Di Rumah Vina

534 29 20
                                    

Sebuah 'mobil sedan' berhenti tepat di depan rumah, dan si pemilik rumah memerhatikan seraya berkata "Igaro engka, lah (Siapa yang datang, ya)?" kata Ibunya Aditya. Di rumah itu hanya ada kedua orangtuanya, keponakan  dan adiknya masih di sekolah.

Turunlah Aditya dari mobil yang ditumpanginya dari Makassar seraya tersenyum ke arah ibunya yang berdiri tepat di muka pintu, sementara sopir mobil itu membuka pintu bagasi mobilnya untuk mengeluarkan koper Aditya.

"Berapa, Pak?" tanya Aditya sambil mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celananya.

"Tujuh puluh ribu, Dek."

Setelah Aditya membayar ongkosnya, berlalulah mobil itu dan memberikan klakson sekali. Kemudian Aditya mengangkat barangnya masuk, dia langsung menyalami kedua orangtuanya. 

Ibunya tersenyum haru dan tercengang. Sebenarnya mereka tahu kalau Aditya akan pulang, tetapi sangkaan mereka bukan hari ini.  

Iya benar, sebelumnya Aditya memang pernah menelepon dan mengatakan: kalau dia telah lulus dan akan segera pulang, dan Rida atau adik perempuannya yang masih belajar di sekolah menengah atas sempat juga ia mengajak ibunya melihat photo-photo graduate Aditya yang ia posting di akun facebook-nya. 

"Eh, wasengngi deppa murewe, Nak (Eh, aku kira belum pulang hari ini, Nak)?"

"Iye, Ma! Madeceng tonni urusakku toh, jadi rewena masitta (Iya, Mah! Karena segala urusanku telah rampung, jadi kuputuskan pulang secepatnya)."

Aditya mengangkat kopernya ke dalam kamarnya lalu membuang dirinya ke tempat tidur yang selalu membuatnya rindu, dan hari ini ia kembali menikmatinya. Walaupun tidak ada yang sepecial, tetapi ia merasa kalau kamar itu adalah surga baginya. Meskipun cat dindingnya telah usang, tetapi ia malah lebih suka, bahkan terdapat sebuah poster di atas pintu masuk kamar itu, juga tidak pernah ia buka dan telah lupa di tahun kapan ia menempelkan benda itu.

"Nak, purani manre (Nak, sudah makan)?" tanya ibunya Aditya yang sedang berjalan masuk ke dapur.

"Cinampepi, Ma (Sebentar aja, Mah)!" balas Aditya.

Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar itu, ia tersenyum sendiri membayangkan masa-masa training-nya yang telah berlalu sehingga ia terlelap dalam tidurnya.

* * *

"Dit, kamu di mana?" tanya salah seorang teman Aditya di telepon. 

"Di rumah."

"Sudah sampai?" Mardi tau kalau Aditya sudah pulang hari ini, karena Aditya sempat menelepon Mardi kemarin sehabis ia menelepon ke orang tuanya.

"Iya dari tadi pagi,"jawab Aditya dengan suara parau.

"Ke sinilah!"

"Iya sebentar, aku baru bangun, nih!" jawab Aditya.

"Astaga, Dit!" kata Mardi. "Ini baru jam tujuh, loh! Masa tidur jam segini."

"Aku tidurnya dari siang!"

"Auba (Ow...)," kata Mardi, "laono pale mai (Ya sudah, cepat-cepatlah ke sini)!" lanjutnya menggunakan bahasa Bugis. 

Sebenarnya anak-anak muda di desa itu, hampir tidak lagi menggunakan bahasa Bugis untuk percakapan hari-harinya. Jadi bahasa Bugis di kalangan muda-mudi hanya dijadikan bahasa selingan. Bukannya mereka berniat mematikan budaya lokal, melainkan mereka mengikuti perkembangan. Alangkah tidak enaknya -menurut mereka- jika ke kota terus tidak tahu menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Maka dari itu, mereka selalu berbahasa Indonesia dengan baik setiap hari. Toh, bahasa Bugis tidak akan mungkin juga terlupakan, karena ia telah menyatu dalam jiwa mereka sejak lahir. Apalagi si Aditya, malah terkadang menggunakan bahasa Inggris ke teman-temannya yang mengerti.     

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang