10. Her Memory (2)

4K 305 1
                                    

Siapa yang pergi meninggalkanku disini sendirian?

Larissa langsung mengatupkan mulutnya ketika kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa dia kontrol. Bagaimana mungkin dia bisa bersikap sebodoh ini dengan mengungkapkan semua yang terlarang untuk diungkapkan? Bagaimana mungkin dia bisa membongkar isi hati yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat?
Rasa kecewa selama bertahun-tahun itu tertuang hanya dalam satu kalimat pendek yang mampu membuat mereka berdua bungkam.

“Teganya kalian membiarkan wanita tua ini melihat perdebatan anak muda,” kata Nyonya Jasmine memecah keheningan canggung yang melingkupi mereka. “Aku jadi rindu masa mudaku dulu. Aku bahkan selalu bertengkar dengan temanku setiap hari.”

Teman, Larissa membatin miris. Hanya teman, ya, kan?

“Sungguh?” Hanya Adrian yang terlihat antusias dan Larissa bersyukur karena hal itu. Akan terlihat lebih aneh jika tidak ada satu pun diantara mereka yang merespon ucapan Nyonya Jasmine. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?”

Nyonya Jasmine tertawa, lalu pandangannya menerawang, seperti mengenang hal yang tidak bisa menggapainya. “Kami selalu berbeda paham dalam segala hal, Adrian. Dan kami bahkan masih sempat bertengkar di pesta pernikahannya karena aku tidak suka pengantin wanita yang dia pilih. Yah, aku menyebalkan, memang, tapi hanya aku yang tahu betapa buruknya calon isterinya itu.”

“Seperti drama,” Adrian berkomentar, yang mana mengundang pelototan tajam dari Larissa. Sayangnya, dia tidak mengerti sama sekali dan malah membalas tatapan gadis itu. “Apa?”

Larissa mengeluh dalam hati. Adrian dan ketidakpekaannya benar-benar mengerikan. Bagaimana mungkin dia dapat melontarkan kata-kata itu di depan Nyonya Jasmine? Bukankah itu termasuk ke dalam penghinaan, atau Adrian bahkan tidak tahu bahwa dia sedang menghina Nyonya Jasmine.

Anehnya, Nyonya Jasmine tertawa dan bukannya tersinggung seperti dugaan Larissa. “Tidak, Rissa, tidak apa-apa.” Dia menyeka air mata di sudut matanya, hal yang tidak pernah berubah sejak dulu. Rasanya sangat aneh ketika kau harus kembali pada masa-masa yang hampir kau lupakan. “Lelaki memang seperti itu, Sayang.”

“Memang, Nyonya, mereka menyebalkan,” rutuk Larissa, tidak meralat namanya yang diucapkan oleh Nyonya Jasmine. Lagipula, dia tidak sampai hati untuk melakukannya.

Adrian mengangkat bahu tak peduli. Dia malah memandang ke luar jendela, mengerutkan dahi begitu melihat ada pasangan muda yang bertengkar di pinggir jalan, namun dia tiba-tiba tersenyum geli begitu si wanita mendorong pasangannya hingga tersungkur dengan cara yang memalukan.

Wanita memang mengerikan.

“Oh, ya, Nyonya Jasmine,” kata Larissa cepat, tiba-tiba teringat sesuatu yang mengganjal di pikirannya sejak dia menginjakkan kaki disini. “Gadis di meja kasir itu, apakah itu puterimu?”

Nyonya Jasmine memutar kepalanya ke arah yang ditunjuk Larissa, dan senyum itu muncul begitu saja. Matanya berbinar dalam binar asing yang tidak pernah dilihat Larissa dan Larissa tersenyum melihat kebahagiaan itu di mata wanita yang sejak dulu selalu murung dalam diam.

Nyonya Jasmine memang sangat ramah dan tidak pernah berhenti menebar senyum pada siapa pun, meski itu adalah loper koran langganannya atau bahkan hanya pejalan kaki yang lewat ketika dia sedang menyapu halaman tokonya. Larissa selalu memperhatikan bagaimana senyum itu hilang dengan cepat, namun melihat sinar kebahagiaan yang sekarang meliputi wajah Nyonya Jasmine, Larissa tahu masa-masa suram itu sudah lewat.

“Ah, bukan,” Nyonya Jasmine menjawab setelah beberapa detik. “Aku kan tidak punya puteri, Rissa, sedangkan puteraku mana mau meneruskan toko tua ini.” Dia tersenyum hangat sampai matanya menyipit. “Dia pegawaiku, namanya Karina. Lucu sekali karena aku pernah bersumpah untuk tidak menyerahkan meja kasirku pada orang lain.”

The Devil and A Cup of CoffeeDär berättelser lever. Upptäck nu