15. The Kiss

4.9K 363 2
                                    

Larissa tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh takdir padanya. Tapi dia lebih tidak mengerti akan apa yang sedang dia lakukan sekarang.

Seharusnya, selayaknya orang normal, dia berlari ke kamarnya sekarang dan menangis sepuasnya disana, lalu mengepak barang dan pergi lagi ke Aussie. Tapi sejak keluar dari ruangan Adrian dua jam yang lalu, dia malah pergi ke taman belakang, memandangi kebun bunga lili milik mendiang ibunya, dan diam disana tanpa bergerak.

Dia tidak duduk. Dia tidak menangis.

Berdiri selama dua jam seharusnya membuatnya pegal, tapi dia tidak merasakan apapun dan hanya berdiri disana, melihat namun sebenarnya tidak melihat. Kepalanya hanya dipenuhi oleh kehampaan, yang mana membuatnya hampir gila jika saja dia tidak ingat siapa dirinya.

Dia Larissa la Armanno, dan seorang Armanno tidak seharusnya selemah ini.

Tapi disangkal seperti apa pun, rasa frustrasi itu tetap ada, memberikan sedikit harapan hidup di tengah kekosongan yang menyelimutinya. Rasa itu menjadi satu-satunya pegangan yang dia punya, ketika harapan malah melumatnya habis-habisan.

Rasa sakit yang sama. Rasa putus asa yang sama. Lagi.

Tanpa berpikir, dia berbalik dan berjalan ke arah tempat dia meninggalkan hatinya tadi. Setiap langkah yang diambilnya terasa mengambang di udara, seakan dia sedang memijak awan. Napasnya sangat teratur, seperti sudah terprogram, meski sebenarnya dia tidak sadar apakah dia sedang bernapas atau tidak.

Seorang pelayan menghentikan langkahnya dan membuat Larissa melakukan hal yang sama. “Apa ada yang bisa kubantu, Nona?” Dia berhenti sebentar sementara matanya memindai keseluruhan tubuh Larissa. “Anda terlihat kacau.”

“Aku tidak baik-baik saja, tapi aku tidak kacau,” jawab Larissa dengan nada datar yang sepertinya cukup mengejutkan, karena pelayan itu sampai menganga dengan wajah aneh. Tapi Larissa tidak mau ambil pusing dan lebih memilih melanjutkan langkahnya.

Ruangan Adrian sudah terlihat dari sini. Itu artinya bagus.
Dia akan mengakhiri semua ini sekarang juga.

Larissa bersyukur karena tidak menemukan Alexa ketika dia mendorong pintu ruangan Adrian sampai menjeblak terbuka. Akhirnya, dia menemukan iblis itu disana, sedang berkutat dengan dokumennya, terlihat sama sekali tidak peduli meski dia baru saja menghancurkan Larissa untuk yang kesekian kalinya.

Ekspresi Adrian ketika dia mendongak dari berkas-berkasnya dan menatap Larissa benar-benar tidak ternilai. Matanya membulat dan kebingungan serta keterkejutan bercampur di wajahnya, membuat wajah yang biasanya datar itu menjadi tidak biasa.
Oh, ayolah. Haruskah Larissa mengagumi Adrian di saat seperti ini?

“Larissa, ap—”

“Rissa,” ralat Larissa cepat sementara dia tidak berhenti melangkah sampai perutnya membentur meja kerja Adrian. “Panggil aku Rissa.”

“Apa-ap—”

Larissa merentangkan kedua tangannya ke samping tanpa mengubah ekspresinya sama sekali. Persetan dengan ambisinya untuk terlihat kuat. Dia sudah tidak peduli lagi.
“Kau menang. Kau pernah mengalahkanku dulu, dan sekarang aku kalah lagi. Apa yang bisa kuberikan sebagai hadiahmu?”

“Sial, apa-apaan kau?” Adrian terlihat gusar dan penuh emosi ketika dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Larissa sebelum memutar tubuh gadis itu agar menghadapnya dalam satu sentakan. “Aku belum menang. Kau tahu itu, kan?”

Larissa menggeleng. Dalam gerakan yang sistematis, dia melepas lencana perak yang tersemat di dadanya. Ketika Adrian menyadarinya, sudah terlambat karena Larissa sudah menjejalkan benda itu ke dalam genggaman tangan Adrian.

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now