Epilog

10K 558 42
                                    


“Kopi?” Adrian mengacungkan gelas kertas lain yang ada di atas mejanya ke arah Larissa yang baru saja membuka pintu. “Caramel Macchiato yang biasa, untukmu.”

Larissa berjalan perlahan dan menarik kursi yang terpisahkan oleh meja dengan kursi Adrian, menerima gelas itu dan langsung menyesapnya. “Kau memesannya dari tempat Nyonya Jasmine?”

“Apa kau akan percaya jika aku bilang bahwa aku membuatnya sendiri?”

“Tidak,” jawab Larissa sambil tersenyum, meletakkan gelasnya kembali ke meja dan menarik napas dalam-dalam untuk merasakan aroma kopi yang menggelitik hidungnya.

Adrian menyeringai. “Aku memesannya dari Nyonya Jasmine, kalau begitu.”

“Karena kau tidak pernah bisa membuat kopi.”

“Tidak sepertimu.” Adrian mengangkat gelasnya dan menyesapnya lagi, memberikan pemandangan yang selalu disukai oleh Larissa. Dia lalu meletakkan kembali gelasnya di meja dan mengangkat alis ketika mendapati Larissa yang sedang menatapnya. “Apa yang kau lihat?”

“Aku suka caramu minum kopi,” Larissa mengaku dengan jujur, memutuskan untuk menyerah pada egonya sendiri. “Aku pernah berkencan tapi tidak pernah menemukan siapa pun yang meminum kopi dengan cara sepertimu.”

Adrian menaikkan satu alisnya lagi, terlihat geli dan kesal di waktu yang bersamaan. “Kau sedang memujiku atau berusaha membuatku cemburu?”

Larissa mengerutkan dahi dan tanpa sadar mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kenapa aku membuatmu cemburu?”

“Aku tahu siapa saja lelaki yang pernah berkencan denganmu—aku hampir menghajar mereka jika Lucas tidak memperingatkanku,” kata Adrian, senyum geli bermain-main di bibirnya. “Dan aku tidak suka diingatkan pada mereka.”

“Kau mengawasiku selama aku ada di Aussie?” desis Larissa tidak percaya, hampir menghantamkan dahinya ke meja karena kepercayaan bodohnya bahwa dia akan mendapatkan kebebasan jika hidup jauh dari ayahnya. Ternyata tetap saja. Dia tidak bisa lepas dari pengawasan mereka.

“Hanya untuk memastikan bahwa kau aman,” jawab Adrian sambil mengedikkan bahunya. “Musuh kita ada dimana-mana dan Lucas sangat khawatir karena itu.”

“Kenyataannya aku diculik tepat di bawah hidung kalian,” kata Larissa sarkastis. Dia lalu menyesap kopinya lagi untuk mencegah dirinya terus-terusan mengamati wajah Adrian yang entah kenapa terlihat sangat menawan hari ini.

Adrian tidak menjawab, hanya mengamati bagaimana cara gelas itu menempel di bibir Larissa dan gerakan gadis itu ketika menelan kopinya yang jelas sangat mempesona. “Aku juga suka caramu meminum kopi,” katanya tiba-tiba.

Larissa hampir tersedak jika saja dia tidak ingat bagaimana cara untuk menguasai dirinya sendiri dan meminum kopinya dengan perlahan. Wajahnya merona ketika dia meletakkan kembali gelasnya di meja dengan tatapan intens Adrian yang seakan mengulitinya hidup-hidup.

“Berhenti menatapku,” pinta Larissa, jengah pada tatapan yang dilayangkan Adrian padanya. Dia bahkan yakin jika lelaki itu tidak berkedip sedikit pun. “Aku tidak akan membayarmu untuk itu.”

“Aku tidak butuh uangmu.” Adrian masih belum mengalah. Dia tetap mengarahkan matanya pada wajah Larissa—terutama bibirnya yang terlihat begitu sialan pagi ini—dan memilih mengabaikan fakta bahwa Larissa sudah merona sampai ke telinganya sekarang.

Sialan, Larissa mengumpat dalam hati dan menahan tangannya sendiri agar tidak meninju Adrian. Kenapa dia selalu punya cara untuk mempermalukan Larissa? Dan kenapa pula wajah sialannya harus merona di tempat seterang ini?

The Devil and A Cup of CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang