16. Her Hero

5K 359 3
                                    

Dia memang bukan ayah yang baik, dia tahu itu. Tapi ketika melihat puterinya meminta kunci mobil dengan mata sembab dan wajah pucat, satu-satunya hal yang dia inginkan adalah menembak siapa pun yang punya cukup keberanian untuk membuat puterinya menjadi seperti itu.

“Untuk apa?” tanya Lucas, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari mata Larissa. Melihat luka yang begitu jelas disana tidak akan masuk dalam daftar hal yang dia sukai.

Karena setiap kali melihat puterinya terluka, dia akan merasakan kekecewaan Luna padanya. Dia sudah berjanji untuk melindungi Larissa dengan nyawanya, dan seorang Armanno tidak seharusnya mengingkari janji mereka.

“Aku merindukan Indonesia,” jawab Larissa, suaranya masih sedikit parau dan serak akibat menangis berjam-jam di kamar mandi tadi.

Larissa mendengus. Memangnya, apa yang bisa dia lakukan selain menangis? Dia tidak mungkin melampiaskan emosinya dengan bertarung, karena itu jelas tidak akan berhasil. Dia tidak akan bisa berdiri tegak dengan bayangan tentang wajah Adrian di benaknya.

Lagipula, sesekali menjadi lemah itu menyenangkan.

“Kau pikir baru berapa hari aku menjadi ayahmu, Larissa?”

“Rissa,” dia meralat cepat. Mungkin setelah ini, dia harus meralat panggilan semua orang padanya, seperti yang pernah dia lakukan ketika dia memutuskan membuang nama ‘Rissa’. “Rissamu sudah kembali, Papa.”

Keterkejutan mengaliri wajah Lucas dan membuatnya membelalak ngeri. Dia bahkan langsung mendongak dan menatap Larissa tepat di mata. Meski ruangan itu gelap karena jendelanya sudah dilapisi tirai dan Lucas terlihat tidak mau repot-repot menyalakan lampu.
Berbeda dengan Larissa yang takut kegelapan, Lucas malah menyukai hal itu mati-matian.

“Dia melukaimu lagi?” Suara Lucas melunak, sarat akan kesedihan yang anehnya tidak ditutupi. Sepanjang hidupnya, Larissa mengenal ayahnya sebagai seorang lelaki kaku yang membentengi dirinya dari luar. Jadi ketika Lucas menanggalkan semua topengnya—meski hanya di hadapan Larissa—mau tak mau gadis itu terkejut juga.

Larissa tidak menjawab.

Lucas menghembuskan napas putus asa. “Memangnya kau akan pergi ke mana? Ini sudah malam dan kau tahu itu tidak baik untukmu, kan?”

Ayahnya memang benar. Sejak dulu sekali pun, Larissa sudah tahu bahwa hidupnya memang tidak aman. Tapi setelah mengetahui semuanya, dia bahkan merasa tidak ada lagi tempat berpijak yang aman untuknya.

Jika boleh bermimpi, dia ingin hidup seperti orang biasa. Gagasan tentang menjadi anak seorang petani dan hidup damai di pedesaan terdengar seperti surga untuknya. Tapi jika itu akan membuatnya kehilangan Lucas, maka dia akan memilih hidupnya yang sekarang tanpa pikir panjang.

“Aku hanya ingin berkeliling,” Larissa menjawab. “Kau bisa menyuruh orang-orangmu untuk menjagaku atau bahkan mengikutiku dari belakang, Papa. Aku tidak keberatan dengan itu sekarang.”

Jawaban itu sepertinya cukup untuk memuaskan rasa khawatir seorang ayah, karena tangan Lucas segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci mobil yang menimbulkan dentingan pelan ketika beradu dengan meja.

“Jaga dirimu baik-baik.” Hanya itu, tapi Larissa tahu bahwa ayahnya membutuhkan banyak kekuatan untuk mengatakannya.
Mereka memang tidak terbiasa menunjukkan rasa sayang pada satu sama lain, tapi Larissa tahu bahwa ayahnya mencintainya lebih dari apa pun. Dari cara Lucas memandangnya, memeluknya, atau bahkan sekedar berbicara padanya, Larissa tahu bahwa di mata Lucas, dia lebih berharga dari pada kerajaan bisnis Armanno.

Larissa meraih kunci itu, merasakan sensasi dingin logam menusuk telapak tangannya. Dia tidak pernah mengemudi sendirian sejak sampai disini, dan dia merindukan sensasi itu. Mungkin dengan berada di balik kemudi bisa membuatnya lupa pada rasa sakit yang sampai sekarang masih menghinggapinya.

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now