8. Who is Alexa?

4.7K 321 7
                                    

Rasanya sangat aneh.

Setelah mengakui semuanya pada Adrian, rasanya ada sesuatu yang membuat Larissa tidak lagi menginjak tanah. Dia merasa sangat ringan, seakan beban dunia baru saja diangkat dari pundaknya.

Ternyata benar, dia mengulum senyum diam-diam. Rasa sakit hanya perlu dirangkul dan diakui, agar rasa itu tidak membunuhnya perlahan-lahan. Karena semakin dia menyangkalnya, semakin erat pula rasa sakit itu memeluknya hingga dia tidak bisa bernapas.
Sekarang, oksigen bahkan terasa begitu menyenangkan hingga dia selalu tersenyum setiap kali menarik napas.

Adrian meliriknya, terlihat heran namun juga kesal di saat yang bersamaan. Jelas saja. Setelah membuatnya merasa bersalah setengah mati, bagaimana mungkin gadis itu bisa tersenyum seperti ini?

Larissa mengedarkan pandangan ke sekeliling, mendapati bar dan lantai dansa yang kosong. Tentu saja. Ini masih siang dan bar tidak mungkin beroperasi pada jam seperti ini. Hanya ada beberapa pekerja yang sedang membersihkan meja-meja ataupun mengangkut minuman-minuman dari gudang ke bar.

“Tidak terlihat seperti baru saja terjadi penyerangan,” Larissa berkomentar yang dibalas dengan dengusan oleh Adrian hingga gadis itu mengerutkan dahi tidak mengerti. “Apa-apaan kau?!” serunya begitu Adrian menyeretnya begitu saja tanpa peringatan.

“Kita harus berbicara dengan Angkasa, bukan mengurusi keadaan bar sialan ini,” desis Adrian sementara rahangnya mengatup rapat. “Berhenti bertingkah seperti bocah idiot.”

Larissa menggertakkan giginya, berusaha melepaskan diri dari cekalan Adrian namun semua sia-sia saja. “Kau bisa mengatakannya dengan baik-baik, brengsek!” umpatnya. Beberapa pelayan menatap ke arah mereka dengan penasaran dan itu membuat wajahnya memerah karena malu.

Akhirnya, setelah aksi seret-menyeret yang memalukan di depan seluruh pegawai Alfredo’s Rose, mereka sampai di depan pintu polos yang terlihat begitu sederhana namun misterius di saat yang sama. Adrian melepaskan tangannya dari milik Larissa sebelum menekan kenop pintu dan mendorong pintu itu terbuka.

Hal pertama yang dilihat Larissa adalah seorang laki-laki yang duduk di balik meja, membuatnya merasa déjà vu seketika. Dia seakan melihat Adrian disana tadi pagi, dengan pose duduk yang sama dan raut wajah yang sama. Apakah semua lelaki memang suka bertingkah sok berkuasa seperti itu?

Lelaki itu bangkit dari duduknya dan tersenyum. “Stefano, merupakan kehormatan bisa melihatmu disini,” katanya sambil mengulurkan tangan, namun Adrian malah memberinya sebuah pelukan—atau lebih tepat disebut tepukan punggung—sebelum dia menarik kursi untuk Larissa lalu menarik kursi untuk dirinya sendiri.

Larissa menjalankan matanya untuk mengamati lelaki yang baru dilihatnya. Dia memiliki wajah khas Indonesia yang tampan dan tegas dengan kulit kecokelatan yang membuatnya terlihat seperti lelaki sejati, berbeda dengan kulit pucat Adrian. Tapi tetap saja. Matanya berwarna cokelat membosankan, dan jelas berada jauh di bawah Adrian.

Lagi dan lagi. Dia tidak pernah bisa menghentikan dirinya sendiri dalam membandingkan semua lelaki dengan Adrian.

Lelaki itu memperhatikan Larissa dengan senyum bermain di bibirnya. “Kau pasti Larissa la Armanno, bukan?” Larissa mengangguk, senang karena ada orang yang mengenalnya. Lelaki itu mengulurkan tangan sementara senyum tidak pernah surut dari wajahnya. “Aku Angkasa, penanggung jawab Alfredo’s Rose. Ah, tapi Stefano pasti sudah menceritakan tentang aku, bukan?”

Larissa menggeleng tanpa berkata apapun, tersihir oleh senyum Angkasa yang terlihat begitu tulus, jelas berbeda dengan semua orang yang biasa dia temui di mansion. Sehari-hari berteman dengan ekspresi datar tanpa emosi, sangat mengejutkan ketika dia melihat seseorang yang terlihat sangat normal seperti Angkasa.

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now