Memberontak

380 18 0
                                    

Terik mentari menelan angin bulat-bulat. Bunyi lonceng mendengung nyaring, menandakan waktu apel siang. Di pekarangan, masing-masing komandan kompi mulai mempersiapkan pasukannya. Aditya berdiri di depan barisan, menjabat sebagai pemimpin apel–menggantikan posisi Viki. Sedangkan Viki sendiri berdiri tegap di depannya, lagi bertindak sebagai pembina–juga menggantikan posisi Perwira Batalion.

Apel siang itu berlangsung dengan teratur, hingga pada tahap pengarahan. Dengan santai Viki melaksanakan tugasnya sebagai pembina upacara.

"Sebelumnya, saya berterima kasih yang sebanyak-banyaknya. Berhubung Pak Dimas terhambat macet di jalan, maka ia mempercayakan saya untuk berdiri di sini." Viki sejenak menghela napas. Berpidato merupakan hal yang mudah bagi seorang Danion. Kejadian seperti itu lazim diatasinya. "Dan, pada kesempatan kali ini, saya tidak akan membuat kalian berdiri lama di tempat. Namun, ada dua poin yang ingin saya sampaikan." Terjadi jeda beberapa saat. "Baiklah! Pertama, saya tujukan kepada teman-teman sekalian." Viki tersenyum hangat. "Perang telah dimulai, dan akan berlanjut sebentar lagi. Siap tidak siap kita harus menghadapinya. Maka dari itu, aku minta satu hal: satukan langkah. Apa pun yang terjadi, pastikan tetap berada dalam barisan. Bagaimana teman-teman? Siap?"

"Siap!!!" Kompak tingkat II membalas.

Viki tersenyum puas dan kemudian melanjutkan, "Kedua, untuk adik-adik junior. Kalian juga pasti tahu apa yang akan kami hadapi hari ini, tapi apa pun itu, apapun yang terjadi, jangan ikut campur urusan kami. Jika hari ini, adalah hari terakhir kami di sini, tetaplah seperti biasanya. Jalani aturan yang ada dan lanjutkan perjuangan kalian.

Itu saja. Saya rasa, cukup sampai di sini. Selebihnya, saya ucapkan terima kasih dan selamat siang!!!"

Satu suara bergema menjawab, "Siang!!!"

Apel pun selesai, semuanya masuk ke kelas masing-masing seperti biasa. Terkecuali Aditya, ia berdiam di tempat piket, guna menunggui instruktur-instruktur yang mulai berdatangan. Sempat dilihatnya Pak Bandi telah hadir.

Tidak berselang lama, motor matic berwarna hitam yang biasa digunakan Kepala Yayasan telah memasuki tempat parkir.

"Lengkap sudah." Aditya lantas beranjak ke kelas.

* * *

"Ting-dung... ting-dung... ting-dung...!" Bunyi mengalun dari mulut sirene.

"Berita panggilan ditujukan kepada Danion tingkat dua, agar ke ruangan Kepala Yayasan. Terima kasih."

Danion tersenyum, ia kemudian bangkit dari kursi dan merapikan tatanan bajunnya yang berselempangkan tali beruntai tiga–kuning, merah, putih. Tali yang mengikatkan sebuah tanggung jawab besar.

"Komandan!" panggil Aditya. "Inilah saatnya, bukan?" Aditya tersenyum.

"Boleh!" Viki pun membalas sepakat.

Serentak mereka berdiri. Terlihat berani seperti pasukan utama dalam medang perang.

Sesampainya di muka pintu keramat itu–pintu yang hanya terbuka untuk taruna jika bermasalah. Tangan Viki bergetar takut. Namun, tetap memaksakan kehendak untuk mengetuk tiga kali dan lalu berseru, "Izin masuk!"

"Masuk!" Terdengar jawaban dari dalam.

Masuklah Viki dan disusul yang lainnya. Pengap ruangan itu.

"Selamat siang, Pak." ucap Danion setelah ia berdiri sempurna di dalam ruangan.

"Loh... saya hanya memanggil Danion, kenapa semuanya datang kemari?" tanya Kepala Yayasan setengah bergurau setengah bersungguh-sungguh.

Sayangnya, tidak ada yang berani menjawab.

"Baiklah! Berbaris yang rapi!" perintah Kepala Yayasan kemudian.

"Siap pak?" jawab Danion gemetar.

Sesak. Namun, tak ada yang mampu berdesis.

"Saya mendengar, kalian tidak mengikuti kegiatan pramuka pagi ini," kata Kepala Yayasan datar. "Ada apa? Kalian sudah hebat?"

"Maaf, Pak!" jawab Danion.

"Kenapa?" Kepala Yayasan kembali bertanya, masih tenang.

"Bukannya kami tidak mau belajar pramuka, Pak! Tapi, kami tidak mau dilatih sama Pak Bandi," jawab Viki sedikit gugup. Namun, ia sudah terbiasa menahan nerves seperti itu.

"Ow, jadi begitu, tapi Pak Bandi adalah instruktur yang dapat dipercaya. Apa alasannya?"

"Aturan Pak Bandi tidak sejalan dengan yang kami punya!" kata Viki dengan berani.

"Aturan yang mana?" Kepala Yayasan menatap ke Viki. "Ow! Kalian sudah berani, ya?" Kepala Yayasan menganggukkan kepala berulang kali.

"Bukan begitu, Pak. Kami akan mengikuti kegiatan pramuka jika instrukturnya diganti, " jawab Viki bersikeras.

"Di sini, aku yang menentukan," kata Kepala Yayasan dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. "Dan, Pak Bandi adalah instruktur pramuka pilihan."

"Maaf, Pak! Kalau bapak tidak menuruti permintaan ini, kami akan keluar dari sekolah," tegas Viki tanpa berpikir lagi.

"Keluarrrr!" hardik Kepala Yayasan. Suara itu, bak petir menyambar.

Sejenak mereka dalam keheningan.

"Tunggu apa lagi, keluarlah!" teriak ulang Kepala Yayasan sambil mengangkat tangan kanannya ke arah pintu.

"Siap pak!!!" Satu suara mereka menjawab.

Mereka keluar dari kantor Kepala Yayasan, beraturan. Sebentar kemudian, terdengar suara motor secara bersamaan meraung tidak sopan, dan melaju membawa taruna-taruni itu keluar dari parkiran dengan berani.

"Bebaaas!" Teriakan Viki terdengar nyaring ketika berada di luar pintu gerbang sekolah.

Tanpa arah dan tujuan, hingga menembus jantung kota. Dafa yang memandu jalan mereka, ia mengarah ke stadion. Stadion yang ada di Bone–Stadion Lappatau. Lumayan besar untuk skala kabupaten.

Tanpa terkecuali, mereka duduk dan membentuk sebuah lingkaran. Ada yang tertawa lepas. Ada juga yang terharu. Tidak fokus.

Viki yang memindai teman-temannya secara bergantian, ia lalu tertawa seraya berkata, "Tenang, Bro! Kita pasti kembali, di mana sekolah itu tanpa Pak Bandi lagi."

"Iya, beh santai mako (iya, santai saja)!" Naira meledek dengan peselancar logat Bugis. Pandangannya tertuju kepada Dafah dan Aditya, di ikuti tawa dari Ifah, Ati, dan Tika. Perempuan-perempuan itu dipanggil taruni–calon pelaut perempuan.

* * *

Satu per satu teruna dan taruni itu pulang dari tempat mereka berkumpul. Sehingga tinggal beberapa orang lagi, termasuk Aditya. Ke mana aku akan pulang? Bukankah aku tidak ada tempat tinggal di sini? Bukankah aku anak asrama, masa aku harus pulang kampung? Batin Aditya dipenuhi dengan pertanyaan menggelisahkan.

Iya, taruna yang lain bisa saja pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara Aditya, pulang ke mana? Pulang kampung? Tidak mungkin. Kampung itu terlalu jauh dengan berurusan rumit seperti itu.

"Ayo! Kita pulang!" ajak Dafa sambil tersenyum, ia telah membaca pikiran Aditya yang kebingungan.

Sampai saat ini, Dafah dan Aditya masih saja seperti dahulu. Mereka selalu saja berbagi satu dengan yang lainnya. Termasuk hubungan cinta terlarang itu. Tidak ada yang transparan.

Menyembunyikan hubungan hampir satu tahun lamanya bukanlah hal yang mudah. Dan, hanya Aditya yang tahu akan hal itu. Aditya juga tidak mengerti, mengapa mereka senekat itu. Sementara mereka tahu hukuman yang akan dijatuhkan kepada taruna dan taruni yang menjalin sebuah hubungan kasih ialah dikeluarkan dari sekolah.

Andai saja, rahasia itu terbongkar. Tentu, Aditya adalah sasaran empuk untuk menjadi tertuduh yang membocorkan.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang