83. Wasiat Iblis

7.4K 106 3
                                    

SATUDUA penunggang kuda hentikan kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun menerpa bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU

DUA penunggang kuda hentikan kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun menerpa bumi. Walau tidak lebat namun hawa tanah basah yang naik ke udara menyekat liang hidung membuat dua orang tadi mendengus beberapa kali.

"Tanda celaka apa pula ini! Hujan turun padahal matahari bersinar terik di atas batok kepala!" Berkata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia mengenakan pakaian hitam berupa jubah panjang. Wajah dan kepalanya kelihatan aneh. Matanya sebelah kanan besar membeliak tapi yang kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah namun hanya sebelah kiri saja sedangkan sebelah kanan ditumbuhi rambut lebat. Pada keningnya terdapat tiga buah guratan tegak. Guratan di sebelah tengah lebih tinggi dari dua di kiri kanan. Kumis melintang dan berewok sangar liar menutupi hampir separuh wajahnya.

Jubah hitam, keadaan wajah dan kepala, tanda di kening serta sepasang mata yang aneh merupakan tanda pengenal yang tidak dapat disangsikan lagi oleh orang-orang rimba persilatan untuk adanya manusia satu ini. 

Dia adalah tokoh silat golongan hitam dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan. Orang ini muncul membawa kegegeran dalam dunia persilatan sejak satu tahun lalu. Kabarnya dia membabat banyak tokoh-tokoh silat di kawasan timur. Lalu menghantam ke barat. Bahkan pesisir utara ikut disapunya. Selama malang melintang tak satu lawanpun sanggup merobohkannya. 

Tiga Bayang Setan tak mempan senjata tajam dan kebal terhadap pukulan sakti. Karenanya tidak salah kalau dia kini menjadi momok nomor satu dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh silat golongan putih berusaha membuat perhitungan dengannya. Namun Tiga Bayangan Setan bukan saja berhasil lolos bahkan dengan kejam dia menghabisi tokoh-tokoh silat yang berani menantangnya.

Penunggang kuda kedua mengenakan pakaian kain tebal robek-robek, dekil dan bau. Dia duduk di atas punggung kuda sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Lengannya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sebatas pergelangan tangan sampai ujung jari, sepasang tangan orang ini tidak menyerupai tangan manusia melainkan berbentuk kaki atau cakar elang raksasa berwarna merah dengan kuku-kuku runcing mencuat hitam pekat mengerikan. Konon bentuk tangannya inilah yang membuat dia dijuluki Elang Setan. Bicara soal tampang orang ini memiliki daging muka hancur rusak seperti dicacah. Kelopak matanya sebelah bawah menggembung bengkak berwarna sangat merah dan selalu basah. Di antara sepasang mata yang angker tapi juga menjijikkan itu melintang hidung tinggi bengkok seperti paruh burung elang. Tak salah kalau dirinya dijuluki Elang Setan.

Dengan tangannya yang berbentuk cakar itu dia mampu mematahkan tombak, pedang atau golok lawan. Dengan cakar setannya dia mampu membobol perut, membongkar isi perut atau membetot lepas jantung lawan. Kabarnya kuku-kuku hitam di ujung cakar mengandung racun sangat jahat. Jangankan terkena cengkeram, tergurat saja sudah dapat membuat seseorang sekarat keracunan!

Seperti Tiga Bayangan Setan, Elang Setan yang muncul hampir bersamaan setahun lalu telah pula membuat heboh dunhia persilatan dengan melakukan pembunuhanpembunuhan atas diri tokoh-tokoh silat ternama. Dia sengaja mencari tokoh silat tersohor untuk ditantang lalu dikalahkan dan dibunuh! Selama ini tak ada satu lawanpun yang sanggup menghadapinya.

Antara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan konon telah saling sumpah mengangkat saudara satu dengan lainnya. Sumpah itu disertai upacara melukai lengan masing-masing, lalu menempelkan luka setelah itu yang satu menghisap darah yang lainnya! Jika dua Setan bergabung jadi satu dapat dibayangkan bahaya apa yang kini tengah mengancam seantero dunia persilatan. Hujan telah berhenti. Elang Setan usap-usap rambutnya yang basah dengan cakar setannya. Dia memandang berkeliling.

"Kau benar saudaraku! Hujan turun matahari mencorong! Membawa alamat yang tidak baik! Tapi apakah itu perlu ditakutkan?!"

Tiga Bayangan Setan tertawa lalu meludah ke tanah. "Kau tahu, kira-kira di daerah mana kita saat ini?!"

Elang Setan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang berkelopak gembung merah. "Sulit aku menebak. Tak kelihatan gunung tak nampak bukit. Namun ancar-ancarnya kalau aku tak salah kita mungkin berada jauh di barat Gunung Wilis."

"Kalau dugaanmu benar berarti paling cepat saat matahari terbenam kita baru sampai di Kartosuro," ujar Tiga Bayangan Setan pula.

"Kita teruskan perjalanan sekarang juga. Makin cepat sampai makin baik. Dadaku selalu sesak kalau mengemban tugas seperti ini," berkata Elang Setan lalu kembali dia mengusap rambutnya dengan jari-jari berbentuk cakar.

Tiga Bayangan Setan anggukkan kepala. "Perintah orang tua itu tidak boleh diabaikan! Terus terang aku berfikir-fikir apa urusan sebenarnya dia menyuruh kita menemui dirinya di Kartosuro..."

"Ini urusan pelik tapi rada-rada gila!" ujar Elang Setan. "Kita harus berjalan dua hari dua malam hanya untuk memenuhi permintaan Jarot Ampel!"

"Aku juga tidak senang. Tapi jangan melupakan budi orang. Paling tidak Jarot Ampel pernah menyelamatkan kita dari kematian waktu kita belum punya ilmu sehebat sekarang."

Elang Setan menyeringai. "Kau tahu manusia-manusia macam apa kita sekarang adanya Tiga Bayangan. Aneh terdengar di telingaku kalau kini kau bisa-bisaan bicara segala macam budi orang!"

Tiga Bayangan Setan menyeringai. "Si tua Jarot Ampel itu bukan manusia sembarangan. Aku punya firasat dia menyimpan satu rahasia terhadap kita. Siapa tahu dia menyuruh kita datang ada sangkut pautnya dengan rahasia itu. Aku mau tanya, apa menurutmu dia sudah memberikan seluruh kepandaiannya pada kita?"

Elang Setan tertawa. "Mana ada guru yang mewariskan seluruh kepandaiannya pada sang murid. Paling tidak dia akan menyimpan satu ilmu andalan. Atau sebuah senjata mustika atau benda sakti apa saja...

"Kita berangkat sekarang Elang Setan! Aku ingin tahu apa maunya orang tua itu!" Tiga Bayangan Setan berkata lalu sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.SEPERTI yang dikatakan Tiga Bayangan Setan menjlang matahari tenggelam mereka akhirnya sampai di Kartosuro. Cuaca mulai meremangi gelap dan udara terasa dingin.

"Tempat kediaman orang tua itu di kaki bukit tak jauh dari sini. Bagaimana kalau kita mampir dulu di warung kopi untuk istirahat," Elang Setan berkata begitu mereka sampai di persimpangan jalan di pinggiran Kartosuro.

"Aku paling suka bersenang-senang. Apalagi untuk urusan perut dan urusan bawah perut...!" kata Tiga Bayang Setan lalu tertawa mengekeh. "Tapi sekali ini aku kira kita menemui Jarot Ampel lebih dulu baru cari tempat untuk bersenang-senang. Bukan sebaliknya!"

"Kalau kau tidak suka aku tidak memaksa. Kau berangkat saja duluan. Aku nanti menyusul. Tenggorokanku seperti timah meleleh. Sekujur badanku letih. Aku perlu istirahat dan meneguk secangkir kopi!"

Lalu tanpa banyak cerita lagi Elang Setan gebrak kudanya meninggalkan persimpangan. Tiga Bayangan Setan gelengkan kepala. Dia memutar kudanya ke arah timur.

Hanya beberapa saat saja kedua orang itu berpisah, di kejauhan di depannya Tiga Bayangan Setan melihat serombongan penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Berpakaian seragam, beberapa di antaranya membawa obor.

"Pasukan Kerajaan..." kata Tiga Bayangan Setan dalam hati. "Siapa takutkan mereka. Tapi mengingat urusan penting dengan guru ada baiknya aku menghindar jangan sampai terlihat." Lelaki itu cepat menyelinapkan kudanya ke tepi jalan, menghilang di balik semak belukar dan pepohonan, terlindung dalam udara yang mulai kelam. Rombongan orang berkuda lewat dengan suara gemuruh dan kepulan debu. Di belakang rombongan ternyata ada seorang berjubah kuning, bermuka pucat dengan rongga mata dan pipi sangat cekung. Tiga Bayangan Setan yang tadinya segera hendak melanjutkan perjalanan mendadak hentikan kudanya. Dia mendongak sambil berfikir-fikir.

"Orang tua berjubah kuning itu.... Aku rasa-rasa mengenal dirinya." Tiga Bayangan Setan berfikir keras. "Ah! Aku ingat. Dia pasti cecunguk yang bekerja jadi penjilat di Keraton. Namanya Tubagus Kasatama, berasal dari barat. Bergelar Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi.... Gelar gila!" Tiga Bayangan Setan tertawa sendiri.

"Hemm.... ada apa malam-malam begini dia mau-mauan ikut rombongan pasukan Kerajaan. Tadi di sebelah depan aku lihat ada seorang Perwira Tinggi. Pasti ada urusan penting. Elang Setan sudah lama mencari cecunguk tua itu untuk ditantang dan dihabisi. Kalau dia tidak mampir di Kartosuro tadi pasti dia sudah cari perkara menantang tua bangka itu. Tubagus Kasatama, nasibmu memang bagus seperti namamu. Seharusnya kau bakal meregang nyawa malam ini di tempat ini!"

Tiga Bayangan Setan keluar dari balik pepohonan siap meneruskan perjalanan. Namun setelah memacu kudanya beberapa ketika mendadak muncul satu pikiran di kepalanya.

"Rombongan itu menuju ke Kartosuro. Elang Setan ada disana. Jangan-jangan...."

Orang berjubah hitam ini lantas saja putar kudanya, memacu binatang itu menuju Kartosuro.

DUA

WARUNG kopi itu sebenarnya tidak pantas disebut warung. Selain bangunannya besar pelayannya juga banyak. Saat itu pengunjung sedang ramai. Namun, begitu sosok Elang Setan muncul di ambang pintu langsung semua tamu yang ada di situ menjadi bubar. Mereka tak perlu tahu siapa adanya orang ini. Cukup dengan melihat tampangnya yang hancur seperti bekas dicacah dihias dengan dua mata yang kelopaknya membeliak merah serta sepasang tangannya yang berbentuk cakar runcing mengerikan, tanpa pikir panjang semua tetamu serta merta berdiri lalu dengan ketakutan meninggalkan warung kopi lewat pintu belakang bahkan ada yang langsung melompati jendela. Mereka pantas takut setengah mati karena malam itu justru adalah malam Jum'at Kliwon di mana banyak yang masih percaya pada malam seperti itu segala hantu dan setan gentayangan seenaknya, terkadang memperlihatkan diri!

Elang Setan sesaat masih tegak di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan perhatikan orang-orang yang kabur. Lalu dia melangkah masuk, menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu.

Para pelayan di warung kopi itu tak ada satupun berani mendatangi Elang Setan. Mereka berkumpul ketakutan disatu sudut bersama pemilik warung. Orang-orang ini jadi mengkerut ketika dari tenggorokan Elang Setan keluar suara menggeru.

"Aku hanya bicara satu kali! Apa tidak ada manusia melayani di tempat ini?!"

Habis berkata begitu Elang Setan hantamkan tangan kirinya ke atas meja kayu.

"Braaakkk!"

Empat kaki meja amblas ke lantai tapi tetap utuh! Papan meja sendiri hancur berkeping-keping. Dari sini dapat dilihat bagaimana Elang Setan mampu mengerahkan tenaga dalam tapi mengatur demikian rupa hingga tidak semua bagian meja berantakan. Melihat apa yang terjadi, sebelum tamu seram itu menghancurkan benda-benda lain yang ada dalam warung, seorang lelaki kerempeng bermuka bopeng cepat mendatangi.

"Orang jelek! Siapa kau?! Pelayan?!"

"Harap maafkan. Saya pemilik warung. Sa... saya siap melayani...."

Elang Setan menyeringai. "Nasibmu rupanya bagus. Muka buruk bopeng tapi rejeki besar. Bisa punya warung sebesar ini. Lekas kau siapkan meja baru! Hidangkan satu cangkir besar kopi manis! Bawa tekonya ke sini sekalian!"

Pemilik warung memberi isyarat pada para pelayan. Dua orang pelayan segera membersihkan kepingan-kepingan papan meja yng hancur, mencabut empat kaki meja yang masih menancap di lantai lalu meletakkan sebuah meja baru di hadapan Elang Setan. Pada saat itulah dari arah pintu ada orang berkata.

"Sediakan dua cangkir tambahan! Kami sangat berkenan menemani tamu agung ini minum bersama!"

Kepala Elang Setan tersentak. Dia cepat berpaling ke arah pintu. Dua orang dilihatnya melangkah masuk, berjalan ke arah meja di mana dia duduk. Yang satu seorang kakek bermuka pucat dan berpipi sangat cekung, mengenakan jubah kuning. Orang kedua seorang Perwira Tinggi pasukan Kerajaan. Ikut masuk ke dalam warung bersama mereka enam orang prajurit yang segera mengambil sikap mengurung. Di luar warung masih ada beberapa prajurit lagi, berjaga-jaga dekat pintu depan, jendela-jendela dan pintu belakang. Elang Setan segera mencium gelagat tidak enak. Namun dia memperlihatkan sikap tenang. Sepasang matanya yang berkelopak merah gembung menyoroti dua orang yang melangkah ke arah mejanya. Lalu enak saja kedua orang ini duduk di hadapannya. Elang Setan segera kenali kakek berjubah kuning tapi tidak mampu mengetahui siapa adanya Perwira Tinggi di samping si kakek.

"Orang-orang hebat dari Kotaraja!" ujar Elang Setan setengah berseru. Mulutnya menyunggingkan seringai buruk. "Aku tidak mengundang kalian minum-minum ataupun bersenang-senang. Kalau mau minum silahkan saja, tapi bayar sendiri!"

Kakek berjubah kuning yaitu Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi tertawa lebar.

"Jangan takut," katanya. "Kami cukup banyak membawa uang. Katakan saja kau mau minum apa mau makan apa. Kami membayar semuanya!"

"Ah, kalian orang-orang kaya rupanya. Kalian muncul membawa keberuntungan bagiku. Katakan apa mau kalian?" bertanya Elang Setan.

Perwira Tinggi Kerajaan menjawab. "Kita minum saja dulu. Nanti masih banyak waktu untuk bicara..." ucapan ini membuat Elang Setan jadi naik darah karena merasa diremehkan. Dia hendak mendamprat dengan kata-kata kotor. Namun saat itu pemilik warung muncul membawa sebuah teko besar serta tiga buah cangkir. Tiga cangkir diletakkan masing-masing di hadapan tiga tamu. Lalu kopi hangat dalam teko dituangkannya satu-persatu ke dalam tiga cangkir.

"Selera minumku tiba-tiba saja lenyap!" kata Elang Setan. "Silahkan kalian minum berdua!"

Perwira Tinggi yang duduk tepat di hadapan Elang Setan tersenyum. "Kami tidak memaksa kalau kau tak mau minum. Cuma sayang, mungkin ini kali terakhir menikmati kopi seenak ini. Mengapa disia-siakan?"

Sepasang mata gembung merah Elang Setan mendelik. Dari tenggorokannya keluar sura menggembor.

"Perwira tinggi! Apa maksudmu dengan ucapan tadi?!" membentak Elang Setan.

"Ketahuilah kami datang membawa tugas untuk menangkapmu hidup-hidup ataupun mati! Sayang temanmu yang bergelar Tiga Bayangan Setan itu tidak bersamamu. Kalau dia ada, rejeki kami tentu lebih besar!" yang bicara adalah si kakek bermuka cekung Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning. Elang Setan tertawa lebar. Cairan yang membasahi kelopak matanya menetes dan bergulir di kedua pipinya membuat Perwira Tinggi dan kakek berjubah kuning merasa jijik.

"Kopi sudah terhidang! Mengapa tidak diteguk? Apa mau menunggu sampai dingin atau takut aku telah menyuruh orang memasukkan racun ?!"

"Mana enak minum kopi hangat kalau tidak ditemani lawan bicara," menjawab Perwira Tinggi.

Elang Setan kembali tertawa. "Kalau kalian memaksa aku rasa-rasa sungkan menolak. Baiklah, aku minum duluan..."

Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi melihat Elang Setan ulurkan tangan kanannya yang berbentuk cakar. Mereka menyangka orang ini akan memegang cangkir kopi dan meneguk isinya. Ternyata Elang Setan cuma celupkan jari telunjuknya yang berkuku panjang ke dalam cangkir. Kopi hangat dalam cangkir kelihatan beriak lalu terdengan suara mendesis.

Baik Tubagus Kasatama maupun si Perwira Tinggi sama-sama menyembunyikan kekagetan mereka ketika melihat bagaimana kopi dalam cangkir laksana disedot perlahanlahan habis hingga akhirnya cangkir tanah itu kosong!

"Enaknya kopi di warung ini..." kata Elang Setan sambil menggeliat. "Biar kuisi lagi cangkirku."

Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi mengira Elang Setan akan menuangkan kopi di teko ke dalam cangkir. Tapi yang dilakukan Elang Setan kalau tadi dia mencelupkan jari telunjuk kanannya maka kini dia memasukkan ujung tangan kirinya ke dalam cangkir. Terdengar suara mendesis disusul suara benda cair mengucur. Ketika Tubagus Kasatama dan sang Perwira melihat ke dalam cangkir ternyata sedikit demi sedikit cangkir itu terisi kopi hangat yang mengepulkan asap berbau harum! Baik Tubagus Kasatama maupun Perwira Tinggi dari Kartosuro itu sama-sama memaklumi hanya orang memiliki kepandaian tinggi sekali yang mampu melakukan seperti apa yang diperbuat Elang Setan. Maka keduanya serta merta mempertinggi kewaspadaan.

"Aku telah meneguk kopiku. Jika kalian tidak mau minum sebaiknya angkat kaki saja dari warung ini. Tunggu aku di luar sana jika kalian memang punya urusan..." Perwira Tinggi dan Tubagus Kasatama saling pandang.

"Orang sudah menawarkan. Rasanya tidak sopan kalau tidak memenuhi..." kata Tubagus Kasatama pula. Sang Perwira tersenyum dan anggukkan kepala. Kedua orang ini lantas memandang lekat-lekat pada cangkir kopi di hadapan mereka. Tidak menunggu lama. Tiba-tiba dua cangkir itu naik ke atas, perlahan-lahan melayang ke muka si kakek berjubah kuning dan Perwira di sebelahnya. Luar biasa! Jelas dua orang ini memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan Elang Setan. Ketika cangkir hanya tinggal seujung jari dari mulut mereka, kedua orang ini segera membuka mulut siap untuk meneguk kopi dalam cangkir. Namun tanpa setahu mereka di bawah kolong Elang Setan kepalkan jarijari kedua tangannya yang berbentuk cakar. Terjadilah hal yang tidak diduga oleh dua orang dihadapannya. Gerakan cangkir yang mendekati mulut serta merta terhenti.

Tubagus Kasatama dan sang Perwira Tinggi segera maklum kalau orang pergunakan kekuatan untuk membendung tenaga dalam mereka yang dikerahkan untuk mengangkat cangkir. Keduanya lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Cangkir kelihatan seperti hendak bergerak lagi tapi kembali tertahan begitu di bawah meja Elang Setan kepalkan dua tangannya lebih kencang. Terjadi adu kekuatan tenaga dalam yang hebat. Walau digempur dua lawan ternyata Elang Setan sanggup bertahan bahkan menghantam.

Bahu Tubagus Kasatama dan Perwira Tinggi itu kelihatan bergetar, mula-mula perlahan lalu berubah tambah keras. Meski sadar kalau mereka tidak sanggup bertahan namun untuk menyerah begitu saja tentu saja keduanya merasa malu. Lebih baik terluka di dalam daripada menyerah!

Di bawah meja tiba-tiba Elang Setan buka kepalan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuh Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi terhempas ke belakang. Sebelum itu dua cangkir yang menggantung di udara pecah berantakan. Pecahan cangkir dan kopi muncrat membasahi pakaian mereka. Sebagai orang persilatan cabang atas meskipun sudah kena dihantam lawan, sebelum jatuh jungkir balik dari atas kursi Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi cepat melesat ke atas. Sambil selamatkan diri dua orang ini saling berikan isyarat. Karenanya begitu melayang turun mereka langsung menyerang Elang Setan!

Kakek berjubah kuning menghantam dengan mengebutkan lengan jubah sebelah kanan. Sang Perwira melepaskan tendangan ke dada Elang Setan. Dua serangan ini datangnya laksanan kilat. Tapi yang diserang tenang saja. Sesaat lagi angin pukulan dahsyat dan tendangan akan mengenai sasaran baru dia membuat gerakan. Dua cakar elang membabat ke depan. Cahaya hitam dan merah bertabur di udara.

"Awas! Cakar beracun!" teriak Tubagus Kasatama memberi ingat.

"Wutttt! Wutttt"

"Breettt!"

TIGA

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang