BAB 5

133K 11.3K 99
                                    

Jonathan menutup pintu jati ruang kerjanya dengan pelan, meraba tombol di sebelah kanannya. Perlahan-lahan ruang kerjanya semakin terang. Lalu ia berjalan menuju kursi di balik meja kerjanya. Menopang kepalanya dengan kedua tangan yang sudah ditegakkan dan disatukan di atas meja.

Pikirannya kosong. Ia tertegun dengan pernyataan Kevin. Anak yang biasanya pendiam dan penurut. Mengemukakan permintaannya dan langsung membekukan tubuhnya. Saat itu jantungnya berpacu dengan cepat, memutar otaknya untuk mengemukakan kata yang tepat dan tentunya sesuai dengan usia Kevin.

Namun yang dilakukannya hanya mengalihkan pembicaraan , meminta ketiga putranya untuk berkemas dan tidur. Seharusnya ia dapat menjawab dengan mudah , "Papa tidak suka dengan wali kelas Alex."

Andai ia berkata seperti itu, namun lidahnya terlalu kelu. Ntah kenapa kalimat itu tidak bisa diucapkan lidahnya. Seakan lidahnya menghianati otaknya.

Jonathan merasa bahwa kata suka terlalu cepat untuk mewakili perasaannya saat ini. Ia hanya merasa sedikit tertarik dengan wali kelas Alex, tidak lebih. Ini hanyalah respon yang ditunjukkan oleh tubuh yang sudah bercerai dengan istri selama tiga bulan.

Jonathan meremas rambut hitamnya, sambil mengedarkan pandangan ke sekitar ruang kerjanya yang sudah terasa semakin mencekam. Pandangan matanya terhenti saat ia menangkap bingkai foto yang berisi tiga orang yang disayanginya, Kevin , Alexander dan si bungsu Marvel.

Mereka bertiga memakai seragam sekolah dasar. Kevin dan Alexander dengan wajah cemberut mereka. Sedangkan di pojok sebelah kanan terdapat Marvel yang tersenyum sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda , peace.

Ia ingat foto itu, foto yang diambil saat tahun ajaran semester ganjil dimulai tiga bulan yang lalu. Hari pertama semester ganjil bagi ketiga putranya, dan juga merupakan hari pertama masuk sekolah bagi Marvel.

Ia juga ingat usaha yang dilakukannya untuk mendapatkan foto ini dari istrinya, saat itu. Kata yang seakan menjadi boomerang baginya, perceraian. Awal mula Hanna mengungkapkan keinginannya untuk bercerai.

"Haah!" hembusan napas terdengar kasar dan kuat di dalam ruangan dengan nuansa coklat tersebut.

----

Rachael merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pukul enam , dan akhirnya ia selamat dari Celine, setelah Celine menanyakan pertanyaan yang sama selama tiga jam! Meskipun Celine hanya menanyakan satu pertanyaan, Rachael tetap tidak memiliki jawaban apapun. Ia sendiri tidak mengetahui jawabannya, ia sendiri juga bingung.

"Papa Alex kenapa?"

Hanya tiga kata. Dan tidak ada jawaban. Bahkan sekedar tebakan saja tidak ada. Rachael tidak mampu menebak.

Akhirnya Celine memutuskan pulang setelah Rachael mengalihkan pembicaraan. Rachael menceritakan bahwa Jonathan dan ketiga putranya datang untuk mengambil tas bekal Marvel yang tertinggal, dan tentunya perkataan Alexander , "Kan papa yang suruh Mar-".

Dengan kreatifnya Celine menyambung perkataan Alexander setelah mendengar semua cerita Rachael mengenai orangtua murid dan ketiga anaknya itu , "Kan papa yang suruh Marvel untuk tinggalin kotak bekalnya , dan papa yang bakal ambil kotak bekal Marvel supaya dapat kesempatan untuk bertemu dengan ibu Rachael."

Mengingat perkataan Celine saja sudah membuat pipi Rachael memanas, Papa Alexander memang tampan, tinggi, rapi, wangi dan mapan. Semua wanita tentunya suka dengan tipe pria seperti itu,kan? Duda juga bukan pilihan yang buruk, bukan? Pipi Rachael semakin memanas , saat pemikiran seperti itu melintasi otaknya. Rachael menggelengkan kepalanya lalu menepuk kedua pipinya untuk menghapus pemikiran seperti itu dari otaknya.

----

Rachael baru kembali dari lapangan yang sangat terik hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rachael baru kembali dari lapangan yang sangat terik hari ini. Pakaian olahraga yang dipakainya sudah basah dengan keringat. Ia menurunkan resleting jaket orangenya , menyisakan kaos hitamnya yang sudah berwarna lebih gelap di beberapa bagian. Bahkan rambut coklat gelapnya yang sudah diikat bulat ke atas, mulai berantakan dan keluar dari ikatan. Hari ini ia menggantikan, Pak Ricky , guru olahraga yang sudah dua minggu ini tidak bisa masuk karena pergelangan kakinya yang terseleo saat mengajari anak-anak bermain voli. Guru yang serba guna, kan?

Rachael berjalan melewati pintu utama , menuju kantor guru dengan penampilannya yang kusam, karena terbakar sinar matahari. Namun langkah kakinya terhenti saat ia melihat murid yang tidak dikenalinya berkali-kali mengintip melalui celah pintu kantor guru yang sedikit terbuka. Anak perempuan itu menangis.

Rachael dengan cepat berjalan menghampiri anak itu, "Ada apa? Kenapa menangis?"

Anak itu terkejut saat mendengar suara Rachael, ia membalikkan badannya mengikuti arah suara Rachael. Tangisannya sudah semakin pelan, begitu juga dengan air mata yang mengalir.

"Mar... mar... marpel, ibu gulu. Huhuhu" jelas anak itu masih tergugu.

"Marvel Tanjaya?" tanya Rachael mengucapkan salah satu anak bernama Marvel yang dikenalnya. Ia mengucapkan nama itu karena ia yakin anak perempuan ini seumuran dengan Marvel.

"I-ya!"

"Kenapa dengan Marvel?" tanya Rachael sambil mengelus punggung anak perempuan itu, untuk menenangkannya.

"Mar-marpel... muntah... di kelas." Ia kembali menangis dengan kencang, saat mengingat kondisi temannya.

"Yuk, kita ke sana." Rachael dengan cepat berdiri dari posisinya, lalu menggandeng tangan anak yang masih belum diketahui namanya itu.

Mereka berdua berjalan menuju ruang kelas Marvel yang jaraknya masih dua kelas dari kantor guru, kelas satu C dan satu B.

Rachael langsung menemukan Marvel tepat setelah ia berdiri di depan kelas. Marvel duduk di atas lantai kelas yang sudah penuh dengan muntahan, seragamnya juga sudah penuh dengan bercak bekas muntahan anak itu. Wajahnya pucat pasi dan penuh dengan jejak air mata.

Rachael dengan cepat melepaskan genggaman tangannya, berlari masuk lalu menggendong Marvel di depan dadanya. Mengarahkan kepala Marvel di atas bahunya, tidak memperdulikan seragam olahraga yang saat ini dipakainya akan kotor dengan muntahan Marvel. Ia masih memiliki pakaian ganti. Yang sekarang harus cepat dilakukannya adalah membawa Marvel ke ruang kesehatan yang berada tepat di bawah tangga. Rachael membawanya sambil menepuk punggung Marvel dengan lembut.

Setelah melihat Marvel sudah mendapatkan penanganan dari suster, Rachael berjalan menuju kantor guru, mengambil ponselnya yang berada di dalam laci meja. Guru-guru yang saat itu masih ada di dalam kantor guru, menatap Rachael kebingungan. Pakaian Rachael yang kotor dan berantakan serta menimbulkan bau tidak sedap.

Rachael yang mendapatkan pandangan seperti itu memilih untuk mengacuhkan mereka. Lalu mencari nama 'Papa Alexander' pada daftar kontaknya. Rachael lalu menekan tombol berlabelkan SIM 1 setelah menemukan nama yang dicarinya.

Rachael berjalan keluar dari kantor guru , kembali menuju ruang kesehatan sambil menunggu panggilannya diterima. Pada dering ketiga, terdengar suara rendah pria mengalun ,"Halo, ibu Rachael. Ada apa? Apakah ada masalah dengan Alexander?"

"Siang, papa Alexander. Marvel sakit. Marvel muntah di kelas dan saat ini sedang dirawat di ruang kesehatan. Saya akan mengantarkan Marvel pulang, lebih baik saya antar Marvel ke mana ya?"

Terdengar suara papa Alexander yang menjawab dengan bergetar. "Saya akan smskan alamatnya. Tolong bantuannya, bu Rachael."

SWEETEST KARMA[ADA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang