Tingkat satu

1.1K 68 40
                                    

Setelah jeda tujuh hari dari pelantikan. Pagi ini, Aditya memulai hari pertamanya di sekolah sebagai taruna tingkat satu. Ia datang lebih awal dari seharusnya. Baru pukul sebelas. Sedangkan apel sebelum masuk dimulai pukul satu nanti.

Lantaran pembangunan kelas yang belum selesai. Sekolah pelayaran itu terpaksa menumpang di sekolah SMP yang kebetulan menjadi tetangganya. Karena keadaan itulah yang memaksa sekolah pelayaran tersebut melaksanakan kegiatan belajarnya di siang hari.

Aditya tampak begitu gagah dengan baju dines putih-putih yang ia kenakan. Dipermak habis, melekat erat di tubuh kecilnya. Sebab aturan ketarunaan mengharuskan tingkat satu untuk menggundul licin rambutnya sekali sepekan. Ia pun tunduk dengan aturan itu. Namun, dengan kepala gundul licin pun tak membuat percaya dirinya menipis.

* * *

Menghadapi hari pertama di kelas adalah hal yang baru bagi Aditya. Bayangannya ke mana-mana. Memang benar kalau saja di luar sekolah, Aditya merasa bahwa dialah yang paling gagah sedunia. Namun jika di kelas, ia bagai rakyat jelata, yang takut dengan rajanya. Kelas ber-AC saja membuatnya gerah. Tekanan batin mulai lagi berdatangan menggerogoti tubuh kecil itu. Ah, apapun itu, akan kuteruskan. Perjuangan hidup ini memang masih diatur oleh senior. Tapi, aku yakin kalau saja aku menyerah, tidak mungkin bisa kulewati rincian perjalanan hidup yang telah ditentukan Tuhan untukku. Aditya kemudian pura-pura membuka buku pelajaran yang ia letakkan di depannya, meskipun tak ada niat untuk membaca.

Jika berdasar dari kabar yang beredar di luar sana, yang menjelaskan bahwa pendidikan sekolah pelayaran itu sungguh menakutkan–mungkin benar. Namun, saat ini, tidak bagi Aditya, tidaklah benar. Berada dalam lingkup sekolah pelayaran telah dijadikannya sebagai tantangan.

Junior yang selalu patuh dan taat kepada senior. Selama masih di jalan yang benar, maka dialah junior yang akan sukses. Ke mana pun dan di mana pun ia berada. Dia akan selalu bisa membawa diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam duduknya, Aditya kembali teringat akan pesan Pak Dimas, di malam penutupan pembasisan. Sejenak pilu menghiasi raut wajahnya. Teringat lagi dengan masa-masa pembasisan itu.

Aditya lantas membuang pandangannya ke jendela. Terlihat dedaunan bergoyang tenang terbuai angin. Kembali Aditya memperhatikan sekelilingnya. Taruna yang lain, duduk dengan tegap. Baju yang ketat, seakan membuatnya susah bernapas. Namun, tak ada yang berani berdesis. Suasana kelas, tenang. Efek dari pembasisan seminggu itu masih berdampak sampai sekarang. Taruna dan Taruni itu hanya bisa duduk termangu. Ya, meskipun sebagiannya ada yang membuka bukunya dan meletakkannya di meja. Namun, bisa terlihat langsung mereka sedang tidak membaca.

"Adit?" panggil Taruna yang duduk di sebelahnya, memecah keheningan.

Aditya tersenyum. "Iya."

"Tinggal di mana?"

"Di BTN Permai," jawab Aditya. "Eh, siapa lagi namamu?"

"Bima. Padahal kita sudah sama-sama sejak dua minggu yang lalu. Masakan baru tanya nama?"

"Iya, soalnya kemarin aku tegang terus menghadapi pelatihan." Aditya lalu tertawa kecil. "Kok kau bisa ingat namaku?"

"Oh, jelas dong, kau kan populer saat pelatihan. Apalagi saat pengumuman itu." Bima lalu tertawa.

Aditya pun ikut tertawa mengingat hari itu. Saat pembasisan Aditya memang selalu menjadi bahan bulian para senior. Itu karena umurnya yang jauh lebih tua dan tubuhnya masih kecil. Senior itu selalu memanggil Aditya dengan sebutan "ucok". Kata snior, Aditya hampir mirip dengan pemain filem di TV. "Eh, kamu tinggal di mana?"

"Kalau di sini di dekat Pelabuhan. Tapi kalau kampungku di Cmming."

"Camming yang ada pabrik gula itu, kan?"

"Iya, Camming mana lagi."

"Eh, kalau begitu kampung kita tidak beda jauh," kata Aditya penuh semangat sambil menutup buku bacaan yang ada di depannya. "Aku tinggal di Patimpeng."

"Ow...." Bima tersenyum penuh semangat. Rasa senang memenuhi kepalanya. Ia merasa memiliki teman sekampung yang rela berjauhan dari keluarga demi menempuh pendidikan pelaut di sekolah ini.

Dari arah pintu, Pak Dimas melangkah masuk seraya beseru, "Selamat Siang!"

"Siang!!!" Serentak taruna-taruni itu membalas dengan lantang.

Pak Dimas langsung duduk di kursi. Kelas kembali senyap. Tak lama kemudian, Pak Dimas mengeluarkan absen dari dalam tasnya. Ia lalu mengabsen taruna-taruni itu dengan teratur sesuai urutan. Setiap nama yang disebutnya langsung mengangkat tangan kiri dan menjawab "Siap"!

Didikan dari senior itu telah membuat taruna-taruni itu refleks mengangkat tangan kirinya. Begitulah aturan ketarunaan, katanya.

Selesai Pak Dimas mengabsen, ia kemudian memberikan materi perkapalan untuk pertama kalinya. Selain perwira batalion, ia juga sebagai instruktur P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut).

* * *

Aditya bersantai di teras sambil membaca buku. Begitulah kegiatannya setiap ia pulang dari sekolah. Ia selalu merefresh otaknya, demi mengimbangi kekakuan pikirannya yang telah lama tak mengenal materi pelajaran di sekolah.

Motor jupiter merah berhenti tepat di depan pintu pagar. Vijay tersenyum-senyum. "Rajin sekali."

Aditya hanya sedikit tertawa.

Vijay tetap duduk di atas motornya yang masih distandar satu. Tak lama kemudian Aditya menghampiri sahabatnya. "Bagaimana rasanya jadi anak pelayaran?" tanyanya meledek

"Bagus. Biasa aja. Malah banyak cewek yang naksir." Vijay tertawa kecil, ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sepanjang jalan. "Dit, rencananya aku mau mengontrak. Mau enggak kau tinggal bareng?"

"Udah dapat?"

"Belum sih. Tapi, tadi siang Dafah bilang ada rumah kontrakan yang dia tau. Mau enggak kau bantu aku. Soalnya kalau sendiri mahal."

Aditya terlihat berpikir panjang. "Tapi, apa kata tanteku?"

"Sama, Dit!" Vijay memotong. "Tanteku juga enggak mau aku pindah. Tapi enggak enak tinggal di rumah keluarga. Apalagi aku malas bangun pagi."

"Iya juga, sih." Aditya tersenyum membenarkan. Masuk sekolah jam satu membuatnya malas bangun pagi.

"Gimana? Mau engak? Kalau mau, ayo kita lihat!"

"Aku pikir-pikir dulu. Kapan mau ke sana?"

"Besok, pagi" jawab Vijay. "Kalau kau suka dan aku pun suka. Kita langsung pindah aja, ya."

Aditya masih berpikir. Tampak kebingungan di raut mukanya.

"Oke. Kita lihat besok."

* * *

Masih pagi sekali. Aditya baru saja bangun. Ia meregangkan otot ke kiri dan kanan di depan teras, ketika Vijay datang.

"Dit, ayo siap-siap!" panggil Vijay.

"Jay, ini masih pagi sekali!"

"Udahlah! Dafah bilang, kita harus pagi-pagi. Karena yang megang kunci rumah itu mau berangkat ke tempat kerjanya."

"Ya udah, aku ambil jaket dan helm dulu, ya."

Vijay menarik gas motornya dan melaju di jalan. Sedangkan Aditya tampak kedinginan di belakangnya.

"Mau terus ke sana?" tanya Aditya dari belakang sambil menahan dinginnya pagi.

"Tidak, kita ke rumah Dafah dulu."

Di belakang Aditya mangguk-mangguk kedinginan.

Sekitar lima belas menit motor itu melaju di jalan raya. Dengan santai Vijay membelokkan motornya di depan rumah bertingkat dua. Dari pintu Dafah melebarkan senyumnya.

"Eh, masuk dulu, Bro!" panggil Dafah. "Masih pagi sekali ini."

"Ayolah, entar tidak enak lagi sama orang itu," jelas Vijay yang masih di atas motornya. Sedangkan Aditya masih setia di belakangnya.

"Ya udah tunggu sebentar. Aku ambil helm dulu." Dafah melangkah masuk dengan buru-buru.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang