99. Wasiat Malaikat

Start from the beginning
                                    

Kini bukan cuma Setan Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut. Sinto Gendeng juga ikut basah kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya. Cairan kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat dan mencium air larangan yang keluar dari tubuh Setan Ngompol dan Sinto Gendeng, naga jantan meringkik aneh dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.

Di dasar telaga untuk kesekian kalinya muncul suara menggemuruh disertai goncangan keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi pemandangan.

"Nek! Nenek Sinto Gendeng!"

Tiba-tiba ada teriakan memanggil Sinto Gendeng.

"Edan! Siapa yang memanggil diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada hantunya?!" ujar Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih keruh. Si nenek tak bisa melihat dengan jelas.

"Suaranya seperti suara anak kecil!" kata Setan Ngompol seraya celingak-celinguk ikut mencari. "Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul berkeliaran dalam air?!"

Sinto Gendeng pentang dua matanya besar-besar.

"Nek! Saya di bawah sini!"

Setan Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih. Begitu dia memandang ke bawah dia melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana sebuah tonggak raksasa. Lalu pada bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu sosok terpentang seolah menempel ke dalam batu. Setan Ngompol pegang lengan Sinto Gendeng lalu menunjuk ke bawah sana. "Kau lihat dinding batu itu? Lihat di sebelah bawahnya. Ada patung anak kecil!"

Saat itu air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang, "itu bukan patung! Itu manusia!" ujar Sinto Gendeng. "Kalau patung mana mungkin bisa bicara!"

"Kalau manusia mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak berg era k-g era k! Aku baru yakin itu manusia kalau mendengar dia kentut!" Habis berkata begitu Setan Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.

"Biar saya berenang ke bawah," berkata Panji.

"Ya, mari kita turun menyelidiki!" kata Sinto Gendeng yang jadi penasaran. Lalu mendahului melesat ke bawah.

Sejarak lima tombak dari dasar telaga Sinto Gendeng keluarkan seruan yang membuat Setan Ngompol kaget dan buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.

"Astaga! Anak itu kiranya!"

"Heh, anak itu anak siapa?!" tanya Setan Ngompol.

Sinto Gendeng tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik ke arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang Setan Ngompol berhenti berenang karena dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang tertera di dinding batu.

Di sebelah atas tertulis besar kata-kata "Liang Lahat". Namun belum sempat dia membaca seluruh tulisan yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu tiba-tiba di bawah sana Sinto Gendeng berteriak memanggil. Si kakek segera berenang ke dasar telaga.

"Kau lihat sendiri! Yang ada dalam batu itu manusia atau patung!" kata Sinto Gendeng begitu Setan Ngompol sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. "Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya bisa kedap kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam dinding batu!"

"Dia memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal betul anak ini!" kata Sinto Gendeng pula. "Naga Kuning, aku tahu kawasan ini ada di bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau per-lihatkan padaku saat ini!"

Anak kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab. "Ini bukan permainan. Saya dihukum pendam ke dalam batu oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas."

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now