexander terlebih dahulu.

Jonathan memutuskan untuk mengikuti peraturan sesuai dengan saran wali kelas Alexander. Ia memutuskan untuk menunggu sepuluh menit lagi.

Lima menit, sepuluh menit, lalu lima belas menit juga sudah terlewati begitu saja.

Jonathan yakin, nama Alexander diawali dengan abjad 'A', namun ia bingung perbincangan seperti apa yang sedang wali kelas Alexander dan orangtua yang bersangkutan bahas sehingga tiga orangtua dapat menghabiskan waktu lima belas menit.

"Alex—"

Di saat yang bersamaan, pintu kelas terbuka dengan keras. Marvel, anak bungsunya datang dengan wajah merah, seperti sedang menahan tangis. "Sudah waktunya Malpel ambil lapol! Kenapa papa tidak datang-datang ke kelas Malpel? Sekalang hanya ada Malpel dan ibu gulu di dalam kelas." setelah mengucapkan kalimat itu, Marvel menangis.

Jonathan akhirnya meminta wali kelas Alexander untuk menyerahkan rapor Alexander dan Marvel saat ini juga, sebelum Kevin datang menyusul dan membuat keadaan semakin parah.

"Maaf, bisakah kita lanjutkan pembicaraan ini lain kali? Sebelum anak sulung saya datang, dan menyebabkan keadaan semakin kacau. Saya mohon pengertian Anda, Bu Rachael," ucap Jonathan ketika ia melihat niatan wali kelas Alexander yang masih ingin menjelaskan sesuatu kepadanya.

Jonathan menaiki tangga menuju lantai lima. Ia melihat papan kelas enam A, lalu berjalan memasuki kelas masih sambil menggendong Marvel diikuti dengan Alexander di sampingnya.

Jonathan mendapati Kevin yang masih setia duduk di kursi dengan buku rapor yang terletak dengan rapi di atas meja. Hanya Kevin sendiri yang ada di dalam kelas. Rasa bersalah seketika muncul dari dalam lubuk hati Jonathan.

"Maafkan, Papa."

"Gak apa-apa, Pa! Marvel kenapa?" tanya Kevin sambil bangkit dari kursinya, lalu meraih buku rapornya. Ia berjalan menghampiri Jonathan.

"Papa ditahan wali kelasku! Wali kelas yang suka banget hukum aku, tapi gak pernah bisa! Hahaha," ucap

Alexander dengan bangga. Setelah itu ia meraih rapor yang berada dalam genggaman tangan Kevin. "Wah, sama. Kita juara satu!"

Esoknya, Jonathan sudah kembali bekerja seperti biasa. Ketiga putranya sudah kembali diantar oleh sopir ke sekolah.

Saat tiba di kantor, ia teringat akan janjinya kepada wali kelas Alexander untuk mendengarkan penjelasannya tentang Alexander. Ia tahu bahwa putranya terkenal cukup nakal di sekolah, terutama Alexander. Beda halnya dengan Kevin yang pasif.

Dengan cepat ia meraih ganggang telepon ruangannya, lalu menghubungi sekretarisnya, ia meminta sekretarisnya untuk mencari tahu nomor telepon wali kelas Alexander. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu, sekretaris Jonathan berjalan masuk menuju meja kerja Jonathan. "Ini pak, nomor telepon yang Anda minta."

"Ok, terima kasih. Kamu boleh keluar."

Jonathan meraih kertas memo yang diletakkan sekretarisnya di atas meja. Ia membaca nomor ponsel yang tertera di atas kertas di dalam hati, lalu mengetikkan nomor telepon tersebut pada ponselnya. Jonathan mengetikkan pesan, meminta wali kelas Alexander untuk bertemu dengannya... untuk mendengarkan penjelasan perkembangan Alexander di sekolah.

"Rachael Wijaya."

SWEETEST KARMA[ADA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now