115. Rahasia Perkawinan Wiro

4.9K 83 6
                                    

SATUKUDA raksasa berkaki enam itu berlari kencang di bawah siraman sang surya yang tengah menggelincir menuju ufuk tenggelamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU

KUDA raksasa berkaki enam itu berlari kencang di bawah siraman sang surya yang tengah menggelincir menuju ufuk tenggelamnya. Bulunya yang hitam pekat seolah menebar pantulan kekuning-kuningan. Di atas punggungnya dua sosok manusia tergantung dalam dua buah jala. ltulah sosok Lakasipo dan Luhsantini yang terjebak tak berdava di dalam jaring api biru akibat perbuatan jahat Hantu Bara Kaliatus. Orang ke tiga di atas kuda raksasa itu adalah seorang kakek yang berdiri di punggung kuda dengan dua tangan di sebelah bawah dan dua kaki di sebelah atas. Rambut, janggut dan kumis putihnya melambai-lambai disapu angin. Walau kuda hitam bernama Laekakienam berlari secepat setan menyambar namun di atas punggungnya si kakek tampak tegak tenang tanpa bergeming sedikitpun. Sudah dapat diduga kakek ini bukan lain adalah Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.

"Huuii ... !" Kakek di atas kuda berseru panjang.

"Kuda hitam gagah perkasa, kita berhenti dulu di sini! Aku perlu bicara dengan dua insan di dalam jaring!"

Habis berkata begitu sosok si kakek melesat ke udara. Dua tangannya menyambar cabang satu pohon besar. Sesaat tubuhnya berputar sebat dua kali dicabang pohon itu lalu melayang turun, menjejakkan dua tangannya yang dijadikan kaki di tanah tanpa keluarkan suara sedikitpun. Kuda hitam yang memiliki dua tanduk di atas kepala-nya meringkik keras lalu hentikan larinya. Debu be-terbangan di belakangnya. Setelah meringkik sekali lagi binatang ini lalu melangkah mendekati si kakek dan menjilat-jilat kaki orang tua itu dengan ujung lidahnya.

"Kuda hebat! Aku berterima kasih padamu! Seumur hidup baru kali ini aku menunggang kuda. Aku serasa mau kencing menahan gamang. Tapi nikmat! Ha ... ha,.. ha...!"

Si kakek tepuk-tepuk pinggul Laekakienam lalu dia bergerak mendekati Lakasipo dan Luhsantini yang berada di dalam dua jaring terpisah. Kakek ini pergunakan dua kakinya untuk mengait jaring. Lalu perlahan-lahan, enak saja dia turunkan dua jaring itu ke tanah. Di dalam jaring Lakasipo dan Luhsantini cepat bangkit lalu bersila di tanah.

"Kakek Hantu Langit. Terjungkir! Kami berdua menghaturkan terima kasih. Kau telah membawa kami keluar dari tempat penuh bencana itu!" Luhsantini pertama sekali keluarkan ucapan.

Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu sibakkan rambut putih menjulai yang menutupi mukanya lalu tatap wajah Luhsantini beberapa lamanya. Sesaat kemudian dia palingkan kepala memandang pada Lakasipo. Dipandang seperti itu Lakasipo merasa jangan-jangan orang tua ini masih membekal amarah karena tindakannya yang lalai tempo hari sehingga sendok emas sakti yang bisa menjadi penyembuh bagi si kakek lenyap dirampas orang. Maka sebelum ditegur Lakasipo berkata duluan.

"Kek, apakah kau masih marah padaku karena kesalahanku menghilangkan Sendok Pemasung Nasib itu...? Aku sekali lagi mohon maafmu. Janjiku tetap akan kupenuhi. Aku akan mencari benda itu sampai dapat walau harus menebus dengan nyawaku sendiri."

Lasedayu menghela nafas dalam lalu menyeringai.

"Wahai, bagaimana kau bisa mencari sendok sakti. Sementara dirimu berada dalam jaring iblis api biru itu!"

Lakasipo terdiam mendengar kata-kata si kakek. Dia memandang pada Luhsantini seperti meminta pendapat Perempuan ini segera membuka mulut "Supaya kami bisa menebus kesalahan itu harap kau mau menolong kami keluar dari jaring ini."

"Betul, Kek," menyambung Lakasipo.

"Kami bukan cuma memikirkan keselamatan diri sendiri. Tapi begitu bebas kami akan segera kembali ke lembah untuk menolong kawan-kawan kami. Mereka berada dalam bahaya besar...."

Lasedayu gelengkan kepala. "Tak ada hal lain yang bisa kuperbuat Aku hanya berkemampuan merubah jaring ini dari jaring api menjadi jaring tali biasa. Lebih dari itu aku tak bisa. Seperti penjelasanku dulu, hanya ada beberapa orang saja di Negeri Latanahsilam ini yang mampu memutus jaring api biru ini ..." (Kisah bagaimana Lakasipo dan Luhsantini terjebak dalam jaring api biru baca Episode Hantu Santet Laknat)

"Berarti kita bisa seumur-umur mendekam di dalam jaring celaka ini! Mungkin ajal lebih dulu datang menjemput sebelum ada yang membebaskan kita!" kata Luhsantini.

"Kek, kalau aku tidak salah mengingat, kau pernah mengatakan siapa-siapa saja orang yang mampu menjebol jaring ini. Siapa tahu ada orang yang bisa menemui mereka untuk dimintai bantuannya ...."

"Aku tidak yakin. Orang-orang itu seperti setan. Ada bernama tapi sulit dicari bahkan entah masih hidup atau sudah menjadi satu dengan tanah. Seorang di antara mereka adalah Hantu Seribu Obat. Tapi manusia satu ini aneh angin-anginan. Kalau hatinya sedang senang apapun yang diminta orang akan diberikannya sekalipun orang meminta telinga atau matanya! Tapi kalau syarafnya terganggu, sedang tidak karuan hati dan pikirannya, salah sedikit saja dalam bicara isi perut kita bisa dibedolnya untuk dijadikan ramuan obat!"

"Tunggu dulu!" ucap Lakasipo setengah berseru.

"Aku pernah bertemu dengan Hantu Seribu Obat. Dialah yang menolong dua saudara angkatku hingga sosoknya menjadi sebesar sosok orang-orang di negeri ini ..." berkata Lakasipo.

"mungkin waktu itu hatinya sedang senang. Tapi jika bertemu sekali lagi aku tidak dapat menjamin dia akan bersikap sama," kata Lasedayu pula.

"Siapa orang lainnya yang menurutmu mampu menolong kami Kek?" bertanya Luhsantini.

"Seorang nenek berjuluk Hantu Lembah Laekatak hijau. Nenek satu ini lebih kacau. Di tempat kediamannya yang sulit diketahui dimana letaknya, dia memelihara ribuan kodok. Bahkan konon kabarnya sekujur tubuhnya diselimuti binatang itu. Kalau dia ingin sesuatu yang menyenangkan, si nenek bisa saja menyuruh kodok-kodok peliharaannya untuk mempesiangi orang hingga dalam waktu sesaat saja orang itu bisa hanya tinggai tulang memutik!"

Lakasipo menatap ke arah Luhsantini dan berkata perlahan.

"Agaknya tidak ada yang bisa kita lakukan.Tidak ada orang yang dapat menolong kita. Kalau saja nenek tukang kentut berjuluk Hantu Selaksa Angin itu mau menolong kita. ..."

"Dia punya kemampuan," menyahuti Luhsantini.

"Tapi apakah dia harus menghantami kita dengan pukulan sakti agar semua tali-tali ini bisa putus? Jangan-jangan kita lebih dulu remuk jadi bangkai sebelum dia bisa mengeluarkan kita dari dalam jaring celaka ini! Jika aku bisa lolos, aku bersumpah akan menguliti Hantu Bara Kaliatus makhluk keji biadab itu!"

Hantu Langit Terjungkir mendehem beberapa kali lalu berkata. "Sebenarnya aku melarikan kalian bukan cuma karena ingin menyelamatkan kalian, tapi lebih dari itu ada satu perkara besar yang ingin aku bicarakan. ini menyangkut dirimu dan diriku, Lakasipo ...."

"Maksudmu sendok emas itu Kek?" tanya Lakasipo.

"Lupakan sendok celaka itu!" jawab si kakek. Lalu dia melangkah ke belakang Lakasipo yang sampai saat itu masih duduk bersila di tanah. Sepasang mata si kakek memandang tak berkesip ke arah lengan kanan sebelah belakang Lakasipo. Seperti diketahui di situ terdapat tanda berbentuk sekuntum bunga dalam lingkaran berwarna kebiru-biruan.

"Hal yang hendak aku bicarakan ini jauh lebih penting dan lebih berharga dari sendok emas itu! Aku malah menganggap jauh lebih penting dari nyawa ataupun masa depanku ...." Lasedayu kembali berdiri di hadapan Lakasipo. Dari balik juntaian rambut putihnya dia pandangi wajah lelaki itu dengan perasaan yang sulit untuk dikatakan. Saat itu dia seolah ingin menghamburkan sejuta kata sejuta cerita. Bahkan lebih dari itu ingin memeluk merangkul Lakasipo.

"Lakasipo, di belakang lengan kananmu sebelah atas,dekat ketiak, ada satu tanda kecil. Seperti jarahan. Berbentuk bunga dalam lingkaran ...."

"Apa Kek?!" ujar Lakasipo. Wajahnya menyatakan rasa heran. "Tanda bunga dalam lingkaran ... ? Dekat ketiak kananku sebelah belakang?" Lakasipo angkat tangan kanannya, mencari-cari. Dia berhasil melihat tanda kecil seperti yang dikatakan si kakek. Bunga dalam lingkaran. "Aku tak-pernah tahu kalau ada tanda seperti ini di lenganku. Juga tak ada orang yang mengatakan kalau aku punya tanda seperti ini." Lakasipo menatap wajah si kakek lalu bertanya.

"Kek, apa pentingnya tanda di balik lenganku ini bagimu? Apa mengandung satu arti?" ,

"Tanda itu sangat penting bagiku wahai Lakasipo. Lebih penting dari nyawaku sendiri ...."

"Aku tidak mengerti. Tunggu .... Aku coba mengingat-ingat. Rasanya aku pernah melihat tanda seperti yang kau katakan itu di lengan belakang seseorang ...."

"Ucapanmu membuat aku berdebar Lakasipo!" kata Hantu Langit Terjungkir.

"Pusatkan pikiranmu, pusatkan ingatanmu! Siapa orang yang punya tanda seperti tanda di dekat ketiak kananmu itu?!" Lakasipo memijit-mijit keningnya berulang-ulang. Berusaha untuk mengingat Tiba-tiba ditepuknya keningnya.

"Aku ingat Kek!" katanya dengan suara keras.

"Siapa?!" tanya Hantu Langit Terjungkir tak kalah kerasnya.

"Latandai alias Hantu Bara Kaliatus!"

Si kakek tersurut satu langkah mendengar ucapan Lakasipo itu. Sementara Luhsantini keluarkan seruan tertahan karena tidak menyangka nama bekas suaminya itu yang bakal diucapkan Lakasipo.

"Aku sudah menduga ..." kata Hantu Langit Terjungkir dengan suara bergetar. Sepasang matanya sekilas tampak berkaca-kaca. Ada satu perasaan besar yang seperti coba ditekannya.

"Aku sendiri memang pernah melihat tanda itu di lengan kanan sebelah belakang Hantu Bara Kaliatus ...." Orang tua ini kemudian berpaling pada Luhsantini. "Kau adalah istri Hantu Bara Kaliatus ...."

"Saat ini aku tidak lagi jadi istri manusia keji jahat itu!" menukas Luhsantini.

"Aku tahu perasaanmu wahai Luhsantini. Tapi bagaimanapun kau pernah menjadi istrinya. Yang aku ingin tanyakan, apakah kau pernah tahu, melihat atau menyadari bahwa Hantu Bara Kaliatus memang memiliki tanda seperti yang ada di lengan kanan Lakasipo?"

"Aku .... Hemm . ... rasanya ku memang pernah melihat. Tapi aku tidak begitu memperhatikan. Aku tidak pernah menanyakan atau memberitahu padanya. Mungkin dia sendiri tidak tahu. Kek, apa arti semua pembicaraan ini?" bertanya Luhsantini.

Dada Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir bergemuruh. Sepasang matanya tampak semakin berkaca-kaca dan sekujur tubuhnya kelihatan bergetar.

"Kek, ada apa dengan dirimu. Apakah kau sakit?" tanya Lakasipo.

"Kek, apapun yang terjadi dengan dirimu harap kau menjawab pertanyaanku tadi!" ujar Luhsantini.

"Apa artinya semua pembicaraanmu itu! Kau, matamu basah. Bibirmu bergetar. Kau hendak mengatakan sesuatu Kek?"

"Aku ...." Si kakek tampak agak sempoyongan. Dia sandarkan punggungnya ke tubuh Laekakienam. Dia menarik nafas panjang sampai dua kali baru membuka mulut.

"Dengar baik-baik apa yang akan aku ucapkan Lakasipo. Kalian berdua adalah ...."

"Kalian berdua siapa maksudmu Kek," tanya Lakasipo ketika si kakek hentikan ucapannya seolah lidahnya mendadak menjadi kelu.

"Maksudku ... kau ... kau dan Latandai adalah ...." Gelora jiwa dan gejolak hati yang seolah membadai membuat orang tua itu sulit untuk berucap. Dalam hati dia berdoa.

"Wahai para Dewa, beri aku kekuatan untuk menyampaikan kebenaran ini. Aku harus mengatakan sekarang juga! karena mugkin hidupku ini hanya tinggal beberapa hitungan jengkal saja. Aku ...."

Hantu Langit Terjungkir usap lelehan air mata yang menggelinding jatuh ke pipinya yang keriput.

"Lakasipo, dengar baik-baik. Kau dan Latandai adalah dua ...."

Belum sempat si kakekmenyelesaikan ucapannya tiba-tiba di udara menggema suara seperti petir menyambar. Lalu ada hawa panas menyungkup. Ketika semua orang memandang ke atas kagetlah mereka. Di udara melayang turun cepat sekali sebuah jaring besar berwarna biru seolah terbuat dari kobaran api!

"Api lblis Penjaring Roh!" teriak Lakasipo lalu jatuhkan diri dan berguling sejauh yang bisa dilakukannya. Hal yang sama segera pula diiakukan Luhsantini. Hantu Langit Terjungkir hantamkan kakinya kiri kanan ke atas dua kali berturut-turut. Dua gelombang angin berwarna kebiruan menggebubu.

"Bummm!"

"Buuum!"

Dua ledakan dahsyat menggoncang seantero tempat!

Laekakienam meringkik keras! Debu dan pasir beterbangan ke udara. Sebaliknya dari atas berjatuhan puluhan daun-daun pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Ranting berderak patah lalu ikut melayang jatuh ke tanah.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang