43. Dewi Lembah Bangkai

5.8K 115 4
                                    

1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1

LIMA PERAJURIT berkuda berderap memasuki halaman rumah yang penuh ditumbuhi pohon singkong. Mereka memiliki tampang-tampang galak, membekal golok besar di pinggang masing-masing. Begitu sampai di depan rumah papan beratap rumbia, kelimanya langsung melompat turun. Yang didepan sekali menendang pintu rumah sambil berteriak:

"Adi Sara! Kami perajurit Kadipaten datang membawa surat perintah penangkapan!"

Pintu rumah terpental tanggal. Perajurit yang menendang langsung masuk diikuti dua orang temannya. Dua lagi menunggu di luar berjaga-jaga dengan tangan menekan hulu golok. Di dalam rumah, ketika dikejauhan terdengar derap kaki lima perajurit Kadipaten itu, seorang lelaki tua berambut putih memegang bahu seorang pemuda berusia dua puluh tahun seraya berkata:

"Anakku Adi! mimpiku semalam mungkin akan menjadi kenyataan. Aku dengar suara derap kaki-kaki kuda dikejauhan. Menuju ke rumah kita ini. Hampir pasti itu adalah orang-orang Kadipaten. Aku tidak menyesali perbuatanmu bercinta dengan puteri Adipati itu. Namun jurang antara dirimu dengan dirinya terlalu besar. Kalaupun kau bisa melompatinya, masih ada bahaya lain yang menghadang ditepi jurang lainnya. Dan ternyata kau tidak mampu melompati jurang itu anakku. Aku ayahmu juga tidak berkekuatan untuk menolongmu. Adipati pasti akan menyuruh anak-anak buahnya untuk menangkapmu..."

"Menangkapku ayah? Apa salahku? Apakah seseorang bisa ditangkap karena mencinta dan dicintai oleh orang lain?!" Adi Sara pemuda berwajah tampan itu bertanya.

Sang ayah tertawa, tapi wajahnya menunjukkan kemuraman

"Adipati bisa mempergunakan seribu alasan untuk menangkapmu, Adi. Bisa atau tidaknya seseorang ditangkap tergantung siapa yang memegang kekuasaan. Dan kekuasaan itu ada di tangan Adipati Sawung Glingging. Cepat kau tinggalkan rumah ini. Tinggalkan desa. Menghilanglah, tinggalkan desa dan jangan kembali-kembali lagi..."

"Aku tidak akan melakukan hal itu ayah! Kalaupun aku harus pergi, kita musti pergi sama-sama!" jawab Adi Sara.

"Jangan turutkan pikiran tololmu anakku! Pergilah! Sekarang juga! Selamatkan dirimu! Cepat...!" Wajah Adi Sara tampak bimbang.

Dia tahu bahaya besar yang mengancamnya. L-alu dia bertanya: "Bagaimana dengan dirimu sendiri ayah?"

"Jangan pikirkan tua bangka ini! Pergi lekas! Sambangi makam ibumu sebelum meninggalkan desa! Lekas Adi!"

Di luar sana lima penunggang kuda sudah memasuki pekarangan. Adi Sara memegang tangan ayahnya, mencium tangan orang tua itu lalu bergerak meninggalkan rumah lewat pintu belakang. Sebelum menghilang dibalik pohon-pohon besar di belakang rumah dia masih sempat mendengar suara pintu depan ditendang bobol. Hal ini membuat langkahnya terhenti. Dia menyelinap dibalik sebatang pohon besar. Di dalam rumah Sara Jingga ayah Adi keluar dari kamar tepat pada saat tiga perajurit bersenjatakan golok masuk dan sampai dihadapannya.

"Kami mencari Adi Sara! Mana pemuda itu?!" perajurit di sebelah depan membentak.

"Anak itu tidak ada disini! Sejak semalam dia tidak pulang!" jawab Sara Jingga.

"Jangan dusta!"

"Sarungkan golok kalian! Bicara biasa-biasa saja! Senjata tidak akan membantu kalian menemukan anak itu! Karena dia memang tidak ada disini!"

"Kami membawa surat perintah dari Adipati Tawang Merto untuk menangkap pemuda itu!"

Terkejutlah Sara Jingga mendengar keterangan si perajurit.

"Wilayah ini dibawah kekuasaan Adipati Sawung Glingging! Mengapa Adipati Tawang Merto yang mengeluarkan surat perintah penangkapan? Dan aku perlu tahu apa salah anakku hinggaxtia mau ditangkap!"

Si perajurit mendengus. "Siapa saja yang mengeluarkan surat perintah penangkapan bukan soal! Adipati Sawung Glingging dan Adipati Tawang Merto toh akan saling menjadi besan!"

Mendengar keterangan itu pahamlah kini Sara Jingga. Rupanya benar putera Adipati Tawang Merto hendak dijodohkan dengan puteri Adipati Sawung Glingging. Disitu pula pangkal sebabnya mengapa anaknya hendak ditangkap.

"Kalian boleh geledah rumah ini Adi Sara tak ada disini! Katakan apa salah anak itu. Kalian belum menjelaskan!"

"Anakmu diketahui menjadi anggota kelompok garong Warok Bekontoro! Apa perlu ditanya lagi mengapa kami datang menangkapnya?!"

"Fitnah! Anakku keluar desapun belum pernah. Bagaimana mungkin dia jadi anak buah Bekontoro!"

Si perajurit tidak menjawab. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Kedua orang ini lalu melakukan penggeledahan. Adi Sara tidak ditemukan. Keduanya kembali dan memberi tahu kawannya tadi.

"Kalau pemuda itu tidak ada disini, kau jadi gantinya orang tua! Kau kami tangkap!"

"Aku tidak bersalah, tidak berdosa! Jangan pergunakan kekuasaan kalian untuk berlaku semena-mena!" ujar Sara Jingga dengan suara tandas. Namun untuk ucapannya itu satu hantaman gagang golok harus diterimanya di bagian kepala. Orang tua ini menjerit kesakitan, lalu terhuyung antara sadar dan tiada. Tubuhnya kemudian di seret ke luar rumah. Saat itulah terdengar bentakan penuh marah disertai berkelebatnya seseorang.

"Perajurit-perajurit biadab! Lepaskan ayahku!"

Lima perajurit cepat berpaling.

"Adi Sara!" seru perajurit yang jadi pimpinan. "Akhirnya muncul juga anak yang katanya tidak pulang sedari tadi malam! Kau tak usah kawatir! Ayahmu akan kami lepaskan, tapi kau harus kami tangkap!"

Adi Sara melihat bagian kening ayahnya terkoyak dan ada darah yang mengucur. Ini membuatnya kalap.

"Bangsat! Kalian apakan ayahku!" teriak pemuda ini lalu melompati perajurit terdekat. Pemuda ini tidak memiliki kepandaian bela diri apapun, apalagi ilmu silat tinggi. Modalnya hanya keberanian dan kenekatan yang dibakar oleh kemarahan. Dia berhasil merampas golok salah seorang perajurit. Namun sebelum senjata itu sempat dihunusnya, dua hantaman pada punggung dan belakang kepalanya membuat Adi Sara tersungkur ke depan. Lalu datang tendangan bertubi-tubi menghajar muka dan tubuhnya. Wajahnya bengkak membiru. Dari hidung dan mulutnya mengucur darah. Dua tulang iganya patah. Pemuda ini terguling pingsan di samping sosok tubuh ayahnya.

"Kita bunuh saja pemuda ini!" berkata seorang perajurit.

"Jangan! Ingat perintah Adipati Tawang Merto. Dia.harus kita buang ke Lembah Bangkai!"

"Kenapa mencapaikan diri membuangnya jauh-jauh kesana?" salah seorang perajurit membuka mulut bertanya.

"Kau pergilah tanyakan sendiri pada Adipati Tawang Merto! Jika kau tidak mau menjalankan perintah, bersiaplah untuk dihukum dan dipecat!"

Dalam keadaan pingsan tubuh Adi Sara akhirnya dinaikkan ke atas kuda. Lima perajurit itu kemudian segera tinggalkan tempat tersebut.

2AKU mulai mencium bau busuk itu. Kita segera sampai ditempat tujuan! Tutup hidung kalian..." Perajurit yang berkuda di sebelah depan memberi tahu dan cepat keluarkan sehelai sapu tangan dari saku pakaiannya. Sapu tangan ini diikatkannya ke mukanya hingga menutupi hidung dan mulutnya. Empat kawannya segera mengikuti apa yang dilakukannya. Bau busuk semakin keras setiap langkah mereka maju bergerak. Jalan yang mereka tempuh mulai mendaki. Di ujung pendakian, kelimanya berhenti. Disitu menghadang sebuah lembah yang lebih tepat dikatakan sebuah jurang sedalam lima belas tombak. Batubatu besar menyembul dian-tara kerapatan pepohonan dan semak belukar. Bau busuk menghampar santar. Bau busuknya bangkai! Lima perajurit itu merasakan nafas masing-masing seperti sesak. Tengkuk menjadi dingin oleh rasa angker yang muncul sejak tadi.

"Lemparkan pemuda itu ke lembah, lalu lekas tinggalkan tempat ini!" perajurit pemimpin memberi perintah. Dia memandang berkeliling, berusaha mencari-cari dimana sumber yang menebar bau busuknya mayat itu. Jika memang ada bangkai binatang atau mayat manusia, mengapa dia tidak melihatnya dibawah sana? Mendadak tubuhnya bergetar dan sekujur badannya keluarkan keringat dingin. Dibalik kerapatan dedaunan pepohonan dan semak belukar di dalam lembah, dia melihat belasan sosok tubuh yang telah membusuk, ada yang hanya tinggal tulang-belulang saja, tergantung di cabang-cabang pohon!

Mayat-mayat manusia! Itulah bangkai yang menebar bau busuk menyesakkan jalan pernafasan! "Lekas lemparkan pemuda itu!" teriak perajurit itu.

Rupanya empat kawannya juga sudah melihat mayat-mayat busuk bergantungan di pepohonan itu dan langsung dirasuk ketakutan setengah mati hingga melupakan apa yang harus mereka kerjakan. Dua diantara mereka segera menurunkan tubuh Adi Sara. Satu mencekal kedua kakinya, yang lain menjambak bahu pakaiannya. Tubuh pemuda itu kemudian dilemparkan ke dalam lembah. Adi Sara terguling-guling ke bawah, lenyap diantara semak belukar dan lebatnya daun-daun pepohonan.

"Lekas tinggalkan tempat ini!" teriak perajurit yang jadi pimpinan.

Dua perajurit segera melompat ke atas punggung kuda masing-masing. Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam lembah terdengar suara sesuatu. Suara ini mempunyai pengaruh yang amat hebat karena ke lima perajurit itu begitu mendengar begitu terpukau dan seperti tidak ingat lagi untuk bergerak meninggalkan tempat itu. Atau memang karena tiba-tiba saja mereka tidak mampu bergerak, termasuk ke lima ekor kuda yang mereka tunggangi!

"Suara itu... Suara apa itu...?" bisik seorang perajurit.

"Suara kecapi..." yang lain balas berbisik.

"Aneh, siapa yang main kecapi di lembah itu?"

Wajah lima perajurit mendadak sontak menjadi pucat! Makin lama suara petikan kecapi semakin jelas. Pada puncaknya tiba-tiba ada suara nyanyian yang mengalun ditimpali suara kecapi tadi. Suara nyanyian itu terdengar merdu sekali. Tetapi syair yang dibawakan membuat lima perajurit Kadipaten jadi berdiri bulu tengkuk mereka.



Lembah Bangkai lembah kematian.

Jangankan menjejakkan kaki.

Melihatnya sajapun sudah cukup alasan Untuk mati!

Tak ada yang datang dan bisa pergi

Tak ada yang pergi membawa nyawa di badan

Lembah Bangkai lembah kematian

Siapa yang datang tak bisa kembali pulang!Suara nyanyian lenyap, tapi suara kecapi terus berdentringan.

"Hai! Lihat...! Apa itu yang melesat di udara?!" tiba-tiba salah seorang perajurit berteriak seraya menunjuk ke arah lembah. Saat itu dari bawah lembah melesat seutas tali yang ujungnya dibuhul berbentuk lingkaran. Baru saja perajurit itu berteriak begitu, tahu-tahu ujung tali yang berbentuk lingkaran telah melesat ke arahnya lalu menjirat batang lehernya. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa, tubuhnya sudah terbetot dari atas kuda, jatuh ke bibir lembah lalu tertarik dan terseret sepanjang lereng lembah akhirnya lenyap diantara semak belukar dan kerapatan pepohonan.

Melihat hal ini empat perajurit lainnya merasakan seperti putus nyawa masing-masing. Serentak mereka baru sadar dan cepat membedal kuda tinggalkan tempat itu. Namun tiga orang terlambat, hanya satu yang sempat kabur. Dari bawah lembah tampak melesat sebat empat utas tali yang ujungnya berbentuk lingkaran. Tiga tali maut ini langsung menjirat leher tiga perajurit, satunya membentur pohon dan ini menyelamatkan perajurit ke empat tadi. Di lain saat tubuh tiga perajurit tersentak keras lalu jatuh dari punggung kuda masing-masing. Selanjutnya tampak tiga tubuh itu terseret ke dasar lembah dan lenyap!

Bersamaan dengan itu suara petikan kecapi lenyap. Lembah angker kembali diselimuti kesunyian. Hanya bau busuk bangkai yang masih terus menghampar bersama siliran angin. Dan bau ini tak akan pernah lenyap selama lembah angker itu berada disitu!3DARA BERPAKAIAN hijau itu mengetuk dinding gua sebelah luar tiga kali berturut-turut. Dia menunggu sesaat. Lalu dari dalam gua menggema suara halus. Suara perempuan. "Masuklah..."

Di atas sebuah kesetan dara berpakaian hijau membersihkan kedua kakinya terlebih dahulu, lalu baru masuk ke dalam gua batu. Ternyata gua itu tidak panjang. Melangkah sebelas langkah sang dara sampai di sebuah ruangan kecil yang diterangi oleh sebuah pelita. Di tengah gua tampak duduk seorang perempuan berpakaian hijau. Wajahnya sulit untuk dilihat karena tertutup sehelai kain hijau tipis.

Namun dari balik cadar yang tipis itu, sepasang matanya seperti menyorotkan sinar tajam yang membuat siapa saja merasa risih untuk berani menatap. Di atas pangkuannya terletak sebuah kecapi. Rupanya orang inilah tadi yang memetik kecapi, mungkin dia juga yang menyanyi.

Kalau seluruh lembah dibuncah oleh bau busuknya bangkai, maka di dalam gua ini sama sekali tidak tersentuh oleh bau busuk yang menyesakkan nafas itu. Malah disitu merambas bau harum semerbak seperti harumnya bau bunga mawar dipagi yang cerah dan segar.

"Hijau Satu, berita apa yang hendak kau sampaikan padaku...?"

Dara berpakaian hijau yang dipanggil dengan nama Hijau Satu menjura hormat lalu duduk bersimpuh di hadapan perempuan yang memangku kecapi.

"Kita mendapatkan empat tambahan pajangan untuk pepohonan di lembah, Dewi..."

Wajah dibalik cadar hijau tersenyum. "Bagus... Siapa orang-orang itu?"

"Mereka adalah perajurit-perajurit Kadipaten. Saya tidak mengetahui dari Kadipaten mana. Sebetulnya mereka muncul lima orang. Tapi yang satu sempat kabur. Harap maafkan atas kelalaian ini Dewi... Kebetulan hanya saya sendiri yang ada di Lembah. Hijau Dua dan Hijau Tiga masih belum kembali..."

Sang Dewi anggukkan kepala. "Dalam waktu singkat lembah ini akan menjadi momok nomor satu dalam dunia persilatan. Lalu tokohtokoh persilatan akan muncul disini! Mereka datang dengan alasan untuk membasmi angkara murka, menghancurkan kejahatan! Tapi mereka akan kita sapu habis-habisan! Memang tidak semua mereka melakukan kesalahan dan berdosa besar terhadap diriku!

Tapi dendamku setinggi langit sedalam lautan! Mereka yang katanya ingin menegakkan kebenaran, menolong orang-orang tertindas, ternyata semua omong kosong belaka! Aku telah jadi korban dari omong kosong itu!"

Sang Dewi tutup kata-katanya dengan menjentikkan jari-jari tangannya diatas kawat-kawat kecapi. Terdengar suara berdentringan disertai berkiblatnya enam sinar yang menyilaukan. Goa kecil itu terasa bergetar. Hijau Satu merasakan tubuhnya terhuyung-huyung dan cepat mengimbangi diri agar tidak jatuh. Setelah getaran dalam gua berhenti, Hijau Satu baru membuka mulut kembali.

"Ada kejadian lain yang perlu saya beritahukan Dewi."

"Ya, katakanlah..."

"Sebelum perajurit-perajurit Kadipaten itu muncul membawa seorang pemuda. Dalam keadaan pingsan pemuda ini mereka lemparkan ke dalam lembah. Pemuda itu berada dalam keadaan sakarat. Mukanya babak belur dan berselimut darah. Beberapa tulang iganya patah. Bagian belakang kepalanya ada luka besar. Saya tidak berani berbuat suatu apa tanpa izin Dewi..."

"Hijau Satu, bukankah ketentuan yang sudah kuberikan begitu pasti? Siapa saja yang berani berada didekat lembah, apalagi kalau sampai masuk ke dalam lembah harus dibunuh dan digantung mayatnya dipepohonan?!"

"Saya mengerti Dewi dan tahu sekali akan aturan itu. Maafkan saya kalau sudah bertindak salah. Saya tidak membunuh pemuda itu karena dia muncul dilembah bukan karena kemauannya sendiri. Dia dibawa oleh perajurit-perajurit Kadipaten dan dilemparkan ke lembah dalam keadaan pingsan..."

"Bagaimana kalau kemudian pemuda itu sadar dari pingsannya, melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang bagus dibalik pakaian hijaumu yang tipis itu. Lalu dia merayumu dan memperkosamu seperti kejadian dulu atas dirimu, atas Hijau Dua dan Hijau Tiga, juga atas diriku!"

Mendengar ucapan itu Hijau Satu terdiam. Wajahnya sesaat pucat. Lalu dengan suara perlahan dia berkata: "Maafkan saya Dewi. Saya mengaku bersalah tidak menuruti perintah..."

"Katakan, apa ada alasan lain sampai kau tidak membunuh pemuda itu..."

Hijau Satu tidak bisa menjawab. Tapi sang Dewi diam-diam sudah dapat meraba apa yang menjadi alasan anak buahnya itu. Maka diapun berkata: "Bawa pemuda itu kemari...!"

Walaupun terkejut mendengar ucapan pimpinannya, namun Hijau Satu cepat berdiri dan tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali mendukung sosok tubuh Adi Sara lalu membujurkannya di atas lantai gua, dihadapkan sang Dewi.

Sesaat perempuan bercadar itu menatap wajah si pemuda yang tertutup darah mengering. "Ambil kain basah dan bersihkan wajahnya..." sang Dewi memerintah. Hijau Satu kembali keluar dari dalam gua. Ketika masuk dia sudah membawa sehelai kain basah dan langsung membersihkan darah yang mengering di wajah Adi Sara.

Begitu wajah itu menjadi bersih kelihatanlah wajah Adi Sara. Sang Dewi terkesiap dan terdengar menarik nafas kaget. Hijau Satu ingin sekali melihat apa yang terjadi, namun dia tak berani menatap wajah pimpinannya itu.

"Sekarang aku tahu. Dugaanku tidak meleset. Hijau Satu tidak membunuh pemuda ini karena dia memiliki wajah begini tampan. Dan ya Tuhan...Mengapa wajahnya begitu mirip dengan...Kalau saja dia ada disini pasti akan sulit dilihat perbedaannya! Ah, bagaimana ini? Bagaimana aku harus mengambil keputusan...?!"

Lama sang Dewi terdiam. Lalu dia berpaling pada Hijau Satu.

"Hijau Satu. Kau harus melakukan sesuatu terhadap pemuda ini!" terdengar suara sang Dewi.

"Saya siap untuk membunuhnya dan menggantung mayatnya di pepohonan, Dewi..."

"Tidak...", berucap sang Dewi dengan suara perlahan. "Kali ini kau kuperintahkan untuk mengobati dirinya!"

Hijau Satu angkat kepalanya tapi cepat-cepat menunduk.

"Perintahmu akan saya laksanakan Dewi..." katanya. Lalu cepat-cepat dia mendukung tubuh Adi Sara dan meninggalkan gua itu, membawanya kesebuah gua lain yang tidak jauh dari gua dimana sang Dewi berada.4KETIKA pimpinan perajurit itu muncul, Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung Glingging saling pandang sesaat. Lalu Tawang Merto membuka mulut.

"Rundono, melihat tampang dan gerak gerikmu muncul saat ini, agaknya ada yang tidak beres! Apakah kau sudah menjalankan tugasmu? Lalu mana empat orang anak buahmu?!"

"Sesuai perintah, Adi Sara berhasil kami ringkus. Dalam keadaan pingsan pemuda itu kami bawa ke timur dan lemparkan ke Lembah Bangkai! Namun sebelum kami meninggalkan tempat itu, dari bawah lembah melesat sebuah tali berbentuk jiratan. Seorang perajurit langsung terjirat lehernya dan tubuhnya kemudian tertarik ke dasar lembah! Lalu ada empat tali lagi yang datang melesat. Saya masih sempat menyelamatkan diri. Namun tiga anak buah saya menemui nasib sama. Mereka kena dijirat dan lenyap di tarik ke dalam lembah!"

Kalau bukan saja Rundono yang menjadi orang kepercayaan mereka yang menuturkan keterangan itu, Adipati Tawang Merto dan Sawung Glingging mungkin tak akan mau mempercayainya. Kembali kedua Adipati ini saling pandang.

"Aku sendiri belum pernah berada di sekitar Lembah Bangkai itu,"

berkata Tawang Merto. Namun berita yang sampai ketelingaku mengenai Lembah Bangkai itu macam-macam. Mulai dari baunya yang busuk sampai pada adanya mayat-mayat yang bergelantungan di cabangcabang pohon. Lalu suara-suara aneh dan angker pada siang apalagi malam hari. Apakah semua itu benar-benar ada. Bukan hanya lamunan seorang penakut?!"

"Rundono telah menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Dia telah mencium sendiri bau busuk yang luar biasa! Semua itu bukan lamunan atau cerita bohong sahabatku. Aku punya niat untuk menyelidiki sendiri keadaan lembah yang disebut Lembah Bangkai itu. Ada suatu keanehan di tempat itu. Siapa tahu dibalik keanehan itu ada satu keberuntungan..."

"Calon besanku," menukas Sawung Glingging. "Kau bicara ngacok! Apa maksudmu dengan keberuntungan?"

"Bukan mustahil disitu ada seorang berkepandaian tinggi. Jika aku bertemu dengannya siapa tahu aku kebagian ilmu yang aneh-aneh!" sahut Adipati Tawang Merto pula.

Sawung Glingging tahu betul sifat sahabat dan calon besannya itu. Sejak muda Tawang Merto memang gemar berkelana untu mencari dan belajar berbagai ilmu, mulai dari ilmu silat sampai ilmu kesaktian. Bahkan dia juga memiliki banyak ilmu hitam. Termasuk benda-benda sakti mandraguna.

"Siapapun tidak melarangmu untuk mencari ilmu kepandaian walau saat ini kau sudah memilikinya sekarung penuh! Tapi menyelidik dan pergi ke Lembah Bangkai kurasa terlalu besar bahayanya sahabatku!"

"Tawang Merto tidak pernah takut dengan siapapun!" jawab sang sahabat sambil menyeringai dan usap-usap dadanya.

"Maksudku bukan soal takut dan berani sahabat. Tapi ingat, kita tengah merencanakan pesta besar. Pesta perkawinan anak-anak kita!

Apakah kau mau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak berguna seperti itu...?"

"Hemm... Sebenarnya ini bukan suatu hal yang tidak berguna. Tapi baiklah. Pada saat hendak mengatur hari perkawinan anak-anak kita, tidak pada tempatnya memang kalau aku mempunyai rencana lain. Biar maksudku menyelidiki Lembah Bangkai itu diundur dulu sampai hari perkawinan anak-anak kita..."

Adipati Sawung Glingging tersenyum gembira.

Sambil menepuk bahu sahabat yang akan menjadi besannya itu dia berkata: "Seharusnya memang begitu. Sekarang mari kita masuk untuk membicarakan rencana besar ini bersama istri-istri kita. Jangan biarkan orang orang perempuan itu menunggu terlalu lama. Nanti bisabisa mereka mengatur rencana sendiri!"***ADI SARA duduk di depan gua. Udara pagi terasa segar. Embun di dedaunan masih belum pupus. Dia mengusap dadanya yang masih diberi lapisan papan tipis untuk menjaga agar tulang iganya yang telah dipertautkan tidak bergeser. Pemuda itu menghirup udara dalam-dalam. Namun cepat sekali jalan nafasnya menjadi sesak begitu bau bangkai merasuk masuk ke dalam penciumannya. Ketika dia beranjak untuk masuk kembali ke dalam gua, dara berpakaian hijau itu tahu-tahu sudah berada di hadapannya.

"Hijau Satu!" seru Adi Sara seraya cepat bangkit.

"Kau sudah bisa keluar goa sendiri. Itu tanda kau sudah mulai sembuh. Benar begitu...?"

"Aku harapkan begitu Hijau Satu. Sembuh dan cepat bisa meninggalkan tempat ini. Aku tidak mau membuatmu susah lebih lama..."

"Susah bagaimana maksudmu?"

"Ah, apakah bukan susah namanya karena selama ini kau merawat luka-lukaku? Menyediakan makanan dan buah-buahan..."

"Semua itu bukan suatu kesusahan bagiku. Lagi pula semua sesuai perintah..."

"Pasti perintah dari Dewimu itu, bukan?"

Hijau Satu mengangguk.

"Aku sangat berterima kasih padamu Hijau Satu. Aku ingin sekali bertemu dengan Dewimu itu..."

"Belum saatnya Adi Sara. Belum saatnya. Tunggu sampai kau sembuh benar."

"Berarti berapa lama lagi aku harus berada disini?"

"Aku tidak tahu. Dewi nanti yang akan menentukan," jawab Hijau Satu. Dalam hatinya dara ini berkata: "Aku kawatir Adi Sara, janganjangan Dewi tidak mengizinkanmu meninggalkan lembah..."

"Hijau Satu... Aku ada beberapa pertanyaan!" Adi Sara berkata.

"Tanyakanlah. Jika aku bisa menjawab akan aku jawab. Jika kurasa Dewi tidak berkenan aku memberi jawaban, maka aku tidak akan menjawab."

"Baiklah, Dewimu itu tentu seorang yang sangat agung dan berkuasa. Hingga segala sesuatunya kau harus tunduk padanya."

"Dia pimpinan kami disini. Siapa saja harus tunduk pada pimpinan."

"Kami...? Maksudmu kau tidak sendirian disini?" tanya Adi Sara.

"Aku tidak melihat siapa-siapa disini!"

"Dewi punya tiga orang anak buah. Aku Hijau Satu, Hijau Dua dan Hijau Tiga..."

"Hemm...Semua bernama Hijau...Hijau. Mana kawanmu yang dua orang itu?"

"Mereka tengah menjalankan tugas di luar..."

"Kau menyebut dirimu Hijau Satu. Siapa namamu sebenarnya? Apakah kau tidak punya nama? Ah, pasti kau punya nama. Kikuk bagiku memanggilmu dengan nama Hijau Satu itu!"

Hijau Satu tersenyum. "Apa artinya nama? Aku tidak punya nama lain. Namaku ya itu. Hijau Satu..."

Adi Sara geleng-geleng kepala. "Pasti Dewimu itu lagi yang melarangmu memberi tahu nama aslimu. Tapi baiklah, tak jadi apa. Sekarang pertanyaanku berikutnya. Dimana aku ini berada sebenarnya?"

"Kau berada di Lembah Bangkai," memberi tahu Hijau Satu.

"Lembah Bangkai! Nama aneh dan menggidikkan. Pantas sejak keluar dari gua aku mencium bau yang sangat busuk. Bau bangkai...Nafasku menjadi sesak dan dadakku mendenyut sakit jika aku menghirup udara dalam-dalam..."

"Sebetulnya kau belum boleh keluar dari dalam gua itu, Adi Sara. Dan ingat satu pesanku. Ini perintah Dewi. Kau tidak boleh meninggalkan gua lebih dari sepuluh langkah..."

"Eh, kenapa begitu?"

"Itu perintah dan tidak semestinya ditanya!" sahut Hijau Satu.

Lalu dari balik pakaian hijaunya dia mengeluarkan sebuah benda kecil, ternyata potongan batang bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang satu jengkal. Pada ujung bambu terdapat penyumpal terbuat dari kayu kecil. Hijau Satu tarik kayu penyumpal lalu menyuruh Adi Sara mengulurkan tangan kirinya. Hijau Satu kemudian menempelkan ujung bambu ke balik telapak tangan si pemuda. Sejenis minyak yang sangat harum leleh ke atas permukaan tangan Adi Sara.

"Gosokkan minyak itu kelobang hidungmu. Seumur-umur kau tak akan mencium lagi bau busuknya bangkai!" Hijau Satu menutup bambu kecil lalu menyimpannya kembali ke balik pakaiannya. Adi Sara melakukan apa yang dikatakan. Telapak tangannya yang berminyak diusapkannya ke lobang hidungnya. Tercium bau yang sangat harum. Perlahan-lahan bau itu sirna. Tapi kini Adi Sara tidak lagi mencium busuknya bau bangkai.

"Minyak ajaib!" ujar Adi Sara sambil memandang keheranan pada Hijau Satu.

"Jika kau tak ada lagi pertanyaan, masuklah kembali ke dalam goa. Dan jangan sekali-kali keluar jika tidak kuizinkan..."

"Masih kurang jelas bagiku, mengapa tahu-tahu aku berada disini. Yang aku ingat adalah kemunculan lima orang perajurit Kadipaten. Mereka menganiaya ayahku. Aku menyerang mereka. Setelah itu aku tak ingat lagi..."

"Memang perajurit-perajurit Kadipaten itulah yang telah membawamu ke sini lalu melemparkan tubuhmu ke dalam Lembah Bangkai... Katakan mengapa mereka melakukan hal itu terhadapmu...?"

Adi Sara tidak menjawab. Ada dua bayangan wajah yang muncul dipelupuk matanya saat itu. Pertama wajah ayahnya yang tua. Dia ingat sekali karena melihat bagaimana orang tua itu diseret dan dipukuli oleh lima perajurit Kadipaten.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang