13. Arkan Prawira

4.6K 314 0
                                    

Jujur, jika seseorang bertanya apakah Larissa sudah siap untuk bertemu Adrian, dia akan mengatakan 'tidak' tanpa pikir panjang.

Jelas saja. Dua jam yang lalu dia baru mempermalukan dirinya sendiri dengan lari seperti pengecut hanya karena intimidasi yang dilakukan Adrian.

Seharusnya dia melawannya, Larissa tidak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri ketika dia berjalan ke arah ruangan Adrian sesuai yang lelaki itu perintahkan di telepon. Lagipula dia sudah sering melewati hal yang sama dan dia masih bisa mengatasinya. Kenapa sekarang dia malah menjadi wanita emosional yang menyebalkan?

Pintu ruangan sudah terbuka ketika Larissa tiba disana, dan dia tidak mau repot-repot bertanya kenapa itu bisa terjadi. Adrian memang orang yang penyendiri, tapi mungkin dalam saat-saat tertentu dia memilih keluar dari gelembungnya sendiri dan mencoba bersosialisasi.

Tapi ketika melihat Adrian duduk disana dengan tegang bersama Lucas dan Anthony yang terlihat lebih tegang lagi, dia tahu ada sesuatu yang salah, terutama ketika mereka mengangkat kepala dan menatapnya dengan tatapan setajam elang.

Ada masalah, dan melihat dari ketegangan yang menyelimuti mereka, ini pasti bukan masalah kecil.

"Larissa," sapa Lucas dengan senyum yang jelas dipaksakan.

Larissa berdeham sambil menutup pintu di belakangnya. "Ada masalah?"

Dia mendapatkan reaksi yang berbeda-beda. Adrian mengangkat alisnya tinggi-tinggi dengan tatapan Kenapa-kau-masih-bertanya? sedangkan Lucas menyeringai lebar dan Anthony hanya mengangguk kaku.

Di antara mereka, jelas hanya Anthony yang menghargainya.

"Anthony," Lucas berdiri dari tempat duduknya-sofa yang berada di sudut ruangan-dan menatap ke arah Anthony yang juga mengikuti pergerakannya, "tolong kau urus orang-orang kita yang terluka. Aku akan melacak keberadaan bajingan itu dan memberikan balasan yang pantas didapatkannya."

Anthony mengangguk, dan Larissa curiga jika memang hanya itu yang bisa dilakukannya. "Siap, Bos."

Ini hanya perasaan Larissa saja atau semua orang memang sedang mengabaikannya?

"Papa," panggilnya, terdengar frustrasi bahkan di telinganya sendiri. "Apa yang terjadi?"

Lucas berhenti melangkah, lalu memberikan isyarat pada Anthony untuk meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu. Dengan satu helaan napas panjang, dia meraih pundak Larissa, sedikit terkejut begitu menyadari bahwa tinggi puterinya masih belum melewati telinganya.

Dengan tubuh sekecil itu, bagaimana mungkin dia bisa bertahan selama 4 tahun di dunia luar? Bagaimana dia bisa bertahan sendirian?

"Puteriku," kata-kata itu meluncur begitu saja dalam sebuah lirihan pahit, "kau percaya padaku, bukan?"

Tanpa berpikir panjang, Lucas mengangguk. "Aku mempercayakan hidupku padamu, Papa."

"Maka dari itu, percayalah padaku dan jangan khawatirkan apapun. Aku akan membereskan semuanya. Stefano memang akan menjelaskan beberapa hal padamu, tapi tolong jangan memikirkan apapun. Aku akan mengatasinya dengan baik. Oke, Sayang?"

Meski masih bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi, Larissa hanya bisa mengangguk patuh. Lagipula, Adrian akan menjelaskan semuanya padanya, bukan?

Lucas mengacak rambut puterinya dengan pelan, berusaha menahan tangisnya ketika dia melihat bayangan Luna di wajah Larissa.

Luna, puteri kita sudah dewasa. Aku akan melindunginya dengan nyawaku, seperti janjiku dulu. Kau juga mempercayaiku, kan?

"Anak pintar," kata Lucas, lalu pergi dan meninggalkan suara pintu tertutup di ruangan itu. Suara sepatunya yang berdebam di koridor semakin lama semakin lemah hingga hilang sama sekali.

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now