Tingkat dua

709 46 45
                                    

Tak disadari, tahun pun telah berganti. Sudah setahun lamanya Aditya berada di Kota kecil itu, kota yang penuh dengan kenangan pahit dan manis. Aditya telah menjadi senior seminggu yang lalu dan menjadi penyelenggara pembasisan madar bintal adik junior. Sementara senior tingkat III sedang melanjutkan perjuangannya di laut; prala (praktek kerja laut) juga sebulan yang lalu.

Ada keraguan menyertai. Ragu akan tidak bisa membina adik junior seperti kakak senior yang telah membinanya. Ah, kalau saja Aditya teringat binaan senior itu, memang meresahkan. Sesuai predikat, senior selalu menciptakan sensasi; yang kadang menegangkan, menakutkan, dan bahkan sangat memilukan. Namun–tidak ada penyesalan–karena mereka jugalah, Aditya menjadi semakin kuat, semakin mengerti arti kebersamaan dan persaudaraan.

Sebelum berangkat ke sekolah, Aditya duduk di teras sambil membersihkan sepatunya. Mata coklat itu berkaca-kaca saat teringat setahun yang lalu, di mana ia merasa selalu di bawah tekanan senior, dan hidup yang selalu punya aturan, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. Akan tetapi, hari ini keadaan itu sudah berganti, tibalah gilirannya ia yang menjadi senior dan akan membina adik junior.

* * *

Sembari membunyikan motor, Aditya sempat tersenyum ke arah Vina yang kebetulan sedang duduk di teras rumah. Ia cukup menikmati senyum itu. Namun, cepat-cepat ia tersadar, bahwa Vina telah resmi berpacaran dengan Bima sejak tiga bulan lalu. Haram bagi Aditya mengganggu hubungan seseorang, apalagi itu saudaranya sendiri.

"Kak, aku menerima cinta Bima. Kami telah berpacaran," jelas Vina waktu itu. Malam yang berhiaskan ribuan bintak tampak temaram. Kabut menimbulkan gelap pekat. Harum tak terdeteksi oleh penciuman. Mendengar pernyataan itu, adalah hal terpahit yang pernah dirasakan oleh Aditya. Membiarkan orang dicintai direbut teman sendiri adalah hal yang memilukan. Kejadian malam itu tubuh Aditya remuk. Tidak ada lagi rasa yang biasa menyelimuti. Vina telah menjadi milik orang lain. Tak lain adalah Bima yang telah dianggap saudara sepenanggungan.

Tidak. Itu tiga bulan yang lalu. Hari ini adalah hari yang cerah. Tidak ada lagi penyesalan. Walau ada rasa sakit yang timbul ketika melihat Bima dan Vina bermesraan di teras. Aditya menutup mata.

***

Seketika Vina menghampiri Aditya seraya berkata, "Kak, hari ini, kakak pelantikan, ya?"

"Iya," jawab Aditya. "Oh... Bima yang ngasih tau, ya?"

"Iya, Kak," balas Vina sambil tersenyum. "Kak, kasih tau Bima, aku tidak bisa datang mewakili orang tuanya."

Oh Tuhan! batin Aditya takjub mendengarnya. "Iya, akan kusampaikan," jawab Aditya. "Emangnya ada apa? Ayolah kita berangkat sekarang!"

"Tidak bisa, Kak! Aku ada urusan penting di kampus."

"Udah kuliah, ya?"

"Iya, Kak!" jawab Vina "Orang tua kakak juga tidak datang, ya?"

"Iya, Mama sedang ada acara," jawab Aditya sambil mengacak-acak rambutnya di depan kaca spion. "Vin, kakak berangkat dulu, ya!"

"Iya, Kak, hati-hati di jalan."

* * *

Di perjalanan, Aditya kadang tersenyum, kadang terharu sendiri mengingat Vina yang begitu perhatian sama Bima. "Vina, rupanya kau begitu cinta kepada Bima." Nada bicara Aditya dibiarkan melayang di udara begitu saja. Memendam perasaan selama ini bukanlah hal mudah. Namun, apalah yang hendak dikata jika cinta itu tidak berpihak.

Aditya menghentikan motornya di tempat parkir paling ujung di muka kelas. Ia lalu turun dari motor dan perlahan membuka helem. Serentak adik junior itu memberi penghormatan kepadanya. Aditya sungguh terharu. Dahulu, Aditya yang menunggu kakak senior untuk memberi penghormatan, saat mereka menginjakkan kaki di area sekolah. Dan, hari ini telah berbalik. Gilirannya yang diberi hormat. Aditya telah terbebas dari tekanan senior, malah kehadirannya yang membawa ketegangan buat para junior itu.

Bayang tubuh tepat berada pada mata kaki. Semuanya telah bersiap-siap untuk pelantikan. Aditya dan teman-temannya akan dilantik menjadi seorang taruna tingkat dua, sedangkan junior akan dilantik menjadi taruna baru.

Aditya tersenyum haru melihat orang tua adik junior itu satu per satu memasuki arena pelantikan dan mengambil tempat duduk yang telah dipersiapkan. Kembali ia teringat ibunya, saat ia dilantik menjadi taruna tingkat satu. Tersenyum ia sambil berbisik dalam hati, Mama andai saja hari ini kau hadir ....

Kalau tahun lalu pelantikan itu dihadiri oleh bapak wakil bupati. Berbeda halnya saat ini, melainkan bapak bupati sediri yang akan hadir untuk melantik mereka.

Tepat pukul 1:00 siang, barisan telah rapi. Dalam hal ini, taruna tingkat dua yang menjadi penanggung jawab penyelenggara pelantikan. Berjalan lancar atau tidaknya acara pelantikan itu, tentu semuanya dibebankan kepada Aditya dan teman-temannya.

Pelantikan pun dimulai seperti biasanya. Bahkan, lebih meriah dan lebih elegan dibanding acara pelantikan sebelumnya. Variasi barisan yang indah, bergerak dengan lincah dan teratur begitu rapi, demi menyambut kedatangan bapak bupati, yang sememangnya sudah dua hari yang lalu telah dipersiapkan.

Pelantikan itu berjalan dengan lancar. Antusias orang tua taruna-taruni tingkat satu memancarkan sinar bahagia. Para orang tua tampak begitu senang sehabis mendengarkan pidato Pak Bupati yang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk pembangunan sekolah. Sekolah pelayaran itu–menurut salah satu orang tua taruna─memang sekolah yang tepat untuk anaknya; sekolah pelaut yang akan meneruskan jejak pelaut Indonesia.

* * *

The Story of SailorWhere stories live. Discover now