18. Pretend

4.6K 325 0
                                    

Adrian mencengkeram leher botol vodka keduanya sebelum meneguknya asal-asalan dan menyebabkan cairan itu membasahi kemejanya yang sudah berantakan. Dunia sudah bergelombang di matanya, namun sialnya, rasa sakit itu belum juga hilang.

Ingatannya kembali pada saat dimana dia menemukan kakaknya terbaring tanpa nyawa di depan gerbang mansion Armanno dengan tanda-tanda pemerkosaan tersebar di tubuhnya. Dia masih ingat bagaimana mata kakaknya yang membelalak karena rasa sakit dan ketakutan. Dia tidak akan melupakannya.

Lalu, apakah dia akan membiarkan Larissa mengalami hal yang sama?

Adrian pernah tertembak di bahu ketika dia sedang menjalankan misi dari Lucas. Dia pernah terjatuh dari lantai dua karena ceroboh dan membuat tulang tangannya retak. Tapi rasanya tidak sesakit ini.

Membayangkan tentang apa yang dialami Larissa saat ini, membayangkan jeritan permohonan yang dilontarkan gadis itu dalam kesakitan, dan membayangkan bagaimana bajingan-bajingan itu akan memperlakukannya. Bayangan itu terus menghantam kepala Adrian tanpa henti, membuat dia mengerang frustrasi karena rasa sakit yang tak bertepi.

Berengsek!

Dia melemparkan botol di genggamannya ke arah lantai, membuat kepingan-kepingannya berhamburan dan cairannya membasahi lantai serta menebarkan aroma yang tidak menyenangkan. Dengan perlahan, dia berdiri dari tempat duduknya, mencoba berjalan ke arah mana pun asalkan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit di hatinya. Beberapa pecahan kaca menusuk dan melukai telapak tangannya, tapi dia tidak merasakan apapun.

Dia mati rasa.

Lalu saat pintu ruangannya terbuka dan memperlihatkan seorang pria yang berdiri tegap dengan aura kemarahan di sekelilingnya, Adrian tersenyum—atau menyeringai, dia tidak dapat memastikan. Setidaknya, pria itu pasti bisa memberinya rasa sakit yang mungkin akan membuatnya lupa pada sakit yang mendera ulu hatinya, dan dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan itu.

“Sialan,” Lucas mengumpat keras-keras. Dia lalu berjalan cepat ke arah Adrian yang terlihat goyah karena alkohol sebelum menyeretnya ke arah pintu kamar mandi yang ada di ruangan itu. Adrian sedikit memberontak, namun kekuatan seseorang ketika mabuk—bahkan jika dia adalah pemegang komando tertinggi Armanno sekali pun—jelas tidak akan sebanding dengan kekuatan seseorang yang sepenuhnya waras dan berada dalam puncak kemarahan.

Adrian berusaha melepaskan kemejanya dari tangan Lucas, tapi dia tidak berhasil dan akhirnya memilih menyerah. Dia mengikuti langkah Lucas dengan sempoyongan, sesekali hampir terjatuh karena langkah Lucas yang terlalu cepat. Pecahan kaca menusuk semakin dalam ke kakinya, tapi dia masih tidak menyadarinya.

Lucas berhenti ketika mereka sudah mencapai shower. Dia mendorong Adrian agar berada tepat di bawah pancuran sebelum memutar keran sampai ke batas maksimal hingga air mengalir deras menyiram Adrian yang terlihat kehilangan orientasi.

Dia menggeram begitu melihat darah mengalir dari telapak kaki Adrian. Apa saja yang sudah si tolol ini lakukan selama dua jam di ruangan pribadinya?

“Bajingan,” desis Lucas. “Tidak bisakah kau membuat dirimu sendiri berguna? Kenapa kau memilih melakukan hal tidak berguna seperti ini dibandingkan mencari Rissa dan memastikan keselamatannya?”

Aliran air yang deras sedikit bisa menyingkirkan kabut di kepala Adrian. Ketika dia akhirnya menyadari lagi apa yang sedang terjadi, dia menyandarkan punggungnya ke dinding, merasa tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

“Aku kehilangannya, Lucas.”

Lucas menggeram. “Kau akan benar-benar kehilangannya jika kau tetap bertingkah seperti ini.”
Lalu dia pergi untuk memanggil beberapa pelayan yang akan mengurus Adrian dan luka-luka sialannya. Dia meninggalkan Adrian yang sedang meratap sendirian di belakang sana.

Semua orang tahu, dunianya benar-benar hancur saat ini. Jika dia tidak dapat menyelamatkan Larissa, dia tidak akan memiliki alasan untuk hidup.

Tidak lagi.

****

“Bos.” Anthony memasuki ruang kerja Lucas, sedikit mengernyit begitu mendapati bahwa Lucas sedang menelepon seseorang. Lelaki itu melirik Anthony sekilas, sebelum mematikan sambungan teleponnya tanpa salam perpisahan.

Pasti dari salah satu orang yang ditugaskan untuk melacak Nona Larissa, Anthony mengira-ngira dalam hati sambil mempertahankan ekspresi datarnya.

“Ya?”

Anthony berdeham. “Aku sudah mengecek mansion Adyatama, dan tidak ada pergerakan berarti dari sana. Argani Adyatama juga tidak terlihat berada disana. Dan itu berarti, Nona Larissa tidak mungkin berada disana.”

“Sudah kuduga.” Lucas kembali duduk di kursinya dan menumpukan kepala di antara kedua tangannya. Dalam kurun waktu kurang dari 48 jam, dia terlihat 10 tahun lebih tua. “Bagaimana dengan detektif yang kau kirim?”

Dengan berat hati, Anthony menggeleng. “Belum ada kabar dari mereka, Bos.”

Lucas tidak mengatakan apapun lagi, yang mana membuat Anthony juga hanya terdiam di tempatnya. Dia pernah melihat Lucas dalam keadaan seperti ini, dulu, ketika mereka harus kehilangan Luna di tangan Adyatama. Sekarang, dia melihatnya lagi, dan dia takut Lucas tidak akan bisa menghadapinya.

Lucas memang kuat, semua orang tidak akan membantah itu. Tapi semua orang juga akan setuju akan gagasan tentang Nona Larissa-lah yang membuat Lucas menjadi sekuat itu. Dan sekarang, ketika gadis itu entah berada dimana dan entah aman atau tidak, Anthony heran mengapa atasannya masih bisa bertahan.

Ketika mendongak dan mendapati Anthony masih berada di tempatnya, Lucas mengibaskan tangannya di udara dengan lelah. “Pergilah, aku tidak apa-apa.”

Menyadari bahwa dia memang tidak seharusnya melewati batasannya, Anthony mengangguk sebelum meninggalkan ruangan itu, menyisakan keheningan yang hampir membuat Lucas merasa tuli.

Tangan Lucas gemetar begitu meraih ponselnya dan menekan beberapa nomor yang dia ingat di luar kepala. Begitu sambungan telepon menghubungkan mereka, dia tidak membuang-buang waktu. “Ada kemajuan?”

Terdengar helaan napas pelan dari seberang sana. “Maaf, Bos. Kami masih mencari.”

“Temukan dia secepatnya.”

“Siap, Bos.”

Lucas mematikan sambungan itu lalu menekan beberapa nomor lagi. Dia mengulangi pertanyaan yang sama, dan orang-orangnya yang lain juga menjawab dengan kalimat yang sama. Orang lain mungkin berpikir bahwa seharusnya dia menyerah saja, tapi dia tidak akan pernah melakukan itu sebelum melihat jasad puterinya dengan matanya sendiri.

Dan selama dia belum mengalami itu, dia yakin bahwa puterinya masih hidup.

Dia sudah pernah mengalami hal ini, dan dia bahkan masih mengingat rasa sakitnya. Lalu bagaimana jika dia harus menghadiri pemakaman orang tercintanya lagi? Apa yang akan dia lakukan jika dia harus kehilangan Larissa?

Dia menjalankan jari-jari ke rambutnya dengan frustrasi.

“Lucas.”

Entah sejak kapan Adrian ada disana. Ketika mendongak, Lucas mendapati bahwa Adrian sedang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar dan kekuatan yang berada di dalam genggamannya. Sesuatu dalam aura Adrian membuat Lucas mengernyit, menyadari bahwa Adrian yang berada di hadapannya terlihat sangat berbeda dengan Adrian yang semalam dia siram dengan pancuran.

“Aku minta maaf untuk kebodohanku,” Adrian memulai. “Tapi aku akan memperbaikinya. Aku sudah mengirim beberapa orang-orangku untuk melacak keberadaan Argani, meski tidak mudah karena bajingan itu jelas bukan seseorang yang bodoh. Aku tidak akan menyerah.”

Lucas tersenyum miring. “Aku akan membunuhmu jika kau menyerah.”

Adrian terdiam. Dalam kasus ini, seharusnya Lucas adalah orang yang paling terpukul. Hidupnya bergantung pada Larissa setelah dia kehilangan Luna, tapi pria itu masih terlihat kokoh di tempatnya duduk dan terlihat sangat siap menghadapi apapun yang akan menyerangnya.

Jika Lucas saja bisa berpura-pura kuat, kenapa Adrian tidak?

****

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now