BAB 3B

154K 12.4K 546
                                    

Rachael mengingat kembali... kesan yang ditimbulkan pria itu cukup kuat. Dia rapi, tampan dan mempesona. Apalagi saat pria itu berdiri di hadapan Rachael... Rachael dapat mencium wangi parfum pria itu yang sangat segardan manly, namun Rachael lebih memilih untuk berkata, "biasa aja, gak ada special spesialnya kok. Beda sama yang selama ini kamu omongin."

Terlihat raut kecewa dari Celine, tetapi raut kecewa itu hanya bertahan tiga detik sebelum ia kembali bertanya kepada Rachael. "Tadi kalian ngomongin apa aja emangnya? Soal Alexander? Emangnya dia kenapa?"

"Aduh, anak sama papa sama aja tuh. Anaknya bermasalah, nakal, bandel, apa lagi kata yang sejenis?!"

"Seru nih! Emangnya kenapa? Kok kamu bisa ngomong kayak gitu?"

Rachael meraih garpu lalu menusuk satu kue sambil menjawab, "aku kasih tau ke papanya kalau anaknya nakal di kelas dan berhubung anaknya pintar, jadi kita, guru-guru, selalu gak dapat kesempatan untuk hukum anaknya. Dan tahu gak dia ngomong apa?"

Rachael bercerita dengan menggebu-gebu masih dengan mulutnya yang penuh dengan kue.

"Apa emang? Kan kamu belum cerita, mau aku tebak emangnya?" balas Celine dengan wajah datar sambil menunggu tanggapan Rachael.

"Nggak, kamu gak tahu basa-basi ya? Papa Alex malah minta aku buat cari solusi sendiri, gimana caranya buat bisa hukum anaknya. Lah, kan yang jadi papanya Alex itu dia. Nanti kalau aku salah hukum gimana?"

"Kalau dilaporin ke polisi, ya kamu jadi tersangka dong, Chel! Masa korban?" ejek Celine sambil tersenyum geli.

"Gak lucu!" jawab Rachael dengan kening berkerut.

"Ok, Ok, sabar. Bercanda aja, kok. Kan dinginin suasana."

"Jadi, sekarang gimana caranya untuk hukum Alexander?"

Suasana menjadi hening. Rachael dan Celine sibuk berpikir.

"Ah! Gak usah dipusingin aja, Chel. Lagian juga dia masih pintar, kan? Kan kamu wali kelasnya murid-murid yang pinter, sekali-kali ribut gak apa-apa kok," ucap Celine sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya, meminta Rachael untuk bersikap santai.

"Yah, kalau pintar aja tanpa moral buat apa?!"

Rachael kembali menunjukkan ketidaksetujuannya. Ia tidak ingin menjadi guru yang hanya mengajar mata pelajaran, lalu pulang begitu saja tanpa mendidik murid-murid menjadi lebih baik lagi. Murid-muridnya menghabiskan waktu sebanyak kurang lebih delapan jam di sekolah, jika tidak dididik perilakunya di sekolah, harus di mana lagi?

"Tanggungan mereka sendiri dong, Chel. Kan kita cuman bertanggung jawab sama akademis aja—"

"Aku gak mau kayak gitu, kan kepintaran anak-anak harus berbanding lurus sama moral yang baik." Rachael menusuk sisa kue dengan kuat, lalu menghela napas. Celine sudah mulai turun dari ranjang Rachael, lalu mengambil tasnya yang terletak di atas nakas di samping kasur Rachael.

"Kalau gitu, aku doain jadi mamanya aja ya. Jadi, di sekolah kamu bisa ngajarin akademis, di rumah bisa ngajarin moral. Lalu, dapat papanya sebagai bonus! Aku pulang dulu. Bye!"

"Oh, jadi kamu gitu! Pantesan turun dari ranjang aku! Ternyata mau kabur!" ucap Rachael dengan keras, ia yakin bahwa Celine masih dapat mendengar perkataannya, karena sekarang ia mendengar tawa Celine yang sangat keras.

"Haaa, cerita apaan nih. Beban nggak makin ringan, malah nambah masalah. Didoain lagi! Apa aku perlu bilang amin?" tanya Rachael pada dirinya sendiri sambil berbaring menatap langit-langit kamarnya.

***

Rachael sudah selesai mengajar pelajaran matematika di kelas empat A, kelas murid-murid pintar dan nakal.

SWEETEST KARMA[ADA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now