BAB 7

112K 10.5K 38
                                    

Rachael menganggukkan kepalanya beberapa kali, seperti pajangan mobil yang akan mengangguk-anggukkan kepalanya ketika terkena sinar matahari. Rachael tidak tahu respon seperti apa lagi yang bisa diberikannya kepada wanita di depannya ini. Mulai dari menimpali perkataan wanita itu dengan panjang, kemudian semakin singkat, lalu "ya,ya,tidak,tidak", senyum manis, dan yang terakhir anggukkan. 

Rachael sudah melewati semua fase itu selama satu jam, mendengarkan pertanyaan tentang Alexander lalu mendengarkan cerita-cerita tentang ketiga putra Hanna. Dan sekarang mulai merambat ke alasan Rachael bisa ada di rumah Jonathan, menunggui Marvel yang sedang tertidur.

"Tadi saya mengantar Marvel pulang, kebetulan saya yang bertanggung jawab atas Marvel. Saya yang mendapatkan laporan bahwa Marvel sakit." Jawab Rachael disusul dengan senyuman tipis. Rachael meremas-remas celana olahraganya dan mengintip singkat menuju jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 15.30. 

Rasa lelah sudah menghujami tubuhnya, wajar mengingat Ia yang sudah jarang olahraga tiba-tiba harus mengajar olahraga. Tangan dan kakinya sudah mulai kaku. Badannya juga sudah mulai lengket karena keringat yang mengering sejak siang tadi. Rambutnya lepek dan mulai gatal-gatal. Ditambah lagi dengan perasaan kesal, karena wanita di depannya ini sangat kontras dengan keadaannya saat ini.

"Ini nomor ponsel saya, tolong hubungi saya jika ada hal yang penting berhubungan dengan anak-anak. Saya yakin, jika papa anak-anak sangat sibuk dan sulit menerima kabar dari sekolah." Hanna mengulurkan nomor ponselnya yang tertera dalam kartu nama berwarna gading, Hanna Putri.

Rachael menerima kartu nama itu, membacanya sekilas lalu menyimpannya ke dalam saku jaket yang dipakainya. "Saya akan menghubungi anda, jika papa Alexander tidak menjawab panggilan saya. Maaf jika saya lancang, tetapi kami selaku pihak sekolah harus terlebih dahulu menghubungi orangtua yang memiliki hak asuh anak."

Hanna terkejut dengan respon yang diberikan Rachael, namun ia memakluminya. Bagaimanapun Rachael hanya seorang guru yang harus mengikuti peraturan sekolah. "Baiklah. Terima Kasih. Saya mohon bantuannya. Mari kita kembali ke kamar Marvel, mungkin dia sudah bangun."

Rachael menganggukkan kepalanya, lalu berjalan mengikuti langkah Hanna. Ia berniat untuk melihat Marvel selama lima belas menit, lalu berpamitan pulang.

Hanna berjalan masuk ke dalam kamar Marvel disusul oleh Rachael di belakangnya. Marvel masih tertidur, di dahinya yang berkerut terlihat bulir-bulir keringat. Hanna mengompres Marvel dengan penuh kasih sayang. Rachael terkesima dengan pemandangan di depannya. 'Sayang sekali kedua orangtuanya harus berpisah.' 

Tidak lama kemudian, Marvel bangun dari tidurnya. Marvel membiasakan pandangannya dengan cahaya lampu yang silau. Mulutnya terbuka , mencoba untuk berbicara. "Mama. Marpel kangen mama. Mama ke mana aja cih?"

Rachael berjalan keluar, memberikan waktu kepada Hanna dan Marvel untuk bersama. Memberikan waktu kepada mereka untuk melepas rindu, mungkin 'rindu' adalah penyebab Marvel sakit. 

Rachael menutup pintu dengan pelan, sehingga kedua orang di dalamnya tidak sadar akan keabsenan Rachael. Rachael berjalan melihat taman yang tadi sudah didatanginya bersama Hanna. Rachael mengamati taman yang cukup luas dan asri. Taman dengan kolam renang di tengah-tengahnya, dikelilingi dengan kursi-kursi santai dan payung. Pohon kelapa di keempat sudut melambai-lambai terkena tiupan angin yang cukup panas. 

Rachael mengeluarkan ponsel dari dalam kantung jaketnya, mengecek apakah ada pesan ataupun panggilan yang masuk. Terlihat beberapa pesan dari operator, dari dunkin donut , dari starbuck, empat pesan dari Celine, dan 1 pesan dari papa Alexander. 

Rachael mengscroll turun aplikasi pesannya, lalu menyentuh label nama papa Alexander untuk membuka pesan yang dikirim pria itu. 'Apakah Marvel sudah bangun? Apakah demamnya sudah turun? Apakah anak-anak sudah pulang? Balas.' gumam Rachael dalam hati, bola matanya mengikuti arah bacanya. 

Rachael tertawa dalam hati membaca kata 'balas' yang tertera dalam pesan tersebut. Bagaimana bisa dia membalas pesan itu jika dia belum membacanya? Ataukah maksud dari kata balas adalah Rachael harus membalas pesannya apapun yang terjadi?

"Marvel sudah bangun. Sekarang sudah bersama ibu Hanna. Demamnya juga sudah turun pukul dua tadi. Kevin dan Alexander belum pulang." ucap Rachael sambil menggerakkan ibu jari kedua tangannya pada layar sentuh ponselnya untuk mengetik balasan.

Jari telunjuk Rachael terhenti saat ia ingin menyentuh tombol pesan yang terdapat bawah kanan layar ponselnya. Rachael berpikir sejenak untuk berpamitan pulang, karena sudah ada Hanna dan mbok Inem yang dapat menjaga Marvel. Ia menganggukkan kepalanya tanda persetujuan, dan kemudian mengetikkan kalimat tambahan.

"Saya pulang dulu, papa Alexander." ucap Rachael kembali sambil mengetik dan selanjutnya menekan tombol sent.

Rachael memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung jaket, namun sebelum ia menutup resleting kantung jaketnya , ponselnya berdering. Papa Alexander.

"Haloo,ibu Rachael." sapa Jonathan setelah Rachael mengangkat panggilannya.

"Sore, papa Alexander. Ada yang bisa saya bantu?"

Terdengar suara dehaman pelan, "Tidak ada. Ibu Rachael akan pulang? Apakah ada acara yang penting?"

"Tidak , papa Alexander. Namun, saya sudah cukup lama berada di rumah anda. Saya hanya ingin pulang. Apalagi keadaan Marvel yang sudah baikan." ucap Rachael pelan dan sopan. Menghindari kemungkinan Jonathan akan tersinggung akan tindakannya.

"Sebentar lagi saya akan pulang. Saya harap Anda bisa menunggu sebentar lagi untuk makan malam di rumah saya."

Hening. Rachael sedang memikirkan jawaban yang tepat, sedangkan Jonathan sedang menunggu jawaban.

"Sebagai tanda terima kasih saya." lanjut Jonathan setelah hening cukup lama, mencoba membujuk Rachael untuk menerimanya.

Rachael ingin cepat-cepat pulang. Rachael bingung. Mengapa di saat ia memakai pakaian yang rapi , bersih dan wangi , tidak ada yang mengajaknya untuk keluar ataupun makan bersama? Sedangkan di saat ia kusam, jelek dan bau , ada undangan makan bersama??

Ok! Rachael akan menolak ajakan makan malam bersama. Tepat di saat Rachael ingin memberikan jawaban, Jonathan berbicara lagi. 

"Jika ibu merasa tidak enak makan malam di rumah saya, bagaimana jika makan di luar?"

Kebingungan kembali menerjang Rachael. Pertanyaan Jonathan seakan-akan tidak memberinya pilihan kata Tidak. Akhirnya Rachael memilih untuk makan di rumah Jonathan, paling tidak yang melihatnya jelek hanya 5 orang, bukan puluhan orang.

"Baik. Saya akan menunggu di rumah Anda."

"Saya akan pulang pukul lima." ucap Jonathan lalu memutuskan sambungan telepon.

Rachael memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung jaket lalu menarik resletingnya. Rachael berjalan ke arah dapur, mencari mbok Inem untuk meminjam pakaian ganti. Keputusan yang sudah terlambat. Seharusnya ia mengganti pakaian sejak awal!

----

Rachael meraih pakaian yang tadinya diberikan oleh mbok Inem , kaus abu-abu polos yang lumayan besar serta celana jeans wanita yang diragukan kepemilikannya oleh Rachael.

Rachael menggulung beberapa kali lengan kaus abu-abu itu. Lalu duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambut sebahunya dengan handuk kecil sambil mengamati wajahnya yang tanpa riasan. Alisnya tipis, tidak seperti biasanya yang lumayan tebal. Bibirnya juga terlihat berwarna peach. Dan yang paling penting, saat ini ia terlihat segar. 

Rachael mengalungkan handuk kecil tersebut di lehernya sambil melipat pakaian olahraganya lalu memasukkannya ke dalam kantung kertas yang sudah dimintanya tadi dari mbok Inem. Setelah merapikan kembali kamar tamu yang dipakainya, Rachael berjalan keluar dan mendapati Jonathan yang merangkul bahu Hanna memasuki kamar Marvel yang berada di seberang kamar tamu.

'Orangtua yang romantis. Mungkin mereka akan rujuk, melihat mereka begitu dekat.' ucap Rachael dalam hati, dan entah kenapa disaat yang bersamaan hatinya menyangkal ucapannya sendiri.





SWEETEST KARMA[ADA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now