78. Pendekar Gunung Fuji

5.4K 111 0
                                    

SUARA siulan Pendekar 212 berhenti, berganti dengan decak penuh kagum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUARA siulan Pendekar 212 berhenti, berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu dia berada di kaki Gunung Fuji, memandang gunung berketinggian lebih dari 11.000 kaki yang sebagian besar dikelilingi salju abadi.

Wiro rapatkan kerah baju tebalnya. Musim dingin segera berakhir namun di kaki gunung, udara seperti tidak mengalami perubahan walau matahari tampak terang benderang. Di sekelilingnya pohon-pohon Sakura bertebaran. Kebanyakan tertutup salju tipis.

Dari dalam saku baju Wiro keluarkan sebuah botol terbuat dari kaleng putih, lalu membuka tutupnya dan meneguk isinya.

Wajahnya yang tadi pucat, kini tampak kemerahan. "Kalau saja aku bisa dapatkan tuak, rasanya pasti lebih segar dari sake ini. Tapi masih untung masih ada sake dari pada tidak sama sekali, bisa mati kedinginan, Uhh...!"

Wiro masukan botol minuman ke sakunya. Ketika hendak meninggalkan tempat, langkahnya terhenti oleh suara kaki kuda. Wiro berpaling dan melihat seekor kuda coklat polos tak berapa jauh dari dirinya. Seekor binatang liar yang kesasar. Tapi ketika mendekat, ada pelana. Berarti dugaannya salah. Wiro dekati kuda coklat tadi. Langkahnya terhentak ketika melihat noda merah di pelana dan badan kuda. Ketika memperhatikan tanah, juga terdapat bercak merah. Bercak darah!

Pendekar 212 melangkah menuju arah darah di tanah. Noda itu lenyap di dekat serumpunan belukar basah. Dia kembali ke arah semula dan melacak darah dari arah kiri. Darah itu ternyata menuju ke arah Gunung Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda itu masih menggesek-gesekan lehernya tapi tidak meringkik lagi. Wiro melangkah mendekati, usap-usap leher dan memperhatikan bercak darah di pelana. Wiro mengusap bercak di pelana lalu memperhatikan. Memang bercak darah.

Dengan dedaunan yang dipetik di sekitar situ, Wiro bersihkan noda darah, lalu dengan menepuk leher kuda, ia berujar, "Sobatku kau tentu sebelumnya membawa tuanmu yang terluka. Tapi entah di mana dia sekarang. Saat ini biar aku yang menjadi tuanmu. Antarkan aku ke Gunung Fuji," setelah itu pendekar 212 langsung melompat ka atas pelana dan menuju ke arah timur.

Walaupun jalan mendaki dan licin, namun karena mengikuti jalan kecil yang sudah dibuat orang sebelumnya, kuda coklat itu mampu berlari cepat. Ketika matahari tepat berada di atas Wiro, ia telah berada ratusan kaki ke arah timur. Di sebuah ujung terlihat rumah kayu. Di serambinya yang luas tampak empat sosok tengah mengelilingi tubuh yang terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal. Ketika mendengar suara kuda mendekati, keempat orang itu segera berpaling. Dua orang melompat, dan yang seorang berseru. "Pembunuh itu berani datang lagi!"

Dua orang menggerakkan tangannya ke punggung. Terdengar suara gemeresek hampir bersamaan.

Dua orang tadi sudah berada di halaman rumah yang tertutup salju tipis. Tangan keduanya sudah memegang sebilah katana (pedang panjang) yang berkemilau terkena sinar matahari.

Saat Wiro sampai di hadapan mereka, kedua orang itu sudah siap menyerang. Dua bilah pedang berkelebat. Pendekar 212 berseru lalu meloncat dari atas pelana kuda. Dua katana menderu, dan kuda coklat itu meringkik saat dua sabetan mengenai tubuh kuda. Darah mengucur dari leher dan tubuh kuda sambil terus menjauh menuju ka arah barat.

"Tunggu dulu!" seru Wiro ketika melihat dua pemuda sedang menghadang dan siap menyerangnya.

Kedua pemuda itu sesaat tampak ragu, tapi akhirnya mereka menghentikan langkah. Sesaat mereka saling berpandangan lalu memperhatikan Wiro penuh curiga. Sementara itu dari dalam rumah terdengar suara halus bergetar.

"Apa yang terjadi murid-muridku...?"

"Sensei! Kau tak boleh bicara. Kau terluka berat!" yang menjawab adalah seorang gadis berwajah bulat yang rambutnya dikuncir sebahu. Yang bertanya tadi adalah seorang tua dengan kimono biru gelap dan terbaring di lantai serambi. Bagian tubuhnya dibalut dengan kain tebal. Kain ini tampak basah oleh darah! Ternyata si orang tua sedang menderita luka cukup parah. Kedua orang yang dari tadi berada di sana sudah sadar jika yang dipanggil sensei itu sulit disembuhkan. Namun nyatanya masih bisa mengeluarkan suara.

"Aku bertanya apa yang terjadi Akiko...?"

Gadis bernama Akiko yang duduk sambil mengusapi kening gurunya yang terluka parah itu menahan nafas sesaat lalu dekatkan kepala ke telinga orang tua itu. "Salah seorang dari pembunuh itu datang lagi, sensei..."

"Pembunuh itu datang lagi katanya...? Tidak mungkin... Tidak mungkin Akiko!" Dengan mata yang masih tertutup, orang tua yang dipanggil dengan sebutan sensei ini berkata pada muridnya yang satu. "Ichiro, apa betul yang dikatakan Akiko tadi?"

Pemuda di samping kanan seorang tua memandang ke arah halaman di mana dua saudara seperguruannya dengan katana dalam genggaman dua tangan, tengah menghadapi seorang pemuda yang barusan melompat dari kuda. "Memang ada yang datang sensei. Pakaian dan kuda yang ditungganginya sama dengan salah seorang pembunuhmu. Namun aku meragukan dugaan dua saudara. Orang yang datang ini adalah Gaijin... (sebutan untuk orang asing)."

"Gaijin... Orang asing maksudmu?" Orang tua yang terbaring berbantalkan gulungan kain batuk-batuk beberapa kali. Dari sela bibirnya tampak ada darah yang keluar.

Akiko cepat menyeka darah itu dengan sehelai sapu tangan seraya berbisik. "Sensei, jangan bicara lagi..."

Tapi si orang tua tidak perdulikan. "Aku ingin melihat siapa yang datang. Aku memang tengah menunggu seseorang sejak tiga tahun lalu.."

Lalu, walaupun dengan susah payah, orang tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Namun lehernya terkulai dan kepalanya jatuh kembali ke atas gulungan kain. "Sensei...!" Akiko terpekik.

"Anak-anak..., bawa aku ke dojo (ruangan tertutup tempat berlatih silat)... Kalau aku memang ditakdirkan harus mati, aku ingin mati di ruang latihan itu..."

"Baik sensei, kami akan lakukan apa yang kau minta..." jawab Ichiro.

Sementara itu di halaman rumah yang tertutup salju tipis, salah seorang pemuda yang memegang katana tukikkan ujung pedangnya hampir mencium panah. Dalam ilmu pedang di Jepang, ini merupakan salah satu kedudukan senjata yang sangat berbahaya. Karena ujung pedang yang kelihatannya jauh dari sasaran itu tiba-tiba bisa melesat membabat kaki, pinggang atau perut, bisa juga menebas leher atau menghantam kepala!

"Pemuda asing! Katakan siapa dirimu?! Apa keperluanmu datang ke mari?!"

"Namaku Wiro Sableng! Aku datang untuk menemui Horoto Yamazaki, seorang tua yang bergelar Pendekar Pedang Matahari!" jawab Wiro. Lalu dia melirik ke arah serambi rumah di mana dia melihat ada seorang tua terbaring didampingi seorang gadis dan seorang pemuda. Wiro menduga, orang tua itu pastilah orang yang hendak ditemuinya. Apa yang tengah terjadi di serambi sana?

Kemudian pemuda di samping si orang tua tambak berdiri dan berteriak. "Kunio! Kenichi! Bantu kami menggotong sensei ke ruang latihan!" Dua pemuda yang tengah menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya saling memberi isyarat. Yang satu segera berbalik dan lari ke arah serambi. Satunya lagi menyusul, namun sebelum pergi sempat berkata.

"Pemuda asing! Tetap di tempatmu! Jangan kau berani bergerak, walaupun hanya satu langkah!"

Wiro tidak menjawab, tapi dalam hati dia berkata. "Setan! Jauh-jauh aku datang ratusan ribu langkah, sampai di sini malah diperintah tidak boleh melangkah!" Ketika pemuda itu berlari ke serambi, tanpa peduli Wiro melangkah pula ke arah bangunan.

Empat orang murid menggotong sensei mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam ternyata bangunan itu luas sekali dan memiliki tempat latihan beralaskan tatami (alas lantai berbentuk kotak-kotak).

Berbagai macam senjata terdapat di sudut-sudut dan dinding ruangan.

Sang guru dibaringkan di tengah dojo, di atas sebuah kasur jerami. Ketika itulah keempat murid menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka berpaling ke arah pintu dojo dan keempatnya menjadi marah. "Gaijin kurang ajar!" membentak Kunio Ota lalu melompat ke ambang pintu di arah mana Wiro tengah melangkah masuk. Sambil menghunus pedangnya, pemuda ini kembali menghardik. "Kami tidak mengundangmu masuk! Aku malah sudah memperingatkan agar kau tidak boleh bergerak satu langkah pun!"

Wiro menyeringai dan bungkukkan badan lalu berkata, "Shitsurei shimasu, ga... (maafkan saya, tapi) di luar sana dingin sekali. Lagi pula saya datang untuk menemui tuan rumah di sini..."

Telinga orang tua yang terbaring di atas kasur jerami mendengar suara Pendekar 212 Wiro Sableng.

Sebelum murid-muridnya yang marah melakukan sesuatu, orang tua ini cepat membuka mulut.

"Kunio, orang yang kau bentak itu... Apakah dia orang asing yang kau maksudkan...?"

"Betul sensei!" sahut Kunio Ota. "Dia telah berlaku lancang, masuk ke dalam ruangan ini!"

"Maafkan kalau ini tindakan yang kurang sopan!" Wiro menyahuti. "Namun saya datang dari jauh.

Dari negeri ribuan pulau di selatan untuk menemui tuan rumah! Bagaimana saya bisa menemuinya kalau bergerak satu langkah pun tidak diizinkan?!"

Tiga pemuda murid si orang tua bergumam marah. Hanya Akiko yang tampak tenang dan memandang ke arah Wiro tanpa emosi sama sekali. "Orang asing, mendekatlah ke mari..." orang tua itu tiba-tiba berkata.

Ketika Wiro melangkah, Kunio Ota masih berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda ini merasa ada hawa aneh keluar dari tubuh Wiro yang membuat tubuhnya terdorong dan kakinya terhuyung dua langkah. Begitu Wiro lewat, dia cepat-cepat menyusul namun tidak berani menghalangi lagi.

Wiro sampai di hadapan orang tua yang terbaring di atas kasur jerami. Merasakan orang sudah ada di dekatnya, orang tua itu membuka sepasang matanya yang sipit.

"Ah, kau memang pemuda asing Gaijin, katakan namamu! Dari mana kau datang, apa keperluanmu...?!"

"Saya Wiro Sableng. Saya datang dari Tanah Jawa, negeri seribu pulau jauh di selatan. Saya datang membawa pesan dan surat dari guru saya. Apakah saya..." Wiro untuk pertama kalinya melihat darah yang membasahi kain merah yang menutupi perut orang tua itu. "Astaga! Kau terluka parah orang tua!" seru Pendekar 212.

"Jangan perdulikan apa yang terjadi atas diriku. Teruskan ucapanmu... orang muda!" kata si tua.

"Apakah saya berhadapan dengan Yamazaki san? Seorang samurai besar dan jago pedang berjuluk Pendekar Pedang Matahari...?"

Orang tua itu tersenyum. Sepasang matanya membesar sedikit. "Samurai..." desisnya. "Pendekar Pedang Matahari..." sambungnya. "Semua itu nama besar yang tidak ada harganya lagi..."

"Sensei!" seru sang murid bernama Ichiro Loki. "Jangan berkata seperti itu!"

Hiroto Yamazaki alias Pendekar Pedang Matahari tersenyum kecut. "Hari ini aku si tua yang dulu begitu diagungkan kini sudah dikalahkan oleh dua orang lawan. Apa aku masih pantas menyandang semua nama besar itu? Pemuda asing siapa nama gurumu..?"

"Saya diutus oleh guru. Guru saya bernama Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede di Tanah Jawa sebelah barat..."

Mendengar keterangan pendekar 212 itu, untuk pertama kalinya muka pucat si tua berkimono itu tampak cerah. Dia tersenyum lebar. "Sungguh satu kehormatan sebelum mati aku bertemu dengan murid kawan lamaku. Anak muda, kalau kau benar murid Sinto Gendeng sahabatku itu, perlihatkan dulu tanda pengenalmu!"

Wiro yang sebelumnya sudah dipesan oleh guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki segera menyingkapkan baju tebal dan baju putih yang dikenakannya. "Ah..., inezumi (rajah atau tatto) itu 212.... aku percaya kau memang murid kawan lamaku," kata si orang tua begitu melihat angka 212 di dada Wiro. Namun kemudian ia menyambung. "Tapi tatto seperti itu mudah dipalsukan dan ditiru orang. Perlihatkan senjatamu..." Murid Sinto Gendeng meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke balik pakaian.

Begitu tangan kanan itu keluar dari balik pakaian maka berkelibatlah sinar putih perak menyilau di ruangan latihan itu. Empat murid Hiroto Yamazaki terkesiap melihat Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada dalam genggaman Wiro. Belum pernah mereka melihat senjata mustika sedemikian mengesankan dengan sinar yang angker seperti itu.

"Kau memang murid sahabatku Sinto Gendeng..." kata Yamazaki . "Waktuku tidak lama lagi. Serahkan surat Sinto Gendeng yang kau bawa...!"

"Yamazaki-san .. surat akan saya berikan. Tapi bagaimana jika terlebih dahulu kamu mengizinkan aku memeriksa lukamu? Keselamatanmu lebih penting dari pada surat yang kubawa..."

Hiroto Yamazaki kembali sunggingkan senyum. Lalu membuka mulut. "Ada ujar-ujar yang mengatakan: Seorang kesatria baru menguasai sepenuhnya kehidupan seorang Samurai bila dia selalu siap menghadapi kematian. Karena itu kau tak usah memikirkan keselamatanku Wiro-san.

Aku justru beruntung diberi kesempatan dewa untuk bertemu denganmu. Mana surat itu...?!"

"Sensei," tiba-tiba Kunio Ota membuka mulut. "Siapapun adanya pemuda ini saya tetap menaruh curiga. Dia muncul dengan kuda milik pembunuhmu. Saya melihat noda darah di punggung kuda. Mustahil tidak ada kaitannya dengan kedua pembunuh itu...!"

"Wiro-san... bisakah kau menjawab ucapan muridku itu?" Orang ini sebenarnya percaya penuh dengan pemuda itu, namun dia juga ingin semua muridnya mendengar penjelasan langsung dari Wiro sendiri.

"Kuda coklat itu saya temui di kaki Gunung Fuji. Binatang itu bersikap jinak dan aku tunggangi sampai kemari. Saya tidak tahu siapa pemiliknya..."

"Bukan mustahil pemuda ini kawanan pembunuh dan disuruh menyamar untuk memastikan kematian sensei atau bagaimana..." kata Ichiro Loki

"Mungkin juga ia diminta menyelidiki sesuatu di sini!" untuk pertama kalinya murid perempuan bernama Akiko Besso mengeluarkan suara.

Wiro garuk-garuk kepala. Dia menjawab. "Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya pikir tidak perlu diperpanjang lagi. Guru kalian sedang sakit parah..." Dari balik bajunya Wiro keluarkan sebuah lipatan kertas pada Hiroto Yamazaki. "Terimalah, ini surat dari guru saya..." Yamazaki menerima dan membuka dengan tangan gemetar lalu membacanya.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang