Part 34 | Ambang Rasa Sakit

104K 10.4K 496
                                    

Trigger warning! Bab ini mengandung adegan kekerasan. Bagi pembaca yang tidak kuat, sangat disarankan untuk langsung skip chapter ini dan lompat ke chapter berikutnya.

____________________________













SAAT menatap langit, kita sebenarnya menatap masa lalu. Cahaya matahari butuh delapan menit untuk bisa sampai ke bumi. Itu artinya ketika manusia didekap kehangatannya, dia sebenarnya merasakan cahaya delapan menit yang lalu, bukan waktu terkini.

Begitu pula pemandangan bintang dan galaksi nun jauh di angkasa. Bintang-bintang itu kelihatan ramai, padahal letaknya saling berjauhan dan jaraknya ribuan tahun cahaya dari bumi. Cahaya yang kita lihat bisa jadi cahaya dua juta tahun lalu atau bahkan lebih. Begitu dihampiri, mungkin saja bintangnya sudah tidak ada karena mengalami supernova.

Kecepatan cahayalah penyebabnya.

Varel tahu itu, namun tetap saja ia suka melihat langit.

Sama seperti bintang-bintang yang tampak saling berimpit padahal punya jarak, ia dan orang-orang di sekelilingnya pun demikian. Terlihat dekat, tetapi hanya dalam batas yang ia izinkan. Masih ada sisi lain yang tersembunyi. Semuanya terbungkus apik dalam persona manusia.

"Void," gumam Varel.

Kaus hitam ditarik lepas dari badannya. Ia berjongkok di dekat pot tanaman mawar peninggalan mamanya seraya membuka salep pemberian Evan. Terik matahari siang menyengat kepala, tetapi tengkuknya tetap saja terasa dingin. Dingin yang menusuk.

Perlahan, ia menghadapkan punggungnya ke standing mirror untuk mengoleskan salep. Tampak bekas luka memanjang di sebelah garis-garis hitam berukuran serupa. Cetakan ikat pinggang. Beberapa bekas luka lain berasal dari sundutan rokok yang sengaja ditekan kuat-kuat. Ada banyak. Semuanya berada di bawah area belikat.

"Lumayan juga. Perlu gue olesin salep biar enggak kerasa nyut-nyutan pas ngerjain soal tryout nanti." Varel berdecak. "Orang pinter emang selalu tahu di mana harus mukul, nyiksa, atau nyabet, ya. Bekasnya jadi enggak bisa gue pamerin ke semua orang."

Kloter ketiga tryout masih lima jam lagi jadwalnya. Selagi menunggu, Varel mengurusi luka dari Raza sebisanya. Uh, sayang sekali tidak semua bagian punggungnya bisa dijangkau kedua lengannya, apalagi dalam kondisi tangan masih pegal berkat basket.

Varel jadi mempertimbangkan untuk mengirim bukti 'elusan' sayang abangnya ini pada ayahnya. Lihat nanti tambah disayang atau tidak. Jika iya, jackpot. Sekalian ngadu soal kekalahan tim basket Raza melawan COBRA. Kira-kira bagaimana reaksi Kenzo Adrasteia saat menyimak kegagalan anak kesayangannya?

Bunyi pintu rumah kaca yang ditendang menyentaknya. Amigdala seketika memaku reaksi Varel begitu menyadari siapa pelakunya.

"Anak sialan! Udah gue bilangin ngalah dari Raza, masih aja bandel! Lo mau ngelawan gue, hah?"

Sosok yang seharusnya masih berada di Jakarta siang itu mencengkeram pundak Varel sampai berdiri. Varel tak diberi kesempatan untuk membela diri karena lebih dulu diseret paksa menuruni anak tangga dan berakhir diempaskan ke gudang.

Cowok itu meringis tertahan.

Bagian tubuh atasnya yang tidak terlapisi pakaian bersinggungan langsung dengan pecahan guci antik yang terserak di lantai. Varel bangkit dengan susah payah, tetapi gagal karena ayahnya lebih dulu menginjak dadanya.

"Gara-gara lo, gue harus batalin meeting demi pulang ke Purwokerto sebelum weekend! Dasar lo pembawa sial!" Tekanan pantofel itu menciptakan luka baru di kulit bersih Varel. Tetap saja ayahnya mengabaikannya. "Ada enggak, sih, hal bener yang bisa lo lakuin selain nyusahin gue? Sesusah apa jadi anak baik-baik kayak abang lo, Goblok!" teriaknya.

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang