Part 23 | Malaikat Kecil

295K 11.1K 338
                                    

Ben merogoh ponselnya yang berdering di dalam saku jasnya. Dia mengernyitkan kening, menatap deretan nomor asing yang menghubunginya. Nomor Indonesia? Siapa? Dengan penasaran Ben menggeser tombol hijau dan membawa ponselnya ke telinga.

"Aku hanya ingin memberitahukan, jika Nata sekarang berada di rumah sakit Pelita Bangsa."

Seketika Ben bangkit dari duduknya, "Siapa kau?" baru saja Ben mengajukan pertanyaan, sang penelpon sudah menutup panggilannya.

Ben mengernyit siapa yang baru saja menelponnya? Dia merasa tidak pernah mengenal suara lelaki itu? Tapi apa yang lelaki itu katakan, Nata berada di rumah sakit?

Ben kembali menekan tombol di ponselnya, "Siapkan jet pribadiku. Aku akan kembali ke Indonesia sekarang juga," ucap Ben pada seseorang dari seberang, lalu kembali mematikan ponselnya. Dia harus segera melihat bagaimana keadaan Nata.

***

Ben berlari menyusuri rumah sakit, setelah menanyakan nomor kamar Nata di bagian resepsionis. Matanya terpaku, itu dia. Ben kembali berlari kearah kamar 201, tempat dimana Nata dirawat.

Ben memutar knop pintu, namun gerakannya terhenti saat mendengar percakapan dari dalam. Lebih tepatnya pernyataan cinta. Ben dapat melihat dengan jelas dua sejoli yang tengah tersenyum bahagia dari celah pintu yang sempat terbuka sedikit. Dia kembali menutup pintu itu, lalu menyandarkan tubuhnya yang lunglai di dinding samping pintu.

Dia mendongakkan kepalanya dengan helaan napas yang berat. Rasanya begitu menyakitkan mendengar wanita yang dicintainya mencintai orang lain, bahkan dia mendengarnya sendiri kata-kata itu keluar dari mulut Nata bahkan dengan wajah yang begitu bahagia.

Sungguh, dia tidak tau harus ikut merasa bahagia atau tidak. Bukankah dari awal dia hanya ingin Nata mendapat kebahagiaannya? Tapi ada rasa nyeri di hatinya yang berteriak tidak setuju. Bagaimana pun dia akan lebih bahagia jika kebahagiaan Nata ada bersamanya, bukan dengan orang lain.

Ben mengusap wajahnya kasar dengan helaan napas panjang. Dia kembali menolehkan kepalanya ke pintu kamar rawat Nata, lalu memejamkan matanya sejenak. Tidak! Dia tidak boleh egois dengan kebahagiaannya, bukankah dulu dia yang meninggalkan Nata? Salahnya tidak memperjuangkan cintanya.

Ben melangkahkan kakinya dengan lesu menjauhi kamar itu. Sudah saatnya wanita itu merasakan kebahagiaannya, jadi tidak seharusnya Ben merusak apa yang sudah Nata dapatkan. Dia hanya bisa berharap yang terbaik untuk wanita itu. Apapun yang bisa membuat wanita itu tetap merasakan kebahagiaannya.

***

Nata menatap bayi mungil mereka yang ada di sebelahnya. Tertidur dengan pulas di lengan tangannya, rasanya benar-benar membahagiakan. Seakan semua kesakitan, semua kecemasan, ketakutan, yang dia rasakan selama ini lenyap begitu saja.

Pangeran kecil mereka terlihat begitu tampan dengan baju rajut warna biru. Sesuai kesepakatan mereka dulu, maka baju buatan Ednan lah yang menjadi baju pertama pangeran kecilnya. Senyum kebahagiaan tak lepas dari bibir Nata, menatap betapa menakjubkannya kado yang Tuhan berikan untuknya.

Rasanya semua kesabarannya selama ini terbayar sudah. Kado Tuhan yang selama ini dia nantikan benar-benar sudah dia dapatkan, begitu indah. Luar biasa.

"Apa kau hanya akan terus menatapnya?"

Nata mengalihkan matanya, menatap Ednan yang terlihat cemburu di sebelahnya. Nata tersenyum geli, "Lihatlah mas. Dia terlihat begitu tampan dan menggemaskan."

"Oh ayolah sayang... Papanya pun tidak kalah tampan bukan?"  ucap Ednan menyombongkan diri.

Sejurus kemudian tawa kecil Nata berderai, "Kau menertawakanku? Apa kau ingin bilang aku tidak cukup tampan?" Ednan membuat ekspresi marahnya, lalu dia berdecak mencemooh, "Bukankah karena ketampananku kau jatuh cinta padaku?" lanjut Ednan dengan kerlingan matanya.

Because Our Baby ✔Where stories live. Discover now