Pengantin

325 17 8
                                    

Sang surya yang dibalut kabut, angin menghembus dingin. Titik air yang menetes dari ujung seng berjatuhan perlahan dan beraturan di satu tempat hingga membentuk sebuah lubang kecil, berjejer lurus dari sisi kanan halaman ke kiri, maupun ke belakang.

"Sepertinya mulai reda," ucap Aditya yang sedang berdiri tegap di pintu utama. Ia melipat tangan, sesekali menggigil, menikmati hembusan angin yang membawa luluhan air hujan yang menyentuh kulitnya.

Ia lalu masuk dan mulai mengepak pakaian. Dua buah kemeja batik: satu berwarna coklat tua yang dipadukan dengan merah tua dan satunya putih berpadu coklat muda.

"Dek! Lihat celanaku yang warna hitam?" Aditya bertanya ke Riani yang lagi menyapu di ruang tamu.

"Ada di lipatan yang paling bawah, Kak!"

Aditya kemudian menemukannya, dan lalu memasukkan semua pakaian itu ke dalam tas. "Dek, mama ke pasar, ya?" tanyanya lagi lantas ia mengacak-acak rambutnya di depan cermin.

"Iya, Kak!" jawab Riani yang sambil berjalan ke kamarnya. "Mungkin sebentar lagi dia pulang, kenapaikah?"

"Mau pamit aja."

"Mau minta uang juga, kan?" Riani tersenyum, ia kembali berdiri di depan pintu kamar kakaknya. Kebetulan pintu kamar itu bersebelahan.

"Ah, tidak!" balas Aditya, "kakak udah minta kemarin."

"Ck ck ck, ini anak!" Riani menggeleng dengan tatapan meledek.

"Kau udah mulai kurang ajar ya, sama kakak!" ujar Aditya sambil memencet hidung adiknya saat ia berjalan keluar dari kamar. Di tangan kirinya ada sepasang sepatu kulit yang berwarna hitam.

"Aw, sakitlah, Kak!" ringis Riani sambil mengelus-elus hidungnya.

"Entar, ya! Kalau kakak udah di kapal, saya juga akan kasi uang ke mama, sama seperti dia memberiku selama ini." Aidtya berucap santai, tetapi itu sebuah ikrar yang teramat serius yang keluar dari dalam hatinya. Betapa ia teramat ingin membahagiakan orangtuanya yang selama ini berjuang untuknya. "Dek, cocok 'ngak, kakak pake (pakai) sepatu ini kalau kakak pake baju batik?" Aditya memang tidak biasa memakai pakaian resmi seperti itu. Terlihat dari baju batiknya yang ia beli sejak pernikahan kakaknya dulu, dan sampai sekarang masih terlihat baru saja disambar dari toko. Baru sekali itu ia gunakan. Sepatunya juga demikian.

"Yah, cocok aja, sih?" Riani sambil tersenyum. "Kak, mau pake sepatu begitu ke Bone?"

"Tidaklah, ini untuk di pesta nanti."

"Ow, cocok, kok!" ujar Riani yang kemudian tersenyum kecil. "Terus kapan pulangnya, Kak?"

"Lusa kalau tidak ada halangan."

"Iya, jangan lama-lama, soalnya sapi tidak ada yang urus."

"Kan kalau kakak di Jakarta, kau juga yang urus." bantah Aditya sambil memasang sepatu botnya yang berwarna coklat itu. "Kenapa sekarang kau jadi pemalas sekali!"

"Kak, aku itu perempuan, toh? Lihat nih tangan. Mulus, kan? Kau paksa urus sapi, kan tidak mungkin sekali!" Riani menggerutu jijik.

"Terserah!" balas Aditya. "Yang peting kau urus. Jangan sampai sapi itu mati di tanganmu!" Aditya berucap tegas, tetapi ia tidak marah. Ia tersenyum dan lalu memasang ranselnya. Ia lantas berdiri di pintu sambil memeriksa jam tangannya, yang tepat menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit. Hujan juga sudah berhenti, tak ada lagi gerimis. "Waktu yang tepat," ucapnya pelan. Sekilas ia teringat pesan nenek moyangnya, dan ia kemudian memutar motornya yang terparkir di teras. "Kakak berangkat ya, Dek!"

"Iya, Kak! Hati-hati di jalan!"

"Iya, makasih. Assalamualaikum!" jawab Aditya sambil menarik gas motornya.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang