09. Hadangan Keluarga Ibu Tiri

917 21 0
                                    

"Baik, Enci. Aku berjanji."

"Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan."

"Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku. Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong......"

"Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan......!"

"Huss!" Siang Lan memotong. "Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li Ai?"

"Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?"

"Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok. Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong Han Cu. Ah, jadi mereka sudah menikah?" Siang Lan termenung, merasa betapa hatinya hampa dan kering. "Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?"

"Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya itu. Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci, karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai. Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan pernikahan mereka."

Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu. Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.

"Engkau kenapa, Enci?" Li Ai bertanya melihat perubahan muka pendekar wanita itu.

"Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya aku tidak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Aku merasa malu dan bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku."

"Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?"

"Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah. Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang baru saja kudapatkan."

"Di mana itu, Enci?"

"Di Lembah Selaksa Bunga."

"Ah, alangkah indah nama itu."

"Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok (Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga)."

"Perkumpulan wanita, Enci? Anggautanya semua wanita?"

"Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat."

Serial Iblis & Bidadari - ASKPHWhere stories live. Discover now