9. Her Memory (1)

4.4K 325 7
                                    

Aroma kopi yang menyengat dengan cara yang familiar menampar Larissa hingga dia memejamkan mata untuk meresapi semuanya. Ketika kenangan membanjirinya hingga dia kewalahan, dia membuka matanya dengan cepat. Namun tetap saja. Rasanya bahkan lebih buruk karena dia seakan bisa menonton kenangannya sendiri.

Dalam penglihatannya, warna cat berubah menjadi cokelat kembali, tepat seperti 4 tahun yang lalu. Dia bahkan bisa melihat Nyonya Jasmine duduk di belakang meja kasir, menatapnya sambil tersenyum hangat. Dia juga bisa melihat Pak Amin sedang membersihkan meja-meja yang kosong. Dan ketika dia mengedarkan pandangan, napasnya tersentak karena terkejut.

Dia bisa melihat dirinya sendiri dalam versi yang lebih muda dan naïf sedang duduk di meja yang berada di sudut ruangan bersama Adrian, dekat jendela sehingga memberi mereka kesempatan untuk mengamati lalu lintas secara diam-diam. Lalu tawa mereka meledak karena candaan yang dilontarkan oleh Adrian muda, membuat beberapa pengunjung menatap risih pada mereka tapi Nyonya Jasmine hanya tersenyum maklum.

Mengerikan sekali betapa masa lalu bisa terasa senyata ini.

Sentuhan di tangannya membuat Larissa tersedot keluar dari gelembung masa lalunya, mengerjap beberapa kali sebelum merasakan dimana kakinya berpijak.

“Aku juga selalu mengalami déjà vu setiap datang ke tempat ini,” Adrian membuka suara sementara Larissa masih mematung di sampingnya, di ambang pintu. “Tapi sensasi itu sangat menyenangkan hingga aku tidak bosan menghadapinya.”

Kata-kata Adrian terasa seperti mengambang di telinga Larissa, tanpa bisa dia serap semua maksud dan maknanya. Dia masih merasa linglung dengan dirinya sendiri, dan dia bersyukur karena Adrian tidak berniat memaksanya lebih jauh.

Semuanya telah berubah, Larissa menyadari diam-diam. Cat tembok tidak lagi berwarna cokelat, tapi berwarna krem sehingga kesannya lebih hangat. Semua kursi dan meja yang dulu berwarna merah menyala kini telah berganti menjadi putih, meski tatanan mejanya masih sama—dia tidak mungkin lupa.
Dia mengalihkan tatapan ke arah meja kasir, sedikit kecewa karena tidak mendapati Nyonya Jasmine disana, tapi seorang gadis muda yang sangat ramah dan enerjik jika melihat dari caranya melayani pelanggan. Senyumnya tidak pernah luntur meski sesekali dia harus membenarkan poni yang jatuh menutupi matanya.

4 tahun yang lalu, Nyonya Jasmine adalah seorang wanita berusia 45 tahun yang masih terlihat sangat cantik dan bersemangat. Tapi mungkin sekarang dia mengalah pada usianya dan memutuskan untuk menyerahkan tugasnya pada orang lain. Atau mungkin gadis cantik itu adalah puterinya?

Tapi itu mustahil, Larissa menggeleng. Gadis itu tidak mirip dengan Nyonya Jasmine sama sekali. Dia juga pernah melihat foto mendiang suami Nyonya Jasmine, yang sekarang agak kabur di kepalanya, tapi dia bisa memastikan bahwa gadis itu juga tidak mirip dengan suami Nyonya Jasmine. Tapi bukankah Nyonya Jasmine pernah berkata bahwa dia tidak akan pernah mau menyerahkan meja kasirnya pada orang asing?

“Ayo,” ujar Adrian tidak sabar ketika Larissa masih saja membeku dan tampak asyik dengan dunianya sendiri. Tadi, dia masih menoleransi Larissa. Tapi sekarang mereka sudah berdiri selama 3 menit di ambang pintu dan beberapa orang sudah menatap mereka seakan mereka adalah makhluk asing dari dunia lain. “Berhenti bersikap bodoh, Larissa.”

Larissa tersentak dan memberikan lirikan tajam pada Adrian. Tanpa menunggu lelaki itu, dia berjalan dan hampir menarik salah satu kursi di meja yang ada di dekat mereka ketika Adrian menariknya dan malah mengarahkannya ke arah tempat yang biasa mereka duduki dulu.

Tidak lagi. Terlalu banyak kenangan di dalam coffee shop ini, dan sekarang Adrian mengajaknya duduk di tempat yang menyimpan kenangan terindah sekaligus terpahit ini? Apa-apaan!

Larissa sedikit memberontak dalam cengkeraman Adrian. Dia hampir melayangkan tinju pada Adrian jika saja dia tidak mengingat bahwa mereka sedang berada di tempat umum saat ini dan melakukan itu jelas bukanlah pilihan yang bijaksana. Akhirnya dia mengalah meski detak jantungnya kini terasa menyakitkan.

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now