23. Believe?

4.5K 554 97
                                    

Indahnya hari itu tak lantas membuat Jennie ingin bangun dari tempat tidurnya. Matanya masih berat tatkala jam weker kecil berbunyi nyaring dari kamar sebelah. Kamar Lisa. Gadis itu sungguh tak ingin beranjak dari tempat paling nyamannya saat ini. Terlebih hanya untuk mengurusi sebuah weker sialan.

Pikirannya masih menerawang kalimat Jisoo. Menyingkronkan antara hati dan pikiran yang kalut saat ini. Mungkin jika Jisoo bukanlah saudari sedarahnya, dia takkan sampai sepeka itu untuk menyadari apa masalahnya. Atau mungkin hanya Lisa saja yang tukang mengadu.

Entahlah. Jennie sendiri tak tau. Wajahnya dia tutupi dengan bantal.


"LALISA!"

Jam weker sialan itu menambah kepenatan dalam kepalanya. Sungguh, tidak ada kah yang berniat untuk membangunkan gadis kebo itu? Akan sangat menyesal jika harus Jennie yang turun tangan.

Terserahlah. Jennie juga sudah muak dengan suara weker itu. Dia memutuskan untuk turun dari ranjang. Menyibakkan selimutnya dengan kasar dan memakai sendal tidur berboneka Mickey Mouse.

"Oh, kau belum berangkat ternyata."

Jennie hampir terlonjak sendiri mendapati ibunya berdiri membawa nampan sarapan di hadapan pintu kamarnya. Wanita itu tampak sudah rapi--atau lebih rapi dari biasanya--dengan rambut yang digulung ke atas. Menyisakan kesan anggun saat Jennie menatapnya. Tak seperti hari biasa.

Biasanya Jessica hanya akan menggerai rambut panjangnya atau mengikat kuncir kuda. Tetapi kali ini Jessica jadi tampak lebih cantik lagi.

"Mau bicara denganku?" tanya sang Ibu.

Jennie gugup dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pasti setelah ini dia akan di marahi habis-habisan karena Lisa entah bahkan Jisoo ataupun Rose yang mengadu pada Ibu. Meskipun Jennie sendiri tidak mengerti akan ekspresi gamang yang Jessica tunjukkan.

"Boleh aku masuk?" desaknya, seolah tak ingin berlama-lama menunggu jawaban dari anaknya.

Jam weker Lisa sudah berhenti entah sejak kapan. Saat Jennie menyadari dengan sama dia mengangguk dan mengikuti Jessica yang duduk di sebuah kursi di kamarnya, suara memekakkan telinga itu tak lagi di dengarnya.

Jessica tersenyum ketika tanpa sengaja menemukan sebuah coretan kata-kata dengan judul Rapp Jennie di atas meja belajarnya. Tak berlangsung lama, setelah menyimpan nampan berisi sarapan, pusat mata Jessica kini pada Jennie seorang. Tatapan itu tampak mengintimidasi, fokus pada Jennie, dan tak berpaling, membuat Jennie menelan ludah dengan susah payah. Meskipun Jennie yang paling pembangkang akan tetapi melihat sang Ibu memberikan tatapan seperti itu membuat Jennie gugup. Untungnya Jennie sanggup menyembunyikan perasaannya.

"Pagi ini mari kita mulai dengan kejujuran. Well, meskipun aku tak cukup baik untuk memainkannya. Bolehkah?"

Jennie bingung. "Ya. Terserah saja."

Jessica tersenyum, teramat samar bahkan Jennie tak menyadarinya. "Aku akan bertanya padamu. Kalau bisa, jawablah dengan jujur."

Jennie tidak menjawab, membuat Jessica langsung meluncur pada pertanyaan pertama.

"Apa kau sedang mempunyai masalah?"

Jennie mengangkat bahu. "Aku tidak yakin."

Dan jawab itu dianggap sebagai ya oleh Jessica.

"Berhubungan denganku?"

Jennie terdiam. Rahangnya mengeras tatkala Jessica mengatakan pertanyaan itu. Napasnya tercekat begitu saja. Tepat sasaran.

"Baiklah tak usah tegang, kau santai saja." Jessica mencoba menenangkan Jennie. Meskipun dia sendiri sedang dalam keadaan tidak tenang.

"Apa kau teramat marah padaku? Hingga saat ini?"

Good MOM ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt