35. Telaga Emas Berdarah

6.2K 112 1
                                    

SAAT ITU masih pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SAAT ITU masih pagi. Embun yang turun malam tadi masih belum pupus dari permukaan dedaunan. Di sebuah tikungan sungai berair dangkal dan berwarna kuning seorang kakek tampak menarik jalanya dari dalam air. Kosong. Tak seekor ikanpun terjaring dalam jala itu.
"Nasib sial! Tak akan makan ikan perut tua ini hari ini!" si kakek mengomel. Dari balik dinding bambu sebuah rakit yang tertambat di tepi sungai keluar seorang nenek bertubuh gemuk, berpipi merah dan berambut keputihputihan digulung ke atas.
"Sudah kubilang Anom! Sejak sungai menjadi dangkal seminggu lalu, jangan harap kau bakal dapat menjaring ikan!"
Si kakek berpaling pada nenek gemuk yang adalah istrinya. Sambil merengut dia menyahuti ucapan istrinya itu.
"Kau orang perempuan diam-diam sajalah! Kalau dapat ikan tugasmu adalah memasaknya! Eh, sudahkah kau teliti lagi peta itu ...?"
"Peti celaka!" kata si nenek seraya duduk di tepi rakit dan cemplungkan kedua kakinya ke air.
"Coba kau hitung Anom! Sudah berapa lama kita menghabiskan waktu untuk memecahkan teka-teki peta itu? Dan sampai hari ini masih juga belum berhasil!"
"Seingatku . . . mungkin lebih dari tiga tahun!" menjawab si kakek setelah menghitung-hitung sesaat.
"Tiga tahun! Bukan waktu sedikit! Coba dulu kau ikuti nasihatku! Jika kau ambil pemuda cakap itu jadi muridmu, tentu dia kini sudah menguasai banyak kepandaian ..."
"Ah, soal pemuda itu lagi yang kau sebut-sebut. Dia tidak berjodoh jadi murid kita. Tidak mendapat redho Gusti Allah untuk menjadi murid Ratu dan Raja Bengawan Sala! Kenapa masih saja kau memikirkan dia?!"
"Karena aku belum pernah melihat seorang pemuda melihat potongan tubuh serta ruas-ruas tulang yang begitu meyakinkan seperti dia! Apalagi sampal saat ini kita berdua masih belum punya murid seorangpun. Kalau kita sudah jadi bangkai, siapa yang akan mewarisi segala kepandaian kita..."
"Ada kalanya kepandaian memang harus dibawa mati kalau memang sudah begitu takdir ...."
Kakek Anom campakkan jalanya ke atas rakit bambu lalu duduk di samping istrinya. Sesaat kemudian dia bertanya, "Mana peta itu. Biar kucoba memecahkannya..."
Dari dalam sebuah kantong kain yang tergantung di pinggangnya sang istri keluarkan sehelai kain lusuh yang tadinya berwarna putih tapi kini telah berubah kekuningan dan dekil kotor. Ketika kain itu dikembangkan, lebarnya hanya seluas telapak tangan. Di situ tertera gambar puncak gunung, lalu gambar sungai berliku-liku serta sebuah rumah kecil.
"Selama satu tahun kita menghabiskan waktu untuk mencari gunung yang puncaknya sama dengan yang deism gambar itu. Tak satupun kits temui seperti itu. Lalu gambar sungai .... Sudah berapa banyak kita arungi, tak ada yang memiliki rumah kecil seperti dalam gambar. Jangan-jangan peti ini palsu. Berarti tiga tahun kita ditipu kepalsuan..."
Kakek Anom gelengkan kepala. "Peta ini asli. Paling tidak merupakan turunan dari peta asli.
Bagaimana kalau aku mencoba bersamadi. Siapa tahu mendapat wangsit ... mendapat petunjuk."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Kenapa kau ketawa?" suaminya bertanya penuh rasa tidak senang.
"Yang beginian harus dipecahkan dengan otak, bukan samadi-samadian!"
"Yang akan bersamadi adalah aku! Kenapa kau yang tidak suka musti mengejek seolah-olah aku ini seorang kakek tolol!"
"Suamiku Anom, terserah padamulah. Aku merencanakan mengayuh rakit ke hilir. Sudah terlalu lama kita berada di tikungan sungai ini. Siapa tahu di sekitar muara kita bisa menemukan ikan."
Lalu nenek gemuk itu mengambil sebuah galah bambu. Setelah melepas ikatan rakit, dia mulai mendorong rakit ke arah hilir sungai dengan mempergunakan galah bambu tadi. Suaminya tetap saja duduk di tepi rakit, memperhatikan peta kain hampir tidak berkesip. Sampai menjelang tengah hari lelaki tua itu masih saja tidak beranjak dari tempat duduknya di pinggiran rakit sampai suatu ketika dia mendengar suara istrinya berseru.
"Ada perahu besar datang dari jurusan muara! Anom! Ada orang memapasi kita ...!"
Kakek Anom angkat kepalanya sedikit, berpaling ke arah hilir. Sebuah perahu besar nampak meluncur ke jurusan rakitnya. Selama ini belum pernah dia melihat sebuah perahu sebesar itu mengarungi Bengawan Saia. Di sebelah depan perahu tampak berdiri lima orang lelaki berbadan tegap. Di atas anjungan tegak orang keenam, bertubuh tinggi besar. Dadanya yang terbuka penuh bulu. Orang ini mengenakan penutup kepala sehelai kain berwarna merah. Kakek Anom mendongak memperhatikan bendera yang melambai di tiang tertinggi perahu. Berubahlah paras orang tua ini. Tanpa berpaling dia berkata pada istrinya.
"Amini. Agaknya kita kedatangan tamu yang bakal membawa runyam. Kau lihat bendera di tiang perahu.. . . ?"
Si nenek yang dipanggil dengan nama Amini letakkan tangan kirinya di atas kening guna menghindari silaunya sinar matahari. Dia melihat bendera itu dengan jelas. Lalu menghela nafas panjang. "Gaok Srenggi! Raja Lanun Pantai Selatan...! Apakah akan jatuh lagi korban hari ini Anom... ?"
"Kurasa begitu. Firasatku mengatakan demikian. Hanya sekali ini kita harus berhati-hati Amini. Setahuku Gaok Srenggi pernah menjadi pengawal Ratu Pantai Selatan."
Perahu besar mendatangi dengan cepat. Sengaja memepet rakit bambu hingga rakit ini terjepit ke tebing sungai dan tak bisa bergerak lagi. Lima orang lelaki yang berdiri di bagian depan perahu, dengan gerakan cepat serta ringan melompat ke atas rakit bambu. Kakek Anom saat itu telah bangkit dari duduknya sementara nenek Amini masih berada di bagian belakang rakit dan masih memegang galah bambu pendorong rakit.
"Tetamu dari mana yang datang dan memperlihatkan kepandaian melompat yang mengagumkan ...?" Si kakek menegur dan sekaligus memuji kehebatan orang.
Lima orang itu tampakkan wajah sangar. Sama sekali tidak perdulikan pertanyaan kakek Anom. Yang berpakaian biru gelap maju selangkah, bertolak pinggang dan membuka mulut.
"Orang tua, apakah kau yang bernama Anom dan itu istrimu yang bernama Amini. Apakah kalian yang menyandang gelar Ratu dan Raja Bengawan Sala?!"
Si kakek tersenyum. Matanya yang tua cepat sekali meneliti orang yang bertanya. Sambil tersenyum dia menjawab. "Tetamuku, matamu sungguh tajam dan pendengaranmu sungguh luas.
Pengetahuanmu tentu tinggi pula. Namaku memang Anom dan yang gemuk itu benar istriku, bernama Amini. Saal gelar itu... ah! Hanya orang-orang tolol yang memberikannya pada kami...."
"Hemm ... jadi kalian memang Ratu dan Raja Bengawan Sala ...." ujar orang berpakaian biru gelap. Dia berpaling ke arah anjungan perahu lalu mengangkat tangan memberi tanda pada orang tinggi besar dengan dada penuh bulu yang tegak di sana.
Melihat tanda ini, orang di atas anjungan membuat dua kali lompatan. Pertama dari anjungan ke atas buritan, lalu dari atas buritan ke bawah menuju rakit. Gerakannya enteng sekali. Tubuhnya membal seperti bola karet. Begitu mendarat di atas rakit dia berpaling pada si baju biru untuk memastikan. Begitu si baju biru anggukkan kepala, si dada berbulu menghampiri kakek Anom.
"Orang tua, aku Gaok Srenggi, bergelar Raja Lanun Pantai Selatan."
"Ah... ah... ah!" Kakek Anom berseru menunjukkan wajah kagum. Dia membungkuk memberikan kan penghormatan lalu berkata, "Sungguh tidak diduga, aku si tua buruk yang tidak berumah tidak berhuma, hari ini kedatangan tamu seorang besar. Dari timur sampai ke barat, dari utara sampai selatan, seluruh pesisir dan pantai Laut Selatan, siapa yang tidak kenal atau tidak pernah mendengar nama dan gelarmu yang hebat, Raja Lanun Pantai Selatan, harap maafkan kalau aku dan istriku tidak bisa menjamumu minum apalagi makan...!"
"Aku datang mencarimu memang bukan untuk makan minum!" sahut Gaok Srenggi.
"Kalau begitu ceritakanlah maksudmu..."
"Serahkan Peta Telaga Emas padaku...!"
"Hai!" si kakek berseru. Wajahnya menunjukkan rasa heran. Padahal mimiknya sebenarnya sengaja dibuat demikian rupa untuk menutupi rasa keterkejutannya. "Peta Telaga Emas! Peta apa itu?"
"Jangan berpura-pura orang tua! Jangan berani menipu mendustaiku!"
"Walah! Mana aku berani berpura-pura padamu. Mana aku berani menipu dan berdusta. Aku hanya heran dan tak mengerti atas pertanyaanmu tadi!"
"Orang tua! Aku sengaja mencarimu karena aku tahu kau memiliki sehelai peta rahasia tentang sebuah telaga penuh emas, milik Kerajaan yang diselundupkan dari Keraton!"
"Benar-benar luar biasa! Benar-benar tak dapat kupercaya. Mendengar nama peta itupun baru sekali ini. Bagaimana mungkin memilikinya?!" ujar kakek Anom pula sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan coba mempermainkan aku orang tua! Kalau aku meninggalkan tempat ini tidak membawa peta itu berarti aku akan membawa nyawamu!" mengancam Gaok Srenggi alias Raja Lanun Pantai Selatan.
"Aku sudah tua, masakan berani mempermainkan orang besar sepertimu..."
"Jadi kau menolak memberikan peta itu?!"
"Aku tidak menolak kalau memang punya. Tapi apa yang harus kuberikan kalau memang tidak memiiikinya?!"
"Hemm... begitu...?!" Gaok Srenggi usap-usap dadanya yang berbulu. Dia menggoyangkan kepalanya.
Empat orapg anak buah Gaok Srenggi berkelebat, langsung menyerang kakek Anom. Yang kelima bergerak belakangan, dia bertugas untuk meringkus orang tua itu setelah kena dihantam kawan-kawannya. Orang tua yang diserang hanya tegak tertegun, seperti tidak menyangka kalau dirinya akan mendapat serangan dikeroyok begitu rupa!
Tiba-tiba dari arah rakit sebelah kanan terdengar suara menderu. Dua orang anak buah Gaok Srenggi menjerit keras. Tubuhnya terlempar dan jatuh ke dalam air sungai. Satu orang lagi menggeletak di atas rakit, menjerit-jerit karena patah tulang punggungnya. Dua penyerang lainnya dengan terkejut hentikan serangan!

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang