Part 3 | Gravitasi Benci

170K 14.2K 853
                                    

"HADEH, mau maskeran, ngorok, terus mimpiin Taehyung ajalah!"

Beban berat di keranjang depan sepedanya dua kali membuat Gladys oleng. Hasrat buang ini beban hidup sebenarnya tinggi, tapi ia takut besok diserampang sepatu oleh Varel. Mau dipertahankan, yang ada Gladys geblek sendirian. Buku-buku yang diberikan Varel memang juaranya bikin makhluk bumi menderita.

Cahaya berwarna jingga kemerahan membentang di ufuk barat. Tikar yang digelar memenuhi hampir seluruh sudut taman kota Purwokerto jadi pemandangan yang mengurangi rasa pegal Gladys usai digojlok Varel habis-habisan.

Sudah tahu begitu, impian sederhananya buat rebahan cuma mitos belaka pula. Sepulang sekolah, dia wajib mampir ke toko dulu untuk beli bahan jualan besok pagi kalau tak ingin lusa makan batako sampai mblenger.

Ia menyandarkan sepedanya pada pohon palem kecil di emperan toko sebelum menyeret kakinya dengan ogah-ogahan.

"Bu, beli tepung ketan tiga sama tepung berasnya dua," pintanya singkat.

Asli, rasanya capek luar biasa, tapi rumah masih jauh. Ini kalau Gladys mengesot, halal tidak, sih? Kakinya menolak bangkit dari posisi jongkok. Tangannya malah asyik menggulir-gulir ponsel. Posisi wenak tenan apalagi bila ada kasur.



Fareina Laisha
Dis, di rumah lagi ada pesta barbekyu. Sini dateng, kita makan sama-sama.



Gladys mengernyit jijik. "Enak bener jadi lo, Ren! Pulang ke rumah ada yang masakin, laper tinggal makan, kagak mikir bahan jualan, terus sok-sokan ngajakin anak orang makan. Kenapa? Mau pamer hidup lo enak dari orok?" Cercaannya tumpah ruah. Fareina pikir dirinya tukang minta-minta sampai ditawari makan segala? "Masih pakai duit orang tua aja belagu! Makan ya tinggal makan aja sono, Ren, enggak usah pamer!"

Idih, tidak sudi Gladys nimbrung keluarga sejahtera Fareina. Derajat irinya bisa-bisa jebol. Ia lebih suka masak sendiri sampai pinggangnya berbunyi "kretek-kretek" daripada dikasihani. Lagi pula, Gladys juga punya sosok yang menungguinya pulang. Guling bau iler di kamar setia menantinya tiba di rumah dengan selamat.

"Ini pesanannya, Mbak. Totalnya Rp61.100. Ada tambahan lagi?"

Ujaran pramuniaga menyudahi gerutuan Gladys. Ia menggeleng singkat lantas merogoh saku. Sebagian receh hasil jualan di kantin sekolah hari ini dikeluarkan untuk barter dengan barang keperluannya. Sisanya bisa dipakai untuk beli pulsa, makan, dan cadangan asuransi.

Biaya sekolah? Gladys tidak perlu memikirkan itu. Tinggal nangkring lagi di peringkat sepuluh besar paralel semester depan, sekolah bakal menggelontorkan beasiswa. Katakan tidak untuk bayar SPP, buku-buku, dan iuran OSIS.

"Pengin rebahan banget-banget dah."

Jarak antara rumah dan posisinya sudah dekat berkat jalan alternatif. Akan tetapi, dasar letoy, Gladys merasa waktu tempuhnya masih seribu tahun lagi.

Ia mengayuh sepedanya lebih kuat, kuat, kuat, namun kecepatannya tetap seperti keong.

"Dikit lagi, dikit lagi! Ceilah, semangat dong! Kuy, bisa kuy!"

Yel-yel perjuangan empat lima mengiringi pergerakan Gladys. Ngeden sedikit sampai kaki pegal, belum sampai-sampai juga.

Ngos-ngosan menghadapi tanjakan, ia memilih minggir sebentar. Numpang duduk di bangku lapangan sepak bola dekat rumahnya mungkin lebih bagus ketimbang mokad di jalan. Gladys mengeluarkan tumbler untuk mengatasi dehidrasinya, sekalian menonton sepuluh orang yang tengah rebutan bola di lapangan.

"Go Varel go Varel go!"

Teriakan itu berkali-kali diserukan menyaingi malam yang hampir tiba. Lampu penerangan jalan bahkan sudah dihidupkan, tetapi orang-orang kurang kerjaan di depan sana masih teriak-teriak gaje.

Heliosentris [TAMAT]Where stories live. Discover now