7. Ad--Stefano

4.9K 337 1
                                    

Larissa mengikuti Adrian dengan tegap, berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengentakkan kaki seperti anak kecil hanya karena rasa kesalnya pada Adrian.

Bagaimana mungkin lelaki itu bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arahnya? Sepertinya, dia juga tidak akan peduli meski Larissa tidak mengikutinya, tapi Larissa tidak sebodoh itu. Dia harus menunjukkan pada semua orang bahwa dia bisa menjadi komando kedua yang baik, dan pertama-tama, dia akan menunjukkannya pada Adrian.

Suara sepatu mereka menciptakan harmoni yang indah ketika beradu dengan lantai, membuat Larissa tersenyum kecil mengingat masa lalu, dimana dulu mereka bisa bersikap seperti saudara, jauh dari situasi yang kaku dan menyebalkan seperti ini.

Tapi mungkin seperti ini jauh lebih baik, dia mendesah dalam hati. Lebih baik dimusuhi, daripada disayangi sebagai saudara. Setidaknya, sekarang dia bisa bersikap semaunya pada Adrian, tidak lagi terikat oleh aturan persaudaraan dimana menyukai sang kakak jelas merupakan pelanggaran tak termaafkan.

Meskipun begitu, Larissa tidak pernah menganggap Adrian sebagai kakaknya, dan itu berarti menyukai Adrian bukanlah hal yang salah, kan?

“Siapkan mobilku,” Adrian memerintahkan pada dua orang bersetelan hitam yang berjaga di lobi utama.

“Siapkan mobil untukku juga,” Larissa menimpali. Dia hampir saja mengatakan ‘mobilku juga’ jika dia tidak ingat bahwa dia sudah lama meninggalkan rumah ini, yang mana berarti besar kemungkinan jika mobilnya sudah tidak ada atau mungkin sudah rusak karena sudah lama tidak diservis lagi.

Adrian melayangkan tatapan tajam pada orang-orangnya. “Tidak perlu. Dia bersamaku.”

“Apa-apaan?!” seru Larissa refleks, tidak peduli meski dia mengumpat di hadapan atasan dan bawahannya sekali pun. Dia berjalan dan menyentakkan tangan Adrian hingga lelaki itu berbalik menghadapnya dengan wajah tanpa emosi. “Berhenti sok mengaturku, kau sialan.”

Adrian hanya menaikkan sebelah alisnya, terlihat geli dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Larissa. “Perlukah aku ingatkan siapa pemegang komando tertinggi disini?” Dia lalu tersenyum puas begitu melihat Larissa mengalah pada dirinya sendiri. “Aku bahkan bisa menyuruhmu untuk bunuh diri jika aku mau.”

Cukup sudah!

Larissa melepaskan tangannya dari Adrian dan mengepalkan tangan erat-erat sebagai gantinya. Buku jarinya masih terasa sedikit sakit tapi ini sudah biasa, karena ketika di Aussie, dia tidak memiliki pelatih seperti Adrian hingga dia lebih memilih bertarung dengan samsak setiap hari.

Oke, dia mengaku sekarang. Memang dialah yang hanya ingin dilatih oleh Adrian, bukan sepenuhnya keputusan Lucas.

“Mobilmu sudah siap, Bos,” seseorang melapor dan membuat kontak mata mereka terputus. Suasana terasa begitu canggung—atau bahkan menegangkan—sebelum Adrian berdeham.

“Terima kasih.”

Kemudian lelaki itu pergi tanpa berbalik, membuat Larissa lagi-lagi harus mengikutinya dari belakang seperti keledai yang bodoh.

****

Larissa memasang seatbelt dan melemparkan pandangan keluar jendela ketika Adrian mulai menjalankan mobil menyusuri jalan yang membelah halaman depan. Dulu, ketika pemikirannya masih sedangkal remaja, Larissa selalu mengeluh karena dari mansion ke gerbang utama saja harus ditempuh dengan 2 menit menggunakan mobil.

Tapi sekarang dia benar-benar mengagumi selera seni ayahnya. Beberapa air mancur baru sepertinya sudah ditambahkan sejak dia pergi—dia belum sempat mengaguminya kemarin karena terlampau lelah.  Sekarang ada kebun mawar putih di beberapa titik, patung-patung batu yang dipahat dengan detail menakjubkan, juga lampion yang digantung sepanjang jalan—yang mungkin akan bersinar indah setiap malam.

Larissa tersenyum lebar. Ayahnya ternyata bukan hanya lelaki kaku dengan kehidupan yang melulu tentang bisnis.
“Ad—Stefano.” Larissa ingin memukul dirinya sendiri karena kehilangan kontrol. Seharusnya, dia berhenti menganggap Stefano sebagai Adriannya yang dulu, tapi itu bukan hal mudah karena meskipun lidahnya menyebut nama Stefano, setiap detak jantungnya masih membisikkan nama Adrian dan sedikit berharap bahwa masa lalu akan terulang kembali.

Tapi semua orang pun tahu bahwa itu tidak mungkin, kan?

Adrian menyeringai sementara matanya fokus pada jalanan yang terlihat lengang hari ini. “Kenapa kau meralatnya, Sayang?” Dia terkekeh begitu Larissa memalingkan wajah ke arah jendela. “Ah, pengecut, seperti biasa.”

Wajah Larissa memerah, campuran antara malu dan marah. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan harga dirinya dan sejauh ini, semuanya berjalan cukup buruk sebelum saat ini, dimana dia tidak tahu bagaimana cara untuk menatap Adrian tanpa terlihat mengharapkan cinta lelaki itu—lagi.

Tidakkah aku bosan menjadi pengemis cinta yang murahan? Larissa merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dia sudah berhasil mengembalikan harga diriku, lalu apakah dia ingin kembali seperti semula? Pada awal dimana dia sempat merasa tidak berhak untuk bahagia?

Sekarang pun, ketika dia duduk berdampingan dengan Adrian namun tidak bisa menggapai lelaki itu, perasaannya kembali. Rasa tidak dihargai itu menyakitinya dari dalam, merenggut semuanya terutama ketika dia melirik kembali lencana perak di dadanya.

Serendah itukah nilainya di mata dunia, hingga ayahnya bahkan tidak memberinya kesempatan untuk mendapatkan lencana emas?

Larissa menarik napas panjang dan menghembuskannya secepat yang dia bisa. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanyanya hati-hati, lega begitu Adrian hanya mengangguk dan tidak menggodanya lebih lanjut. “Kenapa tidak ada aset kita yang beratas namakan Armanno? Bukankah memang itu yang seharusnya?”

“Agar kau bisa menguasai semuanya hanya karena semuanya tertulis atas namamu?” tukas Adrian tajam. “Apa kau takut aku merebutnya darimu?” Dia mendengus, menginjak rem ketika lampu lalu lintas yang ada di depannya menunjukkan warna merah. “Aku akan menyerahkan semuanya pada puteramu, jika itu yang kau takutkan.”

Larissa menggeleng. Ini bukan tentang kekuasaan, demi Tuhan. Dia hanya bertanya, dan lagipula dia ingin mendapat lencana emas bukan karena dia ingin memperkuat kekuasaannya atau hal semacam itu. Ini hanyalah tentang pengakuan, yang mana dia perjuangkan selama 22 tahun hidupnya agar dunia mau mengakuinya.

Bukan sekali dua kali dia mendengar orang-orang ayahnya menyayangkan penerus Armanno yang seorang perempuan. Bukan sekali dua kali dia menerima tatapan meremehkan setiap kali dia memutuskan untuk berlatih bersama mereka. Bukan sekali dua kali dia mendengar lelucon tentang statusnya, yang berisi bahwa anak lelaki seorang pemulung jauh lebih terhormat dari anak perempuan seorang Armanno.

Dia sudah hidup dengan cibiran itu selama hidupnya. Dia sudah menulikan telinganya sendiri dan berlatih semakin keras agar dia bisa membuktikan bahwa darah Armanno yang mengalir di tubuhnya tidak akan sia-sia. Tapi sekarang, semuanya percuma saja hingga dia sedikit menyesal sudah mendorong dirinya terlalu keras.

“Kau tahu bukan itu maksudku,” sergah Larissa, setengah kesal setengah tak enak hati. Gadis mana yang senang dicap sebagai pengejar materi?

Adrian menjalankan mobilnya lagi ketika lampu lalu lintas memperlihatkan warna hijau, meskipun beberapa pengendara yang lain sudah melanjutkan perjalanannya ketika lampu masih berwarna kuning.
“Aku tidak tahu,” kata Adrian dengan nada pahit yang terdengar begitu dalam hingga tanpa sadar Larissa menunduk mengamati jari-jarinya di pangkuan. “Aku bahkan semakin tidak mengenalmu.” Dia lalu menatap Larissa sekilas—hanya sekilas, karena Larissa tahu lelaki itu sangat menjunjung tinggi keselamatan di jalan raya—sebelum fokus kembali pada jalanan di depan mereka. “Apa yang terjadi disana sampai kau berubah sepenuhnya?”

Larissa mendengus begitu mengerti apa maksud dari ucapan Adrian. “Aku tidak berubah,” katanya dengan nada dingin dan gelap sementara pandangannya lurus ke depan. “Aku hanya membunuh diriku yang dulu, untuk memperbaiki semuanya.”

“Apa yang perlu kau perbaiki sementara tidak ada yang rusak sama sekali?”

Pandangan Larissa berubah menjadi menerawang, mengenang kembali rasa sakit yang bahkan masih terasa begitu nyata. “Hatiku rusak, Stefano, dan tidak mudah memperbaikinya.”

Adrian tidak menjawab.

The Devil and A Cup of CoffeeWhere stories live. Discover now