BAB 9

105K 10.7K 68
                                    

Pagi tadi Rachael kembali mengajar seperti biasa meskipun terlambat masuk ke dalam kelas selama lima belas menit. Hari ini adalah hari terakhir ia mengajar, ia bahkan sudah mendapatkan gaji dan tunjangan.

Ia yakin, ia akan merindukan suasana ribut kelas, memeriksa buku latihan anak-anak dan kertas ulangan mereka, menghukum anak-anak yang nakal, serta mengejar deadline pengisian rapor.

Sekarang Rachael percaya bahwa rasa penyesalan dan sayang muncul disaat kita kehilangannya.

Ia akan merindukan murid-murid empat A. Sangat.

***

Rachael memasukkan alat tulisnya, map kerja serta pernak-pernik yang menghiasi meja kerjanya. Lima belas menit kemudian, meja kerjanya sudah kosong termasuk laci mejanya. Benar-benar kosong.

Guru-guru lain melihat Rachal dengan pandangan bingung. Tidak ada angin tidak ada hujan, secara tiba-tiba Rachael berhenti.

Rachael mengurai senyum tipis pada rekan kerjanya. Mengangkat kardus yang sudah penuh dan sangat berat, Rachael berjalan keluar dari kantor guru. Langkahnya terhenti saat punggungnya merasakan sentuhan. Rachael membalikkan badannya mendapati Pak Tomo yang mengambil alih kardus yang di bawanya. Rachael tersentuh.

Rachael berbalik menuju meja kerjanya untuk mengambil kardus-kardus yang tersisa, namun guru-guru pria lain mengambil alih pekerjaannya. Rachael tersenyum, menunjukkan rasa terima kasihnya lalu mengarahkan mereka menuju tempat di mana mobilnya diparkirkan.

Celine, temannya, hanya berdiri kebingungan. Ia sendiri sebagai sahabat Rachael tidak mengetahui apa-apa. Ia akan menuntut penjelasan dari Rachael, setelah Rachael selesai berberes.

Pekerjaan Rachael selesai dengan cepat, diluar perkiraannya. Rachael berjalan kembali ke dalam gedung sekolah yang sudah sepi. Bel pulang sudah berbunyi dua jam yang lalu. Rachael menaiki tangga dengan pelan sambil meraba lengan tangga, tidak memperdulikan debu maupun kuman yang mungkin menempel pada telapak tangannya. Rachael mengedarkan pandangannya ke sekitar, merekam suasana dan letak-letak ruang kelas melalui matanya.

Kakinya berhenti di depan pintu kelas empat A, menggeser pintunya. Dan mendapati ruangan kelas di mana ia mengajar. Membayangkan murid-muridnya yang sedang duduk.

Hah! Baru saja berhenti, tapi ia sudah merindukan mereka. Ia yakin, besok murid-muridnya akan bersorak senang mendapatinya sudah berhenti mengajar. Air mata yang sudah terbendung, dihapusnya kasar.

Celine mengelus punggung Rachael, tadi ia melihat Rachael kembali memasuki gedung sekolah sehingga ia memilih untuk menyusul Rachael sekaligus untuk menanyakan apa yang sedang terjadi pada Rachael.

Kesempatan melihat Rachael menangis sangatlah jarang, meskipun ia memiliki masalah, Rachael tidak akan menangis tapi marah dan memilih untuk diam tanpa berkata apa-apa.

"Sudahlah jangan menangis! Gak apa-apa kok. Kan nanti bisa ngajar di sekolah lain. Ya?" Hibur Celine sambil menarik salah satu kursi, meminta Rachael untuk duduk.

"Iya. Nanti juga aku bakal move on kok. Ini cuman baru awal aja, makanya masih agak lebay. Hahaha." Rachael menghibur dirinya sendiri, sambil menghapus kasar air matanya yang jatuh.

"Udah yuk jangan sedih. Kita makan-makan aja, pesta nih! Kan kamu habis dapat tunjangan, hahaha!"

"Kamu teman aku atau bukan sih? Aku ini pengangguran, loh! Tunjangan sih emang tunjangan, tapi untuk kelanjutan hidup beberapa bulan ke depan. Emang nanti mau aku pinjam duit sama kamu?"

Celine tertawa terbahak-bahak sambil memukul pahanya sendiri, melihat Rachael yang sudah berhenti menangis. "Ok. Ok. Kamu mau makan apa? Pizza?"

"Yuk! Kamu yakinkan kamu yang traktir? Nanti sampai di sana malah aku harus buka amplop aku di depan kasir, gara-gara aku yang bayar!"

"Iya! Bawel! Mau dibayarin gak?"

"Iya. Yuk!"

***

"Papa!"

"Hm?" tanya Jonathan yang sedang memangku laptop, mengerjakan pekerjaan kantornya yang membludak. Hari ini ia sudah berada di rumah tepat pukul delapan. Makan malam bersama anak-anak, memandikan Marvel yang terlihat murung dan menemani ketiga putranya di ruang keluarga.

"Papa tahu gak? Udah tiga hari ini loh Bu Rachael nggak ngajar di kelas Alex!" cerita Alex tanpa mengalihkan pandangannya dari permainan balap mobil di depannya.

"Bu Rachael sakit?" tebak Jonathan yang mulai penasaran. Ia akui ia memang memiliki rasa tertarik terhadap wali kelas Alex yang penyayang, muda dan cantik. Beberapa hari ini ia cukup sibuk menangani meeting dengan beberapa perusahaan , sehingga ia selalu pulang malam dan melewatkan cerita anak-anaknya.

"Ibu Rachael sudah berhenti mengajar, sekarang ia digantikan dengan guru lain. Hah! Lebih galak dari bu Rachael, lebih baik belajar sama bu Rachael saja! Bahkan teman-teman Alex yang perempuan menangis, katanya kangen sama bu Rachael. Lebay!"

"Bukannya kemarin kamu tidak suka dengan Bu Rachael? Kenapa sekarang memilih Bu Rachael?" tanya Jonathan yang sudah meletakkan laptop ke atas meja dan berjalan mendekati Alexander yang masih sibuk bermain dan memutar joysticknya dengan kasar.

"Yah kan, kalau dikasih yang lebih kejam, Alex harus pilih yang sedikit tidak lebih kejam. Hehehe"

Jonathan tersenyum geli mendengar jawaban putranya, lalu beralih melihat Kevin yang sibuk mengerjakan PR, putranya yang satu ini memang pendiam tapi dapat diandalkan.

"Kevin, bisa kerja PRnya? Ada yang bisa papa bantu?" Jonathan mengelus pucuk kepala Kevin yang masih sibuk mengerjakan PR.

"Akhir-akhir ini Kevin tidak begitu mengerti yang guru-guru ajarkan di sekolah, apalagi pelajarannya semakin banyak menjelang ujian nasional." Kevin menatap mata abu-abu Jonathan, meninggalkan PRnya lalu beringsut mendekati Jonathan.

Jonathanpun memeluk Kevin dengan erat, ia tahu bahwa pelajaran yang dipelajari Kevin pasti sangat sulit sehingga putranya berubah menjadi manja atau lebih tepatnya bergantung kepadanya. "Mau papa carikan guru les?"

"Boleh?" Mata Kevin berbinar , anaknya yang satu ini memang sangat suka belajar.

"Boleh, papa carikan kamu guru les ya!" Jonathan mengecup pucuk kepala Kevin.

"Thanks, Papa! Papa yang terbaik!" Puji Kevin.

Jonathanpun tersenyum bangga kepada dirinya sendiri. Jonathan kembali duduk di atas sofa, meletakkan kepala Marvel ke atas pangkuannya. Marvel sudah tidur dari tadi, dan memilih untuk menemani mereka, ia tidak mau tidur sendirian di kamar. Putra bungsunya tidak berada dalam mood yang bagus. Dan Jonathan belum tahu kenapa.

Jonathan mengambil ponselnya yang berada di atas meja di samping laptop, mengirimkan pesan kepada Rachael.

Malam Rachael, bisakah besok kita bertemu di kafe terdekat dari sekolah Alex saat makan siang? Saya dengar Anda sudah berhenti mengajar di sekolah.
Saya ingin menawarkan pekerjaan kepada Anda.

SWEETEST KARMA[ADA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now