KING JEONGSAN

10.2K 1K 85
                                    

Aku sendirian di rumah.

Suami dan anak-anakku sedang ke luar, entah ke mana. Jungkook bilang, dia baru saja menerima sedikit bonus atas pekerjaannya. Jadi, kemungkinan dia mengajak anak-anak pergi ke taman bermain, lalu makan siang, dan ya ..., mungkin membelikan Taya dan Jeongsan beberapa mainan baru. Mereka sudah meninggalkanku sejak pukul sepuluh pagi. Sekarang sudah pukul dua siang. Kuharap mereka ingat jalan pulang.

Aku sedang melayani seorang pelanggan toko online dari butik milik kakakku. Ya, aku memiliki kuasa penuh atas toko online "Ahra Boutique". Selain membantu agar penjualan di butik kakakku lebih banyak, aku juga ingin punya penghasilan sendiri. Bukannya uang yang diberikan Jungkook padaku tidak cukup, tapi ..., ya, kurasa akan lebih nyaman jika menggunakan uangku sendiri untuk membeli kebutuhan pribadi. Baru saja aku mengirimkan nomor rekening kepada pelanggan ketika indraku mendengar deru mesin mobil.

Ah, itu pasti suami dan anak-anakku.

"EOMMA! EOMMA!!!" Taya-ku berteriak. Teriakan yang terdengar panik.

Aku lekas beranjak dari sofa ruang tengah, bergerak membukakan pintu untuk tiga orang kesayanganku di depan rumah. Seiring berjalan menuju pintu depan, aku masih mendengar teriakan Taya. Putriku sangat panik di luar.

Aku menarik daun pintu. "Ada apa? Kenapa Taya berteriak seperti itu?" tanyaku setelah kubuka pintu.

"Adik Jeongsan, Eomma."

Jeongsan?

Aku mengalihkan pandanganku dari Taya. Tepat di saat itu, kudapati suamiku menghampiriku dengan Jeongsan yang berada di dalam gendongannya. Bukan hanya sekadar digendong, tapi kulihat wajah Jeongsan-ku basah. Dia menangis entah karena—Ya Tuhan.

Panik, aku menghampiri suamiku.

"Astaga, Jeon-a, apa yang terjadi pada Jeongsan? Kenapa lututnya berdarah?"

"Eomma ... huhuhu ... Eomma ...." Aku mengambil Jeongsan dari pelukan ayahnya. "Sakit, Eomma ... huhu. Kaki Jeongsan sakit ... huhuhu." Hatiku rasanya pilu sekali mendengar tangis kesakitan putraku.

"Iya ... ssh ... Jeongsan jangan nangis, ya, Sayang. Jangan nangis. Eomma obati, oke?"

Sembari mendengar penjelasan ayah dan kakak perempuannya, aku mengobati luka yang menghias lutut kiri Jeongsan di ruang tengah. Ayah dan kakaknya bercerita bahwa Jeongsan terjatuh saat mereka bermain di taman. Entah bagaimana kejadian tepatnya, Taya juga tidak melihat, tahu-tahu ia mendengar adiknya berteriak memanggil ayahnya. Begitu Taya menghampiri, Jeongsan sedang menangis dengan lutut yang berdarah.

"Sepertinya Jeongsan jatuh saat bermain kejar-kejaran dengan anak-anak lain, Eomma." Taya mengakhiri ceritanya.

"Ya, sepertinya jatuh di atas paving block," Jungkook menambahkan.

Dari lukanya, sih, memang Jeongsan jatuh di tempat yang keras. Bisa jadi memang dia terjatuh di atas paving block yang membentuk jalur untuk jalan-jalan di taman. Sebenarnya, aku ingin mendengar cerita dari Jeongsan, tetapi sejak tadi dia hanya bisa mengaduh kesakitan.

Sebagai ibunya, aku benar-benar tidak tega melihatnya kesakitan.

***

"Eomma, Jeongsan mau biskuit yang ada di kulkas."

"Appa, Jeongsan mau main game di tab Appa."

"Nuna, Jeongsan mau nonton langel."

"Eomma ...."

"Appa ...."

"Nuna ...."

Karena lututnya terluka, Jeongsan tidak bisa melakukan apa-apa sendirian. Sejak bangun dari tidur siang hingga malam, aku, Jungkook, dan Taya menjadi pelayan dadakan Jeongsan. Karena luka di lututnya, Jeongsan menjadi raja di rumah ini. Segala permintaannya tidak ada satu pun yang tidak terpenuhi. Bahkan, Taya yang biasanya bawel, tumben hari ini tidak berkomentar apa-apa. Begitu kutanya kenapa, jawabannya membuatku merasa bangga melahirkan dia sebagai anak pertama.

"Karena Taya tidak membantu Appa menjaga adik Jeongsan dengan baik. Jadi, agar Taya tidak merasa bersalah lagi, Taya akan membantu adik Jeongsan mengambil ini-itu selama dia sakit."

Duh. Kakak yang bertanggung jawab, bukan?

Aku bersyukur, sejauh ini permintaan Jeongsan terhadap kami tidak pernah aneh-aneh. Hanya minta diambilkan biskuit atau wafer di kulkas, minta dinyalakan televisi, minta disuap, minta dibuatkan susu, sampai minta agar lukanya dikipas—dia suka jika lukanya terasa sejuk.

Yang menyebalkan justru ayahnya.

"Enak, ya, kalau sakit kayak Jeongsan. Bisa minta ini-itu tanpa ditolak."

Bertiga dengan Jeongsan, saat ini kami berbaring di atas kasur, bersiap untuk tidur. Mendengar pernyataan bodoh yang diucapkan oleh seorang pria beranak dua itu, sontak membuatku menyikut rusuknya yang berada di belakangku. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, posisi kami di tempat tidur malam ini berbeda. Biasanya, Jeongsan yang berada di tengah, sekarang aku yang berada di tengah. Jeongsan tidak suka lukanya ditutupi selimut, perih, katanya.

"Kau berharap dirimu sakit? Kau ini sudah gila, ya?" desisku sambil mengipas-ngipas luka di lutut Jeongsan.

"Bukan begitu, aku hanya berpikir, saat sakit, orang-orang rumah jadi memperlakukan kita seperti raja. Liat saja Jeongsan, semua keinginannya terpenuhi."

"Itu karena permintaannya tidak aneh dan tidak susah, makanya dituruti. Coba kalau kau? Waktu demam dulu saja kau minta yang aah—ya, tanganmu! Ish!" Aku berhenti mengipas Jeongsan untuk memukul tangan ayahnya.

"Apa? Ada apa dengan tanganku?" Jungkook malah bertanya dengan nada bercanda seolah barusan dia memang sengaja ingin membuatku ... ehm, mendesah.

"Tanganmu bertingkah macam-macam. Jeongsan belum sepenuhnya tidur, kau tahu!" tegurku lagi, lalu lanjut mengipasi luka di lutut Jeongsan. Sementara itu, sang pemilik luka pelan-pelan merapatkan kelopak matanya. Ah, aku tidak tahu apakah dia mendengar suaraku beberapa saat lalu atau tidak.

"Jadi, kalau Jeongsan sudah benar-benar tidur," tanya Jungkook, "tanganku bisa macam-macam, dong?"

Aku menyikut rusuknya lagi.

Lebih keras.

Sampai dia mengaduh kesakitan.

"Jangan harap!"

-the end-

Pendek, ya? Heheh sori.

JEON FAMILY STORIES SEASON 2 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang