13. Kutukan Empu Bharata

9.5K 177 5
                                    

SEJAK dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEJAK dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung sekali.

Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada bercahaya itu. Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya. Janggutnya yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah memandang ke langit.

"Mendung sekali pagi ini..." katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang.

"Untung! Kau kemarilah . . . "

Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.

"Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya.

Si orang tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko Jagat yang kubikin sudah hampir siap ..." berkata orang tua itu, "cuma ada beberapa bagian yang harus di pertajam. Pergilah cari kayu-kayu kering untuk api penempa. Aku kawatir kalau hujan turun kau tak bisa mencari kayu-kayu kering. . . "

"Persediaan kayu yang kukumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung Pararean.

"Ya, sudah habis. Nah kau pergilah dan cepat kembali."

Untung Pararean segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu kanannya.

"Bawa terus kedalam Untung, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko Jagat dari dalam lemari."

"Baik Empu", sahut Untung Pararean.

Sementara pemuda itu menyalakan api, Empu Bharata mengisi sebuah mangkok tanah dengan air bening lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi dengan setanggi dan kemenyan sehingga suasana di dalam teratak tua itu harum semerbak baunya.

"Kalau Mustiko Jagat sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk memberikan sumbangan pada Kerajaan..."

"Aku tak mengerti maksud kata-kata Empu," kata Untung Pararean pula sambil menyeka butirbutir keringat yang terbit dikulit keningnya akibat panasnya perapian.

Orang tua itu mengelus janggutnya yang panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar. "Mustiko Jagat adalah sebilah keris sakti, Untung. Tujuh tahun aku menempanya bukanlah satu masa yang singkat. Seorang yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat apapun, jika memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan aneh tapi sakti hingga ia menjadi seorang jago yang sukar untuk dikalahkan. Disamping itu, Mustiko Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa menjadi obat segala macam racun jahat. Dan senjata sakti itulah yang bakal kuserahkan pada Sri Baginda untuk mempertahankan Kerajaan dari segala macam bahaya dan malapetaka. Dan kau Untung ... kaulah nanti yang akan kuutus untuk menyampaikan Mustiko Jagat ke istana."

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang