Tak lama, Rachel pun berdiri begitu sekretaris itu keluar. "Mbak, ini uangnya. Kata bapak kembaliannya mbak ambil aja. Terima kasih banyak."

Kening Rachel berkerut, "Wah, ini sisanya terlalu banyak, Mbak." Seru Rachel setelah menghitung jumlah uang yang diberikan. Rachel kemudian merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sejumlah uang sesuai kembalian yang semestinya dari dalam dompetnya. "Ini, Mbak. Maaf saya gak bisa ambil."

Terjadi adegan kecil antara Rachel dan sang sekretaris. Rachel yang keras kepala tidak mau menerima sisa kembalian, dan sekretaris juga tidak kalah keras kelapanya menolak uang kembalian dari Rachel. Hingga aksi dorong-dorongan terjadi dan secara tidak sengaja mereka berdua menerobos pintu besar ruangan presdir.

Brakkkk...

Suara pintu terbuka keras.

Indra penciuman Rachel dipenuhi aroma khas, ia mencium aroma pinus mint.  Sesaat Rachel menikmati aroma itu dengan matanya yang terpejam. Sungguh menenangkan pikiran bagi siapapun yang menciumnya. Rachel jamin, ia akan betah jika terkurung berlama-lama di ruangan itu.

"Maaf, Pak." Suara lirih bernada menyesal membuat Rachel sadar dari lamunannya. Ia shock sekarang posisinya berada di mana. Ia melihat sekretaris tadi membungkuk di depannya.

"Kau keluarlah, Tania." Suara bariton itu sangat tegas.

Tania?

'Ahhh, itu pasti nama sekretaris cantik ini,' --batin Rachel.

"T-Tapii, Pak." Bantah sekretaris takut.

"Tinggalkan kami berdua."

"Baiklah." Rachel dapat melihat sekretaris tadi membungkuk sekali lagi dan segera meninggalkan mereka.

"Ada perlu apa anda masuk ke ruangan saya?" Pertanyaan itu membuat Rachel mau tak mau harus membalikkan tubuhnya agar dapat berhadapan langsung pada sang pemilik suara.

Tebaklah, bagaimana perasaan Rachel saat ini? Malu campur takut jadi satu. Rachel menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap pemilik rumah sakit ini.

"Saya sedang bertanya kepada anda, Nona. Apakah anda tidak bisa berbicara?" Pertanyaan itu pelan namun menusuk hati Rachel. Serendah itukah orang kaya menilai karyawan kecil sepertinya?

Rachel menggertakkan gigi rahangnya, menaikkan pandangannya sedikit. Ia hanya berani melirik setinggi batas meja berwarna hitam yang jaraknya sekitar 7 meter di depannya. Gila. Setakut inikah dirinya? Nyalinya memang sangat kecil, jika dibandingkan dengan mulutnya yang terkadang susah ia saring.

Kini pandangannya terkunci pada satu titik. Pada papan nama yang terdapat di ujung meja tersebut. Demi apapun, mulutnya seakan susah sekali mengeja nama yang tertulis di papan kecil itu.

dr. Andrew Baraya, Sp.BS

*****

'Ya Tuhan, tolong kirimkan malaikat maut detik ini juga. Rasanya ingin mati saja,' --pinta Rachel dalam diam.

Sepasang mata elang itu masih terus saja menatap Rachel tajam, sedangkan Rachel terus saja menunduk tanpa ingin melihat siapa sosok yang kini terus membuat atmosfer di sekelilingnya terasa begitu mencengkam. Kini Rachel sangat meruntuki niat baiknya untuk mengembalikan sisa kelebihan pembayaran total tagihan tadi.

'Kenapa gue musti ngotot ngembaliin duitnya sich? Harusnya gue terima aja tadi, lumayan buat tambah-tambah beli koleksi baru,' runtuk Rachel. 'Mampus gue!! Kenapa gue gak inget kalau rumah sakit ini milik Rio sich? Arghhh... Mampus gue!!'

"Nona...?" Tegur Andrew. Mulutnya risih jika terus saja hanya diam, ia mengenali gadis di depannya itu. Ia masih ingat dengan wajah dan postur tubuhnya. Sosok yang secara tidak sadar membuat 'adik'-nya menegang.

Miss CangCut's (Terbit)Kde žijí příběhy. Začni objevovat