Part 31

1.7K 89 2
                                    

-
-
-
Enjoy my story, gaes!
-
-
°°°°°

Perlahan kubuka mata, mengerjap dan mulai menyesuaikan diri dengan cahaya yang walaupun tidak terlampau terang tapi cukup membuat mataku silau. Mataku mengedar mengelilingi tempatku  berada saat ini. Tempat ini agak familiar buatku. Tapi aku yakin betul ini bukan kamarku. Lalu, ini dimana?

Krek...

Pintu terbuka menampilkan seraut wajah wanita cantik yang sangat aku rindukan. Wanita yang paling berharga dalam hidupku. Ya, dua ibuku.
"Kau sudang bangun, Sayang?" sapanya lembut sambil mengusap kepalaku lembut.

"Kita ada dimana, Mah?" tanyaku bingung sambil mencoba bangkit dibantu oleh mamahku.

"Ini rumah kita. Rumah kita di Saklasvania." Mamah tersenyum sambil menyodorkan segelas minuman ke tanganku. "Minum dulu."

Aku meraih gelas itu dan menenggak cairannya sampai habis. Tunggu, cairan. "Ivery dimana dia?" tanyaku spontan dengan raut muka khawatir.

"Dia baik-baik saja, dia sudah sadar beberapa hari yang lalu." Mamah menimpali ucapanku dan aku tertegun. Beberapa hari? Sebenarnya berapa lama aku tak sadarkan diri?

"Mamah akan panggilkan dia untukmu, Sayang. Tunggu sebentar." Mamah bangkit dan berlalu menuju keluar kamar.

Kepalaku masih terasa pusing, jadi aku kembali merebahkan badanku dan memijit pelipisku pelan. Pikiranku mulai berkelana ke beberapa potongan kejadian yang aku alami, tidak, lebih tepatnya kami—aku dan Ivery—alami. Yang kuingat saat itu kami tengah menghadapi Melkor, Elwyn, dan ayahnya. Lalu aku meneteskan cairan di atas batu kehidupan. Setelah itu aku merasa pusing dan kemudian gelap.

Krek...

Pintu kembali terbuka menampilkan wajah rupawan Ivery yang entah kenapa terlihat lebih tampan dari biasanya. Matanya masih berwarna abu-abu canti sekali. Bibirnya menyunggingkan senyuman manis membuatku meleleh seketika. Hey, sejak kapan aku jadi selebay ini? Well, aku tak tahu dan tak ingin memikirkannya.

Ivery mendekat ke tempat tidurku dan menarikku ke dalam pelukannya yang hangat dan nyaman. Aroma tubuhnya, sangat familiar dan akan selalu menjadi aroma favoritku. Ia merenggangkan pelukan kami dan memangkup kedua pipiku dengan tatapan lembut.
"Kau sudah kembali, Sayang. Aku sangat senang sungguh." Oh ya Tuhan. Hentikan dia, dia terus menatapku hingga aku merasa lemas karena tatapannya yang begitu intens.

Aku berdehem dan mulai mengatur detak jantungku yang berdebar keras. "Berapa lama aku tak sadarkan diri?" Pertanyaan itu sudah menggangguku sejak tadi.

"Dua minggu lebih." Apa? Selama itu? Aku membelalakan mata karena kaget. Ini rekor terlama ketidaksadaranku selama hidupku.

"Selama itu? Tapi, karena apa?" tanyaku penasaran.

"Itu karena kita mengeluarkan terlalu banyak energi ketika kita bertarung melawan Paman Raxion dan Melkor serta Elwyn. Kau ingat?"

Aku menganggukkan kepalaku merespon ucapannya. "Lalu, bagaimana keadaan Saklasvania sekarang?" tanyaku antusias.

Ivery mengangkat tangannya dan mengelus pipiku sayang. "Semua sudah kembali seperti sedia kala."

"Lalu, yang menolong kita saat itu siapa?" Oke, sepertinya aku banyak bertanya hari ini. Tapi aku penasaran.

"Margaretha yang telah menolong kita."

°°°°°

Malam itu...

Setelah acara saling serang yang berakhir dengan Ivery dan Aislie sebagai pemenang juga akhir dari riwayat Paman Raxion, Melkor, dan juga Elwyn. Margareth yang tadinya sudah menjadi abu kini telah kembali ke wujud aslinya. Konon sihir dari Paman Raxion akan berlanjut hingga pemegang sihir itu melepaskannya atau mati.

Setelah lepas dari sihir itu, ia mendapati Ivery dan Aislie tergeletak dalam keadaan tak sadarkan diri di lantai istana. Di samping mereka sebuah batu dengan cahaya terang tampak tergeletak. Tanpa pikir panjang, Margareth membawa batu itu dan mengembalikannya ke tempatnya semula. Setelah beberapa lama, batu itu berputar teratur dan mulai menghidupkan kembali para penghuni Saklasvania yang sempat tak sadarkan diri.

Setelah itu, Margareth pun segera membawa Ivery dan Aislie menuju ke kamar masing-masing dan mengobati serta merawatnya dengan telaten.

°°°°°

"Kau tau Ivery, ada yang ganjal dari Margareth." Aku ragu sebenarnya mengatakan hal ini. Tapi tak dapat kupungkiri bahwa sejak malam itu pikiran itu terus menghantuiku.

"Hm? Apa itu?" tanya Ivery sambil memainkan ujung rambutku yang berantakan, menyisirnya dengan jari tangannya yang panjang.

"Malam itu, aku melihat Margareth memegang botol cairan yang merupakan penawar dari racun itu. Yang menjadi pikiranku, kenapa cairan itu ada padanya? Dan kenapa pula ayah Elwyn menyebutnya penghianat?" cerocosku panjang lebar yang ditanggapi dengan tatapan perhatian dari Ivery. Oh my God, aku akan meleleh jika ia terus menerus menatapku seperti itu. Hentikan dia kumohon. Tapi sepertinya ia suka melakukan itu.
"Jangan menatapku seperti itu, jawab saja pertanyaanku tadi." Aku mengalihkan pandangan dan sedikit menghindar agar tidak bersitatap dengannya.

Ia tersenyum lembut.
"Baiklah aku akan jawab. Margareth sudah menceritakannya padaku. Jadi dia selama ini ternyata—lebih tepatnya dipaksa—memihak para penghianat itu. Itulah alasan kenapa cairan itu bisa ada di tangannya."

"Apa? Margareth pengkhianat? Tapi aku tak pernah melihatnya melakukan sesuatu yang membuat Saklasvania terancam atau semacamnya."

"Dia hanya ditugaskan untuk memata-matai kegiatan para Valar dan petinggi Saklasvania agar para pengkhianat itu tau kapan waktu yang tepat bagi mereka untuk menyerang. Tapi dia sudah minta maaf dan sudah berjanji akan setia pada Saklasvania."

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya. Sebelah tangan Ivery terangkat dan menarik wajahku agar menghadap ke arahnya. Mataku terkunci dalam tatapan matanya yang tajam.

"Seminggu lagi, kita akan menikah, dan kau akan resmi menjadi milikku, Aislie." Aku berjengit kaget mendengar ucapan Ivery barusan. Apa katanya? Menikah? Seminggu lagi? Yang benar saja. Aku belum siap.

"Kenapa?" tanya Ivery heran melihat perubahan mimik wajahku.

"K-kau serius?" Aku gugup sekarang. Ya Tuhan, tanganku berkeringat dingin. Hingga sebuah usapan jari tangan membuat pipiku menghangat menikmati sentuhannya.

"Tentu saja aku serius. Apa kau tak ingin menikah denganku? Kau tahu? Aku bahkan sudah menantikan saat ini sejak dulu. Kau tak tahu rasanya menunggu begitu lama." Hei, Kenapa dia mendadak sedih. Tentu saja aku mau, hanya saja ini terasa terlalu cepat bagiku.

Tanpa sadar, aku menarik bahunya lembut dan menariknya dalam pelukanku. Ia tersenyum dan balas memelukku dengan erat. "Jadi, kau bersedia menikah denganku minggu depan?" tanyanya di sela pelukan kami. Aku menganggukkan kepala dalam dekapannya yang hangat. Ia makin mempererat pelukannya di tubuhku hingga rasanya aku sulit bernapas.

"Ivery, napasku sesak," ucapku lirih. Dengan satu sentakkan Ivery melepaskan pelukannya dan menatapku dalam.

"Maaf, aku kira aku terlalu senang mendengar persetujunmu untuk menikah denganku." Oh Tuhan. Lihatlah, wajahnya memerah manis sekali.

"Kau blushing, eh?" godaku.

"Eh? Ti-tidak." Waw, dia gugup, benar-benar manis. Aku suka membuat dia gugup seperti ini.

"Hahahaha...." tawaku terlepas membuat Ivery heran. Tapi dalam hitungan detik dia mengerti dan menarikku dalam pelukannha yang hangat dan nyaman, lagi.





Yeay, selesai.
Gimana? Gaje yah? Maaf.

Ada yang setuju kalau aku bikin sekuelnya? Mungkin ada yang mau request sekuel menceritakan tentang siapa? *ngarep banget, Neng. Gak juga sih.

Ah pokoknya makasih buat semua yang udah baca,vote  dan komen di cerita super gaje ini. Semoga gak kapok baca ceritaku yang lain.*apasih.

Jangan lupa vomentnya di bawah.
See you all.

Bye
Aislie dan Ivery.

Boyfriend Fairy Guardian [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang