126. Badik Sumpah Darah

6.3K 92 3
                                    

KADIPATEN Temanggung masih dalam suasana berkabung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KADIPATEN Temanggung masih dalam suasana berkabung. Dua minggu lalu Adipati Jalapergola berpulang meninggal dunia setelah mengalami sakit selama hampir satu bulan, meninggalkan Nyi Larasati, seorang istri yang cantik dan masih muda. Umbul-umbul hitam tanda perkabungan kelihatan di mana-mana, terutama sepanjang jalan menuju gedung Kadipaten.

Hari itu menjelang sang surya tenggelam, lima penunggang kuda meninggalkan Temanggung, memacu tunggangan mereka ke arah timur di mana terletak kawasan rimba belantara Kulonprogo. 

Empat dari lima penunggang kuda itu berseragam perajurit Kadipaten. Orang ke lima seorang tua berpakaian putih sederhana. Di bawah blangkon yang bertengger di kepalanya menjulai rambut panjang berwarna putih. Misai serta janggutnya juga telah memutih. Orang tua ini adalah KI Sarwo Ladoyo, yang telah mengabdikan diri pada Dua Adipati sebagai sesepuh penasihat Kadipaten Temanggung.

Setelah beberapa lama menyusuri pinggiran Hutan Kulonprogo, di satu tempat rombongan lima orang itu membelok ke kiri, masuk ke dalam hutan. Bergerak sejauh belasan tombak, prajurit di sebelah depan yang bertindak sebagai penunjuk jalan mengangkat tangan kiri memberi tanda lalu hentikan kudanya. Begitu kuda berhenti, perajurit ini ganti angkat tangan kanan, menunjuk ke atas pohon besar beberapa tombak di depan rombongan. Lima kepala sama mendongak. 

Di atas pohon, pada cabang paling rendah tergantung sosok seorang lelaki muda, berpakaian bagus. Dua matanya terkatup sementara lidah agak terjulur. Melihat keadaan muka dan tubuhnya yang sudah membengkak, ditambah bau busuk yang menebar, paling tidak sosok orang itu sudah tergantung lebih dari satu hari.

"Gusti Allah," Ki Sarwo Ladoyo mengucap.

"Kalau tidak melihat sendiri sulit aku bisa percaya. Prameswara, cucu Pangeran Alit, mati menggantung diri."

Sesaat setelah memperhatikan tubuh yang tergantung itu, Ki Sarwo Ladoyo turun dari kudanya. Dia memeriksa keadaan sekitar pohon. Setelah merasa cukup dia memberi perintah pada empat perajurit.

"Kalian turunkan jenazah itu. Minta bantuan Penduduk desa terdekat. Cari gerobak atau apa saja untuk mengangkutnya. Bawa langsung ke Kotaraja. Aku mendahului kembali ke Temanggung. Kita bertemu di Kotaraja, di tempat kediaman pangeran Alit."

DARI hutan Kulonprogo Ki Sarwo Ladoyo tidak langsung ke Kotaraja tapi mampir dulu di Temanggung, menemui Nyi Larasati.

"Nyi Lara, saya datang memberi tahu. Raden prameswara, cucu Pangeran Alit ditemui mati menggantung diri dalam hutan Kulonprogo."

Wajah cantik Nyi Larasati yang masih diselimuti kedukaan sama sekali tidak berubah. Dia menatap orang tua di hadapannya itu dengan pandangan kosong. Ki Sarwo segera berucap. "Maafkan saya Nyi. Saya tahu Nyi Lara masih dalam keadaan berkabung. Tidak ingin diganggu dengan segala kejadian seperti ini. Namun jika saya hubungkan kematian Raden Prameswara dengan kematian Raden Tambak Suryo satu minggu yang lalu, saya merasa ada sesuatu di balik kematian kedua orang pemuda gagah itu."

Nyi Larasati masih menatap kosong, namun mulutnya terbuka. "Ada sesuatu di balik kematian dua orang pemuda itu. Sesuatu apakah gerangan Ki Sarwo?"

"Hanya beberapa hari setelah Adipati Jalapergola berpulang, kedua orang itu pernah mengirimkan utusan untuk melamar Nyi Lara...." Nyi Larasati mengangguk perlahan. "ltu benar. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang tidak tahu adab dan sopan santun. Tanah makam Adipati masih merah, mereka sudah berani menyampaikan pinangan. Sungguh keterlaluan...."

"Nyi Lara, apakah Nyi Lara tidak merasa heran? Dua orang yang pernah meminang Nyi Lara sama-sama menemui kematian. Raden Tambak Suryo mati lebih dulu. Mayatnya ditemukan dekat jurang Bangil dengan kepala hampir terbelah. Tersiar kabar bahwa pemuda itu jadi korban keganasan perampok yang memang sering malang melintang di sekitar jurang Bangil. Namun, ketika mayatnya ditemukan kalung emas besar masih tergantung di lehernya. Tiga buah cincin emas berbatu permata mahal masih ada di jari-jari tangannya. Lalu satu kantong kecil berisi uang juga tak tersentuh dari sabuk besar yang melilit di pinggangnya. Jika memang dia mati dibunuh perampok mengapa semua harta perhiasan dan uang itu tidak dijarah?"

"Ki Sarwo, apa yang barusan Ki Sarwo katakan itu memang merupakan suatu keanehan. Lalu apakah keanehan juga terjadi dengan kematian Raden Prameswara?" Bertanya Nyi Larasati.

"Waktu saya memeriksa sekitar pohon tempat tergantungnya Raden Prameswara, saya melihat beberapa hal. Di tanah sekitar pohon terdapat banyak jejak ladam kuda. Lebih dari hanya seekor kuda. Paling tidak ada tiga ekor kuda berada di tempat itu sebelutnnya. Berarti ada orang lain selain Raden Prameswara. Lalu cabang pohon tempat cucu Pangeran Alit itu tergantung, cukup tinggi. Saya tidak yakin ada orang yang mau bersusah payah mencari kematian dirinya sendiri. Selain itu setiap orang yang putus asa dan melakukan bunuh diri pasti ada sebab musababnya. Saya tidak bisa percaya kalau Raden Prameswara bunuh diri karena kecewa berat pinangannya ditolak oleh Nyi Lara."

"Menurut Ki Sarwo ada sesuatu di balik kematian ke dua orang itu, apakah Ki Sarwo sudah mengetahui apa sesuatu itu?"

"Saya punya dugaan, ke dua pemuda itu sengaja dibunuh. Mungkin oleh orang yang sama...."

"Kalau memang demikian, hal itu perlu diselidiki. Perlu pembuktian. Atau mungkin Ki Sarwo sudah bisa menduga siapa orangnya?" tanya Nyi Larasati pula.

"Saya belum mengetahui siapa orangnya Nyi. Tapi saya kira-kira bisa menduga si pembunuh tidak suka ke dua orang itu meminang Nyi Lara. Dengan kata lain si pembunuh tidak sudi Nyi Lara kawin dengan dua pemuda itu." Setelah berdiam diri beberapa lamanya Nyi Lara akhirnya berkata. "Ki Sarwo, saya masih letih. Saya ingin istirahat dulu. Saya harap Ki Sarwo mau menyelidiki kematian ke dua pemuda itu, jika memang ada apa-apanya."

"Akan saya lakukan Nyi," jawab Ki Sarwo Ladoyo seraya bangkit berdiri. Pada saat itulah seorang pengawal Kadipaten masuk, memberi tahu ada tamu ingin menemui Nyi Larasati.

"Siapa orangnya?" bertanya Ki Sarwo Ladoyo.

"Adipati Jatilegowo dari Salatiga," menerangkan pengawal. Ki Sarwo Ladoyo berpaling pada Nyi Larasati.

"Ada keperluan apa Adipati Salatiga itu berkunjung ke mari? Bukankah tempo hari dia telah datang untuk menyampaikan rasa duka citanya?" Nyi Larasati tidak bisa menjawab.

"Apakah Nyi Lara bersedia menemuinya?" tanya Ki Sarwo.

"Saya sangat letih. Ingin istirahat. Tapi jika tamu datang dari jauh tidak dilayani, kawatir yang bersangkutan salah penafsiran. Asal tidak terlalu lama, saya tidak keberatan menerimanya."

Ki Sarwo mengangguk lalu memberi isyarat pada pengawal. Tak lama kemudian pengawal itu kembali masuk ke ruangan mengiringi seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berwajah gagah tapi garang. Kumis tebal melintang kelihatan berkilat karena selalu dipoles dengan minyak kayu wangi. Walau dia seorang Adipati namun dia tidak mengenakan pakaian kebesaran Adipati. Pakaiannya kain tebal berwarna biru gelap dihias sulaman burung garuda berwarna kuning di dada kiri. Di keningnya melintang secarik ikat kepala kain merah. Di lehernya tergantung seuntai kalung emas besar berbentuk rantai. Sebuah gelang emas juga berbentuk rantai menghias lengan kirinya. Rambutnya yang panjang tebal menjulai sampai ke kuduk. lnilah Jatilegowo, Adipati Salatiga yang sering dikatakan sebagai Adipati Urakan.

Sebagai tuan rumah yang baik Ki Sarwo Ladoyo segera memberi hormat dan menegur tamunya. Adipati Jatilegowo membalas penghormatan itu tapi bukan ditujukan pada si orang tua melainkan langsung pada Nyi Larasati, bahkan memandang ke arah Ki Sarwopun Adipati itu tidak. lni membuat si orang tua menjadi tersinggung. kentara dari perubahan wajahnya.

"Saya Jatilegowo, menyampaikan salam hormat rakyat Salatiga. Kami, sebagaimana penduduk di sini masih ikut berkabung atas berpulangnya Adipati Jalapergola," berucap lelaki tinggi besar itu sambil matanya secara kurang ajar menatap wajah cantik jelita Nyi Larasati.

"Terima kasih. Adipati dan rakyat Salatiga telah memberikan perhatian begitu besar," menyahuti Nyi Larasati. "Kalau saya boleh tahu, ada keperluan apakah Adipati mengunjungi kami di sini?"

"Ada sesuatu yang hendak saya sampaikan." Jawab Adipati Salatiga.

"Oo, silahkan. Apa yang hendak Adipati sampaikan?" ujar Nyi Larasati.

"Kalau boleh, saya hanya mau bicara empat mata dengan Nyi Lara." . Janda Adipati Temanggung itu agak tercengang mendengar ucapan tamunya. Sebaliknya Ki Sarwo Ladoyo kembali tersinggung karena dirinya lagi-lagi dianggap sepi. Orang hanya mau bicara kalau dia tidak ada di tempat itu.

"Adipati," kata Nyi Larasati pula. "Ki Sarwo Ladoyo telah puluhan tahun mengabdi di Kadipaten Temanggung. Saya menganggapnya sebagai ayah sendiri. Tak ada rahasia yang perlu disembunvikan. Adipati tidak perlu meragukan kepercayaan atas dirinya."

"Bagi saya ini bukan menyangkut kepercayaan. Jika saat ini Nyi Lara tidak berkenan bicara empat mata dengan saya, saya sanggup menunggu. Lain waktu saya akan kembali ke sini." Nyi Lara memandang pada Ki Sarwo. Yang dipandang tetap berdiri tenang. Janda Adipati Jalapergola itu kemudian berpaling pada tamunya. Dia sudah banyak mendengar sifat Adipati yang disebut Adipati Urakan ini. "Saat ini saya kurang enak badan. Jika Adipati tidak bersedia bicara tidak jadi apa. Tapi saya tidak menjanjikan apakah nanti saya masih punya kesempatan untuk menemui Adipati." Ki Sarwo Ladoyo menyambungi ucapan Nyi Larasati. "Nyi Lara, sebaiknya mari saya antar masuk ke dalam. Saya tidak ingin dalam masa berkabung ini Nyi Lara sampai jatuh sakit pula ...."

Merasa terpojok, Adipati Salatiga itu menjadi geram. Rahangnya menggembung, pelipisnya bergerak-gerak. "Sebagai tamu memang seharusnya saya menghormati kemauan tuan rumah. Baiklah, tak jadi apa saya bicara di hadapan Ki Sarwo. Mungkin ada baiknya ada pihak ke tiga yang mendengar dan menyaksikan pembicaraan ini. Nyi Lara, saya datang untuk memberi tahu bahwa saya ingin meminang Nyi Lara. Karena ini permintaan baik, saya harap Nyi Lara tidak menolak. Sesuatu yang baik seyogiyanya dilaksanakan secepat mungkin."

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang