Pengembala

270 30 17
                                    

"Mengapa ini terjadi lagi? Mengapa kejadian ini terulang lagi?" kata Aditya sendirinya.

Ia kembali terlarut dalam kisah asmara yang begitu rumit. Dia pun tidak pernah menyangka kalau itu akan terulang dalam hidupnya. Akan tetapi, ia berusaha memaksakan diri untuk tidak menyerah. Bahkan, selama dua bulan ke baelakang ini, ia tetap saja berkomunikasi dengan Dhyan, melalui telepon. Ia selalu mencoba menganggap Dhyan adalah teman sejatinya, teman yang ia cintai, yang ia yakini, bahwa temannya itulah yang akan selalu menyemangatinya.

"Terus, mengapa kau tidak mau jadi pacar kakak? Kamu tidak suka dengan tingkah laku kakak?" tanya Aditya seriuas.

"Bukan begitu, hanya saja aku tidak mau kita pacaran. Aku tidak suka pacaran, itu dilarang oleh agama, Kak." Dhyan pun serius dalam menjelaskan.

"Terus kamu suka juga sama kakak?"

Pernyataan itu tidak pernah hilang dari kepala Aditya. Namun, ada sebuah pertanyaan besar dalam hatinya ketika ia sedang mengingat penjelasan itu: "Aku tidak suka pacaran, itu dilarang agama."

Aditya duduk termenung meimikirkan hal itu sendirinya. Pernyataan itu seakan membuatnya penasaran sendiri.

Iya, mulai lagi rasa percaya diri itu, merasuki pikirannya. Mulai lagi dia mengada-ngada, bahwa: Dhyan tidak pernah menolak persaannya. Dhyan tidak menolak keinginannya, melainkan dia ingin hubungan itu tidak melanggar ketentuan agama.

"Biklah Dhyan sekarang aku mengerti." Adtya tersenyum sendiri lalu mengisap rokoknya yang baru saja terbakar sepotong. Ia sedang membaringkan dirinyan di sebuah ayunan mini yang ia pasang di antara pepohonan dekat rumahnya. Tangan kirinya ia jadikan sebagai penyangga kepalanya. Sedangkan tangan kananya masih saja bekerja untuk memuaskan hasratnya dengan nikotin yang sedang ia isap. Sesekali ada bola-bola asap berbentuk cincing yang ia keluarkan dari mulutnya. Ia terus saja di tempat itu hingga azan Isya dikomandang.

* * *

Hari pun beganti hari bulan pun juga demikian, malah sebentar lagi akan berganti tahun. Namun, keadaan masih saja sama seperti sebelumnaya. Jadwal keberangkatannya tak kunjung datang. Sedangkan Raymon telah memebrinya kabar, kemarin lewat telegram, bahwa ia telah bekerja di atas kapal; ia telah berada di America Selatan. Dan, teman-temannya yang lain pun telah banyak memosting jadwal keberangkatannya di group BBM. Lengkap lagi dengn screen shoot-nya.

Dengan melihat itu semua, perasaan Aditya jadi semakin risau. Mengapa dia belum juga mendapatkan jadwal keberangkatan itu? Sudah berkali-kali ia mengecek di bagian crew area di website perusahaannya. Namun, lagi-lagi ia mendapati setatus jadwalnya: "Not yet accifment."

* * *

Dan, perjalanan hidupnya masih pun sama. Masih terombang-ambing layaknya perahu tanpa layar; mengikut arus, ke mana arus mengarah ke situ jualah ia hanyut. Begitulah perumpamaannya, tidak ada daya dan upay yang bisa dilakukan selain bersabar dan mengikuti takdir.

Dari lamunan itu, tiba-tiba telepon yang ia letakkan di atas perutnya berdering.

"Dhyan," katanya sambil mememrhatikan nomor itu. Baru saja ia ingin mengankat telepon itu, tetapi telah lebih dahulu redup. "Ah, mis call doang," lanjutnya dengan kesal.

Ingin sekali ia menelepon balik. Namun, setelah ia menekan telepon panggilnya, jawaban lain pula yang datang. Lagi-lagi oprator telkomsel itu dengan setianya mengingatkan kalau pulsanya tidak cukup untuk melakukan panggilan. "Ah, berensek!" umpaknya seketika.

Ia kemudian masuk dan langsung ke kamarnya lalu mencoba menenangkan dirinya. Diputarlah musik dengan lagu malaysia untuk menghiasi kamar klasiknya itu. Kamar yang tidak pernah direnovesi. Sarang laba-laba juga ada di setiap sudut ruangan.

The Story of SailorWhere stories live. Discover now